Rabu, 20 Agustus 2008

ANGGARAN PENDIDIKAN


Sebelum saya menulis lebih luas tentang Anggaran Pendidikan, saya ingin bertanya pada Anda, apakah Anda menjadi pendengar yang baik pada saat Pidato Kenegaraan Presiden SBY tanggal 16 Agustus 2008….? Atau pada saat bersamaan Anda sedang menonton MTV Ampuh…atau menonton kartun di Spacetoon…? Saya tidak menyalahkan Anda. Mungkin dengan membaca tulisan saya, sedikitnya Anda akan tau penekanan isi pidato tersebut, terutama soal Anggaran Pendidikan.

Presiden SBY menjanjikan Anggaran Pendidikan 20 persen pada APBN 2009 atau 154,2 Trilyun. Sungguh menggembirakan hati semua rakyat Indonesia, terutama yang peduli pendidikan. Kalau hal itu benar (bukan hanya janji), menunjukkan besarnya komitmen Pemerintah dalam menjalankan amanah UUD 1945. Selama 4 tahun Pemerintahan SBY-JK, baru kali ini Anggaran Pendidikan akan dialokasikan sesuai amanah konstitusi.

Kita berharap persentasi tersebut tidak termasuk untuk gaji Guru, seperti pada APBN 2007. Selama ini Anggaran Pendidikan termasuk gaji Guru didalamnya. Misal tahun 2007, dari 17,40 persen yang dialokasikan, 12 persen diantaranya terserap untuk gaji Guru, sehingga anggaran yang tersisa 5,40 persen sangat lah tidak mencukupi untuk menunjang pendidikan.

Kita patut mensyukuri niat baik Pemerintah. Namun bertambahnya anggaran harus diikuti dengan penanganan yang Profesional, taransparan dan akuntabel, bertanggung jawab dan jujur. Sehingga kita tidak mendengar lagi ada atap sekolah yang bocor, meja belajar siswa yang patah dan kekurangan bangku di sekolah yang “mengakibatkan” Pengelola sekolah dapat dengan seenaknya melakukan Pungutan Liar terhadap orang tua murid dengan dalih “beli bangku”.

Sekedar info bagi Anda sekalian, bahwa pungutan untuk “beli bangku” sudah menjadi praktek yang umum di sekolah-sekolah. Bukan hanya tingkat SLTP atau SLTA, untuk bisa masuk Sekolah Dasar atau MIN saja orang tua murid sudah harus mengeluarkan dana siluman ratusan ribu rupiah bahkan jutaan rupiah. Anehnya praktek tersebut seperti tidak tersentuh aparat penegak hukum maupun atasan Kepala Sekolah ybs (Pengawas atau Dinas Pendidikan).

Praktek tersebut tumbuh subur dan sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Bireuen. Sangat kita sayangkan…..bila terus berlanjut, kita khawatir, mau dibawa kemana dunia pendidikan kita…?

Hal ini sudah dipertanyakan juga oleh Anggota DPRD pada saat Rapat Paripurna beberapa waktu yang lalu, dan Bupati Bireuen mengaku sudah punya data tentang Kepala Sekolah yang nakal “jual bangku” dan Bupati berjanji akan segera mengganti Kepala Sekolah ybs. Namun sampai hari ini, belum kita lihat Kepala Sekolah tersebut diganti…


Kembali pada Pidato Presiden, kita berharap apa yang disampaikan oleh Presiden SBY bukan hanya janji-janji kosong. Pemerintah harus meyakinkan rakyat Indonesia janji soal Anggaran Pendidikan bukan jargon politik menjelang Pemilu 2009. Pemerintah harus mewujudkannya, dilandasi niat ikhlas demi majunya dunia pendidikan di Indonesia.

Mari kita nantikan…….

"DIDIKAN BARAT UNTUK JADI PEMBOHONG......."

Kebohongan didefinisikan sebagai suatu perbuatan memalsukan informasi untuk menipu orang atau memberikan penekanan yang salah kepada yang lain dan merupakan perbuatan yang jauh dari kebenaran. Secara umum bohong dikenal sebagai perbuatan yang salah baik secara moral maupun secara agama. Secara luas dapat dipahami bahwa seseorang yang berbohong adalah seseorang yang tidak dapat dipercaya dan kebohongan yang tersebar luas dapat menciptakan kecurigaan, kekacauan dan kerusakan di antara umat (masyarakat). Bukan suatu yang aneh lagi ketika mempelajari kehidupan masyarakat Barat yang penuh kebohongan, para pembohong tersebar di mana-mana dan itu sudah menjadi jalan hidup mereka.

Anak-anak masyarakat Barat dididik dengan kebohongan sebagai bagian dari materi didikan mereka. Secara terus-menerus anak-anak itu hidup bersama mereka, diasuh mereka dengan ide-ide yang salah. Anak-anak mulai dari usia dini dipengaruhi oleh kebohongan-kebohongan dan inilah yang akan memainkan peranan kelak. Anak-anak diajari dengan cerita-cerita bohong/ dan monster-monster, mereka membaca kisah-kisah khayal dari buku-buku yang tidak berguna yang dibangun atas dasar kebohongan dan muslihat yang seharusnya dibuang dan dijauhkan dari pikiran generasi muda. Mereka kemudian mulai percaya pada cerita-cerita tentang Drakula dan Frankenstein yang tidak ada hubungannya dengan realita kehidupan. Anak-anak diberikan idealisme untuk menjadi model-model yang dapat dilihat dan dipertontonkan. Sebuah kepribadian uang dibentuk oleh Hollywood atau artis dan budaya olahraga, meniru mereka dan mencurahkan waktu berusaha mempelajari segala hal tentang mereka.

Kebohongan terbesar dari semuanya adalah tentang Natal dan Santa Clauss. Anak-anak dari usia muda belajar tentangnya dan dibantu untuk mempraktekkannya. Pengajaran itu mendorong anak-anak muda maupun yang dewasa untuk merayakannya (seperti apa yang mereka pelajari). Kebenaran yang ada yaitu bahwa Natal adalah sebuah perayaan yang tidak akan dikerjakan selain bersama dengan perayaan kelahiran Yesus atau perayaan umat Kristen, bahkan perayaan ini merupakan kelanjutan dari festival para penganut paganisme (para penyembah banyak tuhan) yang diketahui oleh banyak orang.

Anak-anak terus diajarkan kebohongan di sekolahnya sebagai bagian dari pendidikan mereka, dimana mereka mengajarkan tentang evolusi manusia yang berasal dari kera. Mereka mengajarkan sebagai sebuah fakta yang harus diterima dan adanya bumi beserta sebuah eksistensinya datang dari sebuah teori Big Bang dengan tujuan menjauhkan masyarakat dari keimanan kepada pencipta.

Tipe didikan seperti ini secara alami akan menghasilkan pribadi pembohong. Seseorang akan melihat bahwa tidak ada bahaya (ketakutan) dalam mengatakan tentang kebohongan atau menciptakan kebohongan kepada yang lain. Inilah kenapa film, drama, komedi dan novel-novel begitu populer di tengah-tengah masyarakat karena mereka adalah pembohong yang membuat cerita-cerita palsu dan memerankannya kepada yang lain untuk membuat cerita dalam rangka menyuguhkan hiburan kepada masyarakat. Dalam waktu yang tidak begitu lama tatkala masyarakat menikmati sarana hiburan yang penuh dengan kebohongan ini, maka walaupun mereka tidak mengerjakan kebohongan akan tetapi mereka akan menerima ini (kebohongan) sebagai suatu yang wajar dalam masyarakat. Berdasarkan pendekatan melalui penelitian yang cermat hal ini bisa menjadi suatu bukti bahwa seperti itulah pengajaran yang disebarluaskan diseluruh aspek kehidupan diantara masyarakat Barat (kufur). Bukan merupakan hal yang aneh lagi kalau kita temukan semua industri-industri seperti jurnalistik didasarkan atas kebohongan dan penipuan dimana mereka dengan sengaja menyimpangkan dan memalsukan berita dalam rangka untuk membodohi masyarakat dan untuk meningkatkan pendapatan mereka. Berita-berita gaul yang terbit setiap harinya didasarkan atas media kemungkinan, apakah itu media elektronik atau yang lain, menyebarkan berita kebohongan atau fitnah secara terus menerus. Masyarakat akan membelanjakan uang dan mencurahkan waktunya setiap hari untuk membeli, membaca, dan melihat apa-apa yang telah dipalsukan oleh para jurnalis. Pada faktanya para jurnalis tersebut bermaksud untuk membohongi dan menyimpangkan kejadian-kejadian di seputar dunia untuk kepentingan dan manfaat pemerintah mereka yang disebut dengan “propaganda hitam” dan bahkan membayar orang-orang di negara asing untuk menyebarkan kebohongan tersebut.

Mirip dengan politik yang penuh dengan kebohongan, penipuan dan hubungan skandal untuk tujuan memperoleh dukungan atau untuk memfitnah yang lain. Peraturan-peraturan itulah hukum yang ada di negara-negara maju (Barat) yang mendidik individu-individu di dalamnya, yang dapat ditandai dengan melihat bagaimana mereka menyelesaikan urusannya di masyarakat dan itulah fakta yang diterima bahwa mereka adalah pembohong, penipu dan pemfitnah. Bukan suatu hal yang aneh lagi jika mendengar bagaimana orang seperti Tony Blair dan George Bush berbohong kepada dunia tentang senjata penghancur massa untuk pembenaran serangan mereka melawan umat muslim di Iraq. Karena mereka adalah produk sebuah masyarakat yang didasarkan atas kebohongan dan kepalsuan. Bagaimana mereka melanjutkan kebohongannya, mencoba untuk menutupi kebenaran tentang pembunuhan massal atas umat muslim baik laki-laki, wanita, dan anak-anak di Iraq dan Afghanistan, membunuh tentara-tentara mereka sendiri di negara tersebut, menyiksa oang-orang Muslim dalam tahanan, menggunakan toksin dan kimia dalam persenjataan mereka, menangkapi orang-orang Muslim di tahanan-tahanan rahasia, kegagalan intelijen-intelijen mereka, kegagalan mereka di Iraq dan Afghanistan dan masih banyak lagi yang lain, belum lagi pihak pemerintah yang meneruskan kebohongan ke masyrakat mereka dan meneruskannya ke dunia.

Mulai dari lahir hingga dewasa mereka diajarkan dengan kebohongan, kemudian bersama-sama dengan para pembohong lainnya menjadi bagian dari masyarakat yang mendasarkan pada kebohongan dan kepalsuan. Inilah norma dalam masyarakat dan menajdi bagian integral dari fungsi masyarakat. Bagaimana mungkin seseorang dari masyarakat ini dapat dipercaya ? dan bagaimana mungkin kita dapat mempercayai sebuah bangsa yang didasarkan atas kebohongan ?

Islam mengajarkan bahwa bohong adalah dosa dan bukanlah merupakan sifat dari orang yang beriman dengan benar. Oleh karena itu pendidikan dalam Islam akan memberikan jaminan (kepastian pada anak) bahwa mereka tidak disubyekkan pada konsep-konsep kehidupan yang tidak berguna dan tidak eksis (fantastis/khayal) seperti didikan Barat. Mereka tidak diajarkan pada cerita-cerita yang tidak ada hubungannya dengan realita. Mereka akan diajarkan hidup dari perspektif syari’ah. Mereka akan diajarkan tentang keimanan dan peranan iman dalam kehidupan ini. Mereka akan belajar tentang sejarah Islam yang sesuai dengan realita kehidupan, tidak seperti yang dibuat oleh Hollywood. Mereka akan diajari fakta-fakta dan tidak akan dibodohi untuk mempercayai ide-ide yang salah. Pendidikan dalam Islam terbebas dari kebohongan dan penipuan. Karena memproduksi individu-individu yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya serta menjadi orang yang takut hanya pada Allah SWT semata.

Pribadi muslim adalah orang yang terhormat dan mulia yang akan mendorong dirinya untuk berkata benar. Inilah kenapa muslim yang benar adalah orang yang tidak hanya menahan diri dari berbohong akan tetapi memastikan bahwa kebenaran itu dapat disampaikan dan ditegakkan di sekitarnya.
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah” (QS Fushilat (41) : 33)

Nah, pertanyaan kita adalah : apakah dalam kehidupan kita sebagai Muslim sudah bebas dari kebohongan...? Tentu sebagai hamba yang banyak kekurangan, kita juga tidak luput dari dosa berbohong. Saya yakin kita sebagai manusia biasa, pasti pernah berbohong. Tidak sekarang, mungkin pernah waktu semasa kecil, remaja dan sebagainya. Selagi masih diberi kesempatan oleh Allah SWT, mari kita bertobat dengan sebenar-benar tobat kepada Allah SWT seraya berjanji pada Allah SWT dan diri sendiri, tidak akan berbohong lagi.....

Dan seandainya kita pernah berbohong, cukuplah kebohongan dalam arti sempit (dan segera bertobat). Bukan membohongi Ummat, rakyat dan masyarakat Indonesia. Mudah-mudahan kita tidak mengajarkan ajaran-ajaran yang salah kepada anak kita. Mudah-mudahan Pemerintah kita tidak membohongi kita.

Dan marilah kita instropeksi diri dan singkirkan segala macam kebohongan di sekeliling kita.

KEJAKSAAN AGUNG, BUKAN KAMPUNG MALING..?


Sebenarnya materi yang ingin saya tulis bukanlah masalah bobroknya hukum, apalagi terkait dengan Kejaksaan Agung. Namun tanpa sengaja, pada saat saya baca Kompas hari ini,untuk kesekian kalinya mata saya terhenti pada iklan buku mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh berjudul BUKAN KAMPUNG MALING, BUKAN DESA USTADZ.

Jujur saya akui, saya sangat tertarik untuk membeli buku itu. Disamping karena saya berminat dibidang Hukum, saya juga penasaran dengan judulnya yang agak “bombastis” (setidak-tidaknya menurut saya). Dan sampai hari ini saya belum sempat membeli, apalagi membacanya. Namun dari judul dan sedikit pengantar dari para Pakar Hukum Adnan Buyung Nasution, saya (dan mungkin juga Peminat Hukum yang lain) sudah bisa menebak isi buku tersebut. Yang dipaparkan Bung Arman adalah masalah intern Kejaksaan Agung dan fondasi penegakan hukum yang telah diletakkan oleh ybs selama menjadi Jaksa Agung, disamping sedikit menceritakan perjalanan karir beliau mulai dari Wartawan s/d jadi Jaksa Agung.

Saya yakin Bung Arman bukan mau membantah bahwa Kejaksaan Agung sebagai kampung Maling, atau juga membenarkan bahwa beliau seorang Ustadz, namun ingin mengatakan dengan jujur bagaimana “isi” Gedung Bundar.

Namun apapun isi tulisan Bung Arman dalam buku itu, yang jelas masyarakat Indonesia secara jujur harus mengakui bahwa apa yang disampaikan oleh Anggota DPR RI dari Komisi III (pada Rapat Dengar Pendapat antara Komisi III dengan Jaksa Agung) dua tahun yang lalu, benar adanya.

Bahwa ucapan dari Anggota Dewan tersebut sekarang sudah terbukti. Kita sangat prihatin dengan terlibatnya aparat Kejaksaan Agung dalam skandal BLBI. Tak tanggung-tanggung, 2 (dua) orang Jaksa Agung Muda yang seharusnya jadi panutan para Jaksa dibawahnya, malah menjadi aktor dalam proses “penghentian” kasus BLBI. Pencopotan Kemas Yahya Rahman, sebenarnya belum cukup. Seharusnya yang bersangkutan, harus segera diproses secara hukum dan diusut lebih lanjut keterlibatannya dan dibawa ke muka Pengadilan. Begitu juga dengan Jaksa Untung, tidak cukup hanya “hukuman administrasi”. Harus diusut tuntas. Tindakan mereka telah mencoreng institusi Kejaksaan Agung, walaupun “skandal” mereka hanya segelintir dari banyaknya “skandal” para Jaksa (di Gedung Bundar maupun di daerah) yang tidak/belum terungkap ke muka publik.

Saya sebagai Warga Negara, memberi apresiasi yang tinggi kepada KPK atas tertangkapnya Jaksa Urip ketika sedang bertransaksi dengan sang “Agen” BLBI, Artalyta Suryani alias Ayin. Namun, saya yakin, Urip hanyalah pion yang bekerja atas skenario yang diatur para pembesar Kejaksaan Agung. Dan, yakinlah bahwa di Gedung Bundar masih banyak lagi para Jaksa yang pangkatnya lebih tinggi terlibat dalam skandal BLBI. Dan bisa saja bukan hanya kasus BLBI, namun banyak kasus lainnya, terutama yang tidak menarik perhatian publik. Dalam hal ini saya bukan mau berprasangka buruk. Tetapi sudah rahasia umum bahwa kalau ada perkara, bisa “diurus” asal ada kesepakatan antara Jaksa dan “pembeli hukum”. Bukan hanya di Kejaksaan, namun di insitusi penegak hukum lainnya.

Jaksa Agung boleh diganti, namun “isi” Kejaksaan Agung tetap sama. Dan seorang Jaksa Agung, walaupun sangat profesional, tidak akan bisa menegakkan supermasi hukum dengan sebaik-baiknya bila tidak didukung oleh semua pihak, terutama oleh jajarannya.

Seorang Abdul Rahman Saleh telah bekerja dengan baik dan maksimal (penilaian saya, bukan penilaian SBY). Berbagai terobosan telah dilakukan demi naiknya citra Kejaksaan Agung, namun apa mau dikata, jajaran dibawahnya tidak membantu demi tegaknya supermasi hukum. Dan saking yakin dengan kinerja anak buahnya, Bung Arman sempat marah kepada Anggota DPR (Azhar dari DP NAD 2) ketika dikatakan Bung Arman adalah Ustadz di kampung maling, dua tahun lalu. Bahwa beliau sangat yakin anak buahnya bukan “maling” sah-sah saja. Biasalah……atasan membela bawahan. Namun apa yang terjadi sekarang…? Jaksa-jaksa yang terlibat dalam skandal BLBI adalah Jaksa kepercayaannya selama beliau menjabat Jaksa Agung.

Dan jelas lah bagi kita bahwa memang benar Gedung Bundar berisi Jaksa-jaksa yang “tidak bersih” (walau tidak semuanya dan ada juga yang “bersih”). Dan seandainya Bung Arman membela mantan anak buahnya dalam buku tersebut, sangat disayangkan……..

Saya ingin segera membacanya……. Mudah-mudahan akan menambah wawasan hukum saya….

SYIRIK DISEKITAR KITA



Saya sudah lama ingin menulis tentang Syirik disekitar kita, namun tidak punya keberanian karena terbatasnya pengetahuan saya dalam pemahaman tentang Syirik. Saya sudah mencoba mengusulkan kepada beberapa teman saya tamatan IAIN untuk ikut menulis dan mengirim artikel ke beberapa Media massa atau mengisi kolom di blog saya, namun belum ada yang menulis.

Dengan segala keterbatasan, kali ini, saya coba menulis apa yang saya ketahui tentang Syirik.

Pembaca yang budiman,

Mencermati apa yang terjadi disekitar kita sekarang ini telah sampai pada tahap yang cukup mengkhawatirkan. Hal-hal yang seharusnya menjadi perhatian, karena menyangkut dosa besar yang terampuni, namun bagi sebahagian orang, seolah tidak terjadi apa-apa…. Seolah-olah mereka menganggap biasa saja. Pembaca pasti sering melihat tayangan di TV tentang berbagai macam sms “tahhayul” yang menagajak si pengirim sms menuntaskan segala persoalan kehidupannya pada Mama Laureen, Ki Joko Bodo, dll sebagainya. Seakan-akan dengan mengadu dan “meminta” pada Joko Bodo, semua persoalan akan tuntas. Kalau Ahmad Musaddeq mengaku dirinya wakil Tuhan, Ki Joko Bodo seakan-akan mengaatakan bahwa dirinya adalah “Tuhan”. Bodohnya, banyak sekali orang yang tertarik pada berbagai macam sms yang menyesatkan tersebut, termasuk ummat Islam.

Mereka yang bodoh dan kurang imannya, mengirim sms tersebut dengan santai dan biasa-biasa saja, hampir sama seperti mereka mengirim sms mendukung Idol. Sangat menyedihkan, mereka tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan itu termasuk ke dalam dosa syirik.

Padahal Allah ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (QS. An-Nisa: 48)

Pada ayat ini, Allah menyatakan bahwa sesungguhnya dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah selama-lamanya kecuali jika pelaku kesyirikan tersebut bertaubat dari dosa syirik yang pernah dilakukannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui mana sajakah perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada dosa syirik, agar dengan demikian kita dapat terhindar dari dosa yang sangat berbahaya ini.

Selain berhubungan dengan Peramal seperti yang sudah diuraikan di atas, masyarakat kita juga sudah terbiasa dengan berbagai bentuk kebiasaan atau adat yang mengandung unsur syirik. Dalam kultur masyarakat Aceh, masih kita temui “Khanduri Laot” di pesisir Selatan Aceh, yang mana sesajian (ditambah Kepala Kerbau) dibuang ke laut, agar Nelayan mendapat rezeki berlimpah. Sungguh sangat aneh, dalam kultur Islam yang kental dalam masayarakat Aceh, ternyata masih melakukan ritual-ritual yang sama seperti yang dilakukan masyarakat Hindu. Pengalaman saya, melihat sendiri di Bali (dalam masyarakat Hindu), buang kepala kerbau ke laut adalah tradisi mereka. Pertanyaan saya, kenapa hal yang sama mesti kita lakukan di Aceh, yang jelas-jelas Islam…….

Selain itu, dalam masyarakat kita, terutama di pedalaman masih mempercayai jimat. Padahal hal itu merupakan bentuk Syirik yang tidak akan mendapat ampunan dari Allah SWT.

Sebagaimana sabda Rasulullah:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

"Sesungguhnya jampi-jampi, jimat dan pelet termasuk kesyirikan." (HR. Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

"Barang siapa yang menggantungkan jimat, maka dia telah berbuat syirik." (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Pembahasan kita tentang bentuk Syirik, kali ini lebih saya tekankan soal Jimat. Lain kali saya akan uraikan lebih detail tentang Dukun dan Peramal.

Untuk diketahui, Jimat pada masa sebelum hadirnya Nur Islam (jahiliyah) dahulu dikalungkan pada anak kecil atau binatang untuk menolak 'ain (pandangan hasad/dengki, berakibat mudharat bagi orang yang dipandang). Namun pada hakekatnya jimat tidaklah terbatas pada bentuk dan kasus tersebut, akan tetapi mencakup semua benda dari bahan apapun, dikalungkan, digantungkan, diletakkan di tempat manapun dengan maksud untuk menghilangkan atau menangkal marabahaya. Jadi jimat bisa berupa kalung, batu akik, keris, cincin, sabuk (ikat pinggang), atau benda-benda yang digantungkan pada tempat tertentu, seperti di atas pintu, di dalam kendaraan, dipasang pada ikat pinggang, sebagai susuk, atau ditulis di kertas dan dimasukkan di saku celana, dan lain-lain dengan maksud mengusir atau tolak bala'. (Lihat Mutiara Faedah Kitab Tauhid). Ingatlah bahwa setiap jimat pasti tidak terbukti secara syari'at (dalil dari Allah dan Rasul-Nya) maupun logika (hasil eksperimen ilmiah) dapat memberikan manfaat atau menolak bahaya.

Sekedar contoh,

ada seorang ibu yang meletakkan gunting (atau benda-benda lainnya) di samping bayinya yang baru lahir (sebagaimana yang terjadi di Jakarta dan daerah lainnya) dengan tujuan agar bayi tersebut terhindar dari gangguan setan, maka gunting tersebut adalah jimat. Penjelasannya sebagaimana contoh pertama di atas. Adapun cara yang benar adalah dengan membacakan doa kepada bayi tersebut di antara doanya sebagaimana yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "A'udzuka bikalimaatillahit tammati min kulli syaithonin wa hammatin wa min kulli 'aynin lammatin." (HR Bukhari), yang artinya 'Aku meminta perlindungan kepada Allah untukmu dengan kalimat Allah yang sempurna dari semua gangguan setan dan binatang, serta dari semua bahaya sihir 'ain (pandangan hasad) yang tajam'.
Masih banyak contoh macam dan peristiwa lain yang dapat dinilai bahwa benda yang digunakan adalah jimat. Apabila tujuannya adalah untuk menghilangkan atau menolak bahaya dan sebabnya tidak terbukti baik secara syar'i maupun keilmiahan/logika, serta benda itu dikalungkan, digantung atau disimpan dengan cara apapun, maka benda-benda tersebut termasuk jimat.

Pembahasan berikutnya adalah bagaimana seandainya yang digantungkan berupa ayat Al-Qur'an, ayat kursi atau dzikir-dzikir yang ada dalam syari'at? Maka jawabannya adalah seandainya tujuan menggantungkannya tersebut adalah untuk dihafal, maka hal ini dibolehkan. Namun, apabila tujuan menggantungkan ayat tersebut untuk menolak bahaya, maka perkara ini termasuk suatu haram. Namun hal ini tidaklah sampai pada tingkatan syirik karena dia telah bersandar pada kalamullah, dan bukan bersandar pada makhluk.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang penggunaan jimat ini secara umum, tidak dikecualikan satu pun, termasuk al-Qur'an tidak dikecualikan juga. Sebab lainnya adalah hal ini dapat mengantarkan pelecehan terhadap ayat-ayat al-Qur'an, semisal ketika orang yang menggantungkan ayat kursi di lehernya masuk ke kamar mandi dan tempat-tempat buruk lainnya.

Apabila seseorang menggantungkan ayat-ayat al-Qur'an (atau tulisan Allah, Nabi Muhammad dan sebagainya) di mobil dengan tujuan agar terhindar dari kecelakaan, maka perbuatan seperti ini haram. Lain halnya kalau Ayat-ayat Al Qur’an tsb digantungkan di mobil untuk mengingatkan kita selalu kepada Allah (termasuk pada saat mengemudi), tidak ada dalil yang melarangnya.

Contoh lain adalah menyimpan al-Qur'an ukuran super mini (yang untuk membacanya saja harus menggunakan kaca pembesar) di dompetnya, dengan tujuan menolak bahaya. Maka ini juga termasuk perbuatan yang haram. Hal ini bertentangan dengan tujuan diturunkannya Al-qur'an, yaitu untuk dibaca dan dijadikan pedoman hidup kita.

Adapun tulisan-tulisan arab yang tidak jelas maknanya (dikenal dengan sebutan rajah) dan biasa digantungkan di pintu-pintu rumah dengan tujuan untuk menolak bahaya (agar tidak kemasukan pencuri dan sebagainya), maka hal ini termasuk Syirik.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ

"Barang siapa bersandar kepada sesuatu, maka ia akan disandarkan padanya." (HR Ahmad dan Trimidzi, dihasankan oleh Al Arna'uth).

Pada hadits ini, Rasulullah menjelaskan bahwa seseorang akan diserahkan kepada yang dia jadikan sandaran. Seorang muslim yang menyandarkan segala urusannya kepada Allah, maka Allah akan menolong, memudahkan dan mencukupi segala urusannya. Sebaliknya, orang yang bersandar kepada selain Allah (seperti bersandar pada jimat), maka Allah akan membiarkan orang tersebut dengan sandarannya, sehingga kita dapatkan orang-orang semacam ini hidupnya tidak pernah tenang. Dia hidup dengan kekhawatiran dan ketakutan. Dia takut apabila jimatnya hilang atau dicuri, dia kehilangan percaya diri ketika jimatnya tidak bersamanya. Sungguh hal ini merupakan suatu kerugian yang nyata.


Mohon maaf kepada para Ulama dan Pembaca sekalian. Seandainya tulisan saya ada yang salah, mohon diperbaiki dan sekiranya masih sangat kurang agar bisa ditambahkan. Niat saya semata-mata hanya demi memperbaiki perilaku Ummat. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang menyandarkan segala urusan hanya kepada-Nya semata. Cukuplah Allah tempat kami menggantungkan segala sesuatu.

Wallahu a'lam

Selasa, 19 Agustus 2008

SANDIWARA POLITIK

Hari ini adalah hari terakhir pendaftaran Caleg oleh Partai Politik ke KPU/KPUD. Informasi yang kita dapatkan di lapangan, bahwa sampai saat ini baru beberapa Partai Politik saja yang sudah mendaftarkan Calegnya. Ditingkat Pusat, sampai jam 11.00 baru PDI-P dan Partai Demokrat yang mengantarkan berkasnya ke KPU Pusat. Sementara dari pantauan kami di KIP Kabupaten Bireuen, hanya dua Partai Politik yang sudah menyerahkan berkasnya.

Memang banyak kendala yang dihadapi oleh Partai Politik dalam menyelesaikan administrasi Calegnya. Berbagai persyaratan yang dipersyaratkan oleh UU Pemilu harus mereka selesaikan dalam beberapa hari saja. Kesulitan yang dihadapi adalah ketika mereka harus berhadapan dengan surat menyurat yang dibuat oleh instansi lain seperti Surat Keterangan Sehat Jasmani dan Rohani, SKCK, Surat Keterangan Terdaftar sebagai Pemilih dari PPS, dsb. Apalagi bertepatan dengan libur Agustusan, sehingga kesulitan pun bertambah.
Namun selain memang ada kendala dalam penyelesaian administrasi, tentu kita kita memungkiri ada hal-hal lain yang membuat kerja mereka jadi molor. Misalnya pada beberapa Partai Politik masih sibuk rapat siang malam, membahas berbagai persoalan. Hal yang menarik adalah ketika mereka sibuk tarik ulur dalam penempatan nomor urut. Masih terjadi dakwa-dakwi untuk menembus nomor urut "jadi" sehingga menyita energi mereka.

Hal-hal demikian seharusnya sudah selesai jauh-jauh hari. Namun apa mau dikata...? sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir semua Partai Politik hanya sibuk menjelang Pemilu. Selama 4 tahun setelah Pemilu 2004, mereka entah kemana..... Tidak ada pengkaderan Anggota, tidak rapat dan tidak ada pengurus. Malah di Kabupaten Bireuen, selama pasca Pemilu 2004 hanya beberapa Partai saja yang selalu melakukan aktivitasnya. Selebihnya tidak ada sama sekali, malah kantor Partai pun tidak ada. Pengurus Partai baru sibuk ketika akan mencairkan bantuan bagi Partai Politik yang dialokasikan setiap tahun melalui APBD masing-masing.
Mereka akan pontang panting membereskan segala administrasinya, agar dana bantuan tersebut cair.
Begitulah.......nama saja Partai Politik, bukan Remaja Mesjid... pasti berkutat dengan segala aktivitas yang berhubungan dengan politik dan tentu saja mereka sehari-hari harus "berpolitik"....

Kita kembali ke soal pencalonan...
Ada beberapa issue menarik dalam minggu ini, terutama terkait penempatan nomor urut Caleg. Beberapa Partai besar membuat cerita lucu yang tak lucu. Mereka membuat aturan intern Partai dalam hal penetapan Caleg terpilih, misalnya PAN, Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai HANURA, dll. PAN, Demokrat dan Golkar membuat aturan bahwa Caleg dengan suara terbanyak yang akan dilantik sebagai Anggota Dewan. Sementara HANURA menetapkan 15 persen suara sebagai syarat bagi kadernya. Sungguh aneh tapi nyata.....mereka (setidaknya Anggota mereka di DPR) yang membuat UU, malah mereka yang mengangkangi. Terutama Partai Golkar yang pada saat voting pengesahan UU Pemilu ngotot mempertahankan 30 persen syarat bagi Caleg untuk bisa duduk di Dewan, malah sekarang berbalik. Kita harus memberi apresiasi negatif bagi Golkar.

Saya jadi teringat kata-kata yang disampaikan oleh EEP SAIFULLAH FATAH, beberapa bulan yang lalu di Harian KOMPAS, bahwa aturan Pemilu di Indonesia hanya mengakomodir kepentingan elit Politik, bukan kepentingan rakyat. Dalam hal UU Pemilu, Eep mengibaratkan DPR seperti anaka-anak bermain pasir di pantai, dimana pada awalnya membuat gundukan pasir setinggi mungkin, kemudian merusak lagi, membuat lagi, dan seterusnya. Begitulah..... namun apa yang bisa kita lakukan sebagai rakyat....?
Pertanyaan klasik. Saya tidak mengajak Anda menjadi Golput, namun Anda harus benar-benar bisa melihat dan mencermati, siapa yang pantas menjadi wakil Anda di DPR periode 2009-2014.
Sambil menunggu hari Kamis 9 April 2009, mari kita cermati sepak terjang mereka sejak sekarang.

Salam,
mukhlis aminullah
Ketua LSM LEPOE-MAT Bireuen

SEKILAS TENTANG SEJARAH PEMILU DI INDONESIA

Pengantar
Sampai tahun 2004, Indonesia telah menyelenggarakan delapan kali pemilihan umum. Pemilu untuk pertama kalinya diselenggarakan tahun 1955. Setelah itu ada masa vakum yang cukup lama (kurang lebih enam belas tahun) sampai diselenggarakan pemilu kedua pada tahun 1971. Pemilu kedua ini digelar dalam konteks politik yang berbeda, karena ada proses transfer kekuasaan dari rezim Soekarno ke rezim Orde Baru pada tahun 1966. Rezim Orde Baru cukup konsisten menjalankan pemilu secara regular- lima tahunan- mulai dari dari 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan terakhir 1997.
Setelah era kekuasaan Orde Baru berakhir tahun 1998, maka penyelenggaraan pemilu dipercepat dari jadwal yang seharusnya, tahun 2002. Namun, perubahan konstelasi politik, memaksa Presiden Habibie untuk menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1999. Pemilu 1999 diikuti oleh pergelaran pemilu untuk ke sembilan kalinya pada tahun 2004. Pemilu 2004 mempunyai nuansa yang berbeda agak berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, karena disamping memilih anggota legislatif, pemilu 2004 juga memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah. Berikut sejarah perjalanan pemilu-pemilu di Indonesia, mulai dari Pemilu 1995-2004.

Pemilu 1955
Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Walaupun masih berusia muda, namun kehidupan politik kepartaian sangat dinamis. Hal ini didorong oleh keluarnya Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik.
Selain mengajurkan pendirian partai politik, Maklumat tersebut menyebutkan akan diselenggarakannya pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR pada bulan Januari 1946. Namun, rencana untuk mengadakan pemilu tahun 1946 tidak bisa dilaksanakan karena kondisi politik yang tidak memungkinkan.
Setelah gagal menggelar pemilu tahun 1946, pemerintah tetap merumuskan undang-undang pemilu. Hal terlihat jelas dari dirumuskannya UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipili oleh rakyat melalui pemilihan umum. Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Dalam masa pemerintahan kabinet Wilopo lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu.
Undang-undang ini menjadi payung hukum Pemilu 1955. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 dinyatakan tidak berlaku lagi. Berdasarkan amanat UU no. 7 Tahun 1953, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Pemilu pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Pemilu kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu 1955 diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Dalam UU No. 7 tahun 1953 disebutkan bhawa pemilu 1955 menggunakan sistem proporsional. Sistem proporsional yang diambil masih murni karena penentuan kursi di tiap daerah benar-benar didasarkan pada proporsi jumlah penduduk. Perkecualian ada anggota DPR yang diangkat, tidak dipilih, yaitu: 3 orang wakil Irian Jaya, 6 orang golongan Tionghoa, 3 wakil golongan Arab, dan 3 wakil golongan Eropa. Struktur pemeilihannnya menggunakan sistem daftar tertutup atau meminjam isitilah liphajrt- closed list system. Berarti pemilih hanya memilih partai politik perseta pemilu bukan memilih calon
Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Sejalan dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 membuat perubahan konstelasi politik nasional yang selanjutnya membuat pemilu tidak bisa diselenggarakan.

Pemilu-pemilu di era Orde Baru
Sistem pemilihan yang diterapkan pada pemilu-pemilu di masa Orde Baru adalah sistem proporsional tapi tidak murni. Sebab penentuan jumlah kursi masing-masing daerah pemilihan tidak semata-mata ditentukan oleh jumlah penduduk tapi juga didasarkan pada wilayah administrasi. Dengan kata lain pemilu-pemilu di masa Orde Baru menggunakan sisitem proporsional yang dikombinasikan dengan sedikit sistem distrik. Hal ini dlakukan untuk mengurangi kesenjangan Jawa dan luar Jawa akibat perbedaan jumlah penduduk. Berikut dinamika perjalan sistem dan proses pemilu di masa Orde Baru:

Pemilu 1971
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
Undang-undnag yang digunakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun. Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah konsep “netralitas birokrasi” bahwa birokrasi dan para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971, birokrasi dan para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma. Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi.

Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Hal ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang p

Pemilu di Era Reformasi
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Pemilu 1999
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Hal ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Menurut UU No. 3 tahun 1999, Sistem PEMILU 1999 menggunakan sistem proporsional dengan sistem stesel daftar. Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara. Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil).
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada Presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.
Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Hal ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.
Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997.


Pemilu 2004

a. Sistem Pemilihan DPR/DPRD

Berdasarkan UU No.12/2003, sistem yang digunakan dalam pemilihan legislatif adalah sistem proporsional dengan daftar terbuka (ps.6 ayat 1). Dalam sistem ini, selain dicantumkan lambang partai sekaligus daftar nama calon legislatif. Dengan demikian, para pemilih dapat memilih partai dan calon yang dikehendaki. Melalui sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka, masyarakat pemilih tidak lagi hanya mencoblos tanda gambar partai, tetapi boleh memilih orang dari masing-masing kontestan. Parpol dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120% dari jumlah kursi satu daerah pemilihan (ps. 65 ayat 2). Daftar calon yang diajukan oleh parpol disusun berdasarkan nomor urut yang ditetapkan parpol sesuai dengan tingkatanya (ps. 67 ayat 3).
Sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka dapat menghindari bias terhadap parpol kecil yang merupakan salah satu kelemahan sistem distrik. Artinya, suara yang diperoleh partai tidak serta merta hangus dan sia-sia jika tidak memenuhi bilang pembagi. Secara teknis, sistem ini juga memperingan beban calon dalam meniti karir di partai politik. Selain itu, partai politik tidak bisa sewenang-wenang menetapkan calon terpilih kecuali jika suara tidak memenuhi BPP. Dengan demikian, akuntabilitas calon terhadap pemilihan dan daerah pemilihan jauh lebih besar dibanding pemilu sebelumnya.
Namun, jika kita mementingkan tingkat akuntabilitas, permasalahan yang mengemuka pada pemilu DPR/DPRD adalah tidak adanya keharusan bagi pemilih untuk mencoblos nama calon legislatif. Suara dianggap sah jika lambang partai yang dicoblos atau pemilih mencoblos lambang partai dan nama calon, sementara suara dianggap tidak sah jika pemilih hanya mencoblos nama calon. Celah regulasi ini, dimanfaatkan oleh partai untuk menyerukan kepada pemilih agar mencoblos lambang partai saja. Terbukti hanya sedikit calon yang terpilih karena telah memenuhi bilangan pembagi.

b. Sistem Pemilihan DPD

Berbeda dengan logika yang dibangun dalam sistem pemilu DPR/DPRD, logika keterwakilan dalam DPD dibangun dengan beberapa asumsi, Pertama, DPD merupakan perwakilan ruang. Artinya DPD tidak mewakili orang sebagaimana DPR. DPD mewakili wilayah yang disebut sebagai provinsi. Setiap wilayah yang diwakili DPD dianggap memiliki kekhususan lokal yang harus diapresiasi dalam tingkat nasional. Kedua, komposisi suara DPD dalam MPR dipakai sebagai penyeimbang perwakilan antara Jawa-luar Jawa. Jumlah anggota DPR yang mewakili orang akan sebanding dengan jumlah penduduk dimana 70 % penduduk tinggal di Jawa. Sedangkan dalam sistem perwakilan DPD dimana setiap provinsi memiliki keterwakilan yang sama yaitu 4 orang, Jawa hanya akan memiliki 24 orang wakil dari 6 provinsi. Sedangkan luar Jawa akan memiliki sekitar 104 wakil dari 26 provinsi.
Sistem pemilihan DPD dilaksanakan dengan menggunakan sistem distrik berwakil banyak (UU 12/2003, Pasal 6 Ayat 2). Tujuan penggunaan sistem ini untuk peningkatkan keterikatan anggota DPD dengan warga daerah konstituenya. Artinya, dengan sistem ini berarti anggota DPD memiliki tanggungjawab moral maupun politik yang besar untuk memperjuangkan kepentingan daerah. Dengan kata lain, anggota DPD sangat terikat dan tidak bisa ‘lari’ dari konstituennya. Keuntungan lain dari sistem pemilihan ini adalah secara politis anggota DPD memiliki legitimasi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan anggota DPR. Karena dukungan bersifat distrik maka hubungan antara konstituen dengan anggota DPD lebih riil dan langsung. Bahkan, jika anggota DPD cukup tekun, maka berdasarkan hasil perolehan suara, dia bisa mempunyai peta politik tentang pengaruhnya dan bisa menyusun perkiraan tentang karakter dan aspirasi konstituen (Legowo, dkk, 2005:171).
Sungguhpun demikian, sistem distrik yang digunakan dalam pemilihan DPD di Indonesia tidak sama dengan sistem distrik yang dipakai di Amerika, Canada, India, New Zealand, dsb. Beberapa perbedaan tersebut adalah: (Pratikno, 2004)
1. Tidak memperhitungkan jumlah penduduk. Padahal dalam sistem distrik yang lazim, jumlah penduduk merupakan penentuan bagi jumlah distrik dan keterwakilannya, karena mewakili distrik tertentu dianggap mewakili orang yang ada di distrik tersebut. Dengan demikian, sistem distrik dalam pemilu DPD menggunakan logika perwakilan ruang bukan orang.
2. Setiap pemenang memperoleh suara yang berbeda-beda. Jumlah suara yang diperoleh anggota DPD dari Provinsi DKI akan jauh lebih banyak dari suara yang diperoleh anggota DPD dari Provinsi Gorontalo. Usaha untuk memenangkan pemilu DPD pada daerah padat penduduk akan lebih susah dari yang penduduknya sedikit. Pada sistem distrik yang lazim, suara yang didapatkan untuk setiap kandidat relatif sama, karena distrik dibagi berdasarkan jumlah penduduk.
3. Pemilih hanya diberi kesempatan memilih satu kali untuk 4 orang perwakilan. Hal ini menyebabkan prosentase suara yang didapatkan pemenang sangat bergantung kepada peserta pemilu DPD untuk setiap Provinsi. Dalam sistem Block Vote, pemilih diberi kesempatan untuk memilih sebanyak kandidat yang akan mewakili setiap distrik.
4. Pemenang tidak akan mencapai mayoritas. Pemenang maksimal hanya akan mendapatkan dukungan 20 % seandainya peserta DPD hanya 5 orang dengan asumsi semua orang memiliki dukungan yang hampir sama. Prosentase ini akan semakin kecil dengan semakin banyakya jumlah kandidat. Dalam Block Vote System, kandidat yang terpilih dapat memperoleh mayoritas suara lebih dari 50%. Block Vote lebih menunjukkan tingkat dukungan riil yang didapatkan.


c. Sistem Pemilihan Presiden

Sistem pemilihan presiden langsung di Indonesia mengacu pada pasal 6 A terutama dalam ayat 3 dan 4. Dimana calon dinyatakan sebagai pemenang bila memperoleh minimal 50+1 suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Jika tidak ada yang mendapatkan suara itu diadakan pemilu ulang diantara dua calon yang memperoleh suara terbanyak. Menurut Smita Notasusanto, pemilihan presiden dan wakil presiden dengan dua putaran dijalankan dengan tujuan pokoknya membangun dukungan luas bagi presiden, legislatif maupun masyarakat, sehingga legitimasi politik lebih kokoh dan stabilitas pemerintahan lebih terjamin. Paling tidak ada lima kelebihan dengan memakai sistem ini (Notosusanto, 2002):
1. Memiliki mandat dan legitmasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat secara langsung;
2. Tidak perlu terikat pada konsensi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah memilihnya;
3. Lebih akuntabel dibandingkan sistem lain. Karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya kepada legislatif atau ‘electoral college’ secara sebagian atau sepenuhnya;
4. Check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih seimbang;
5. Kriteria calon proses dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya.

d. Pemilihan Kepala Daerah

Amandemen UUD 1945 mengamanatkan sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Peserta dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pengertian partai politik dan gabungan partai politik tentu saja partai yang memiliki kursi di legislatif. Yang sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi atau 15% dari akumulasi perolehan suara yang sah dalam pemilihan umum serta memperhatikan pendapat dan tanggapan dari masyarakat. Secara umum, sistem pemilihan kepala daerah sama dengan sistem pemilihan presiden yaitu menggunakan two round system. Namun, yang membedakan adalah putaran kedua pada pemilihan kepala daerah hanya dilakukan ketika tidak ada kandidat yang menang 25% pada putaran pertama.

Tata Cara Dan Proses Perhitungan Pemilu Legislatif

Jika dibandingkan dengan pemilu Presiden, Gubernur/Bupati/Walikota, dan DPD yang menggunaan sistem pluralitas-mayoritas, tata cara dan proses penghitungan pemilu legislatif di Indonesia lebih rumit. Ini disebabkan pemilu legslatif menggunakan sistem proporsional daftar terbuka dimana anggota legislatif terpilih bukan hanya yang memenuhi BPP tetapi juga menghitung jumlah suara yang partai politik untuk dikonversi menjadi kursi. Untuk itu, pada bagian ini yang akan dibahas hanyalah tata cara dan proses penghitungan suara legislatif.
Pemungutan suara pemilihan anggota DPR/DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilakukan secara serentak pada hari dan tanggal yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada saat pemberian suara, pemilih dapat mencoblos dengan dua cara, yaitu mencoblos gambar partai atau mencoblos gambar partai dan gambar calon anggota legislatif. Suara dianggap tidak sah jika pemilih hanya mencoblos gambar calon anggota legislatif.
Dalam pemilu legislatif metode penghitungan suara untuk menentukan alokasi kursi yang diperoleh setiap parpol peserta pemilu diatur dalam Pasal 105 dan 106 UU No.12/2003. Metode penghitungan suara dilakukan melalui dua (2) tahapan penghitungan suara:

Tahap 1
 Hitung perolehan suara sah setiap parpol dan totalnya dari satu daerah pemilihan
 Hitung Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) yaitu total suara sah satu daerah pemilihan dibagi jumlah kursi yang diperebutkan di daerah tersebut (ps 105,2).
 Suara sah setiap parpol dibagi dgn BPP. Parpol yang suara sahnya lebih dari angka BPP akan langsung mendapat kursi. Kelebihan suara dan suara sah parpol yg kurang dari BPP menjadi sisa suara.
Tahap 2
 Kursi yang belum habis terbagi pada tahap pertama akan didis-tribusikan pada perhitungan tahap kedua
 Sisa kursi akan diberikan kepada parpol satu persatu berdasarkan urutan parpol yang memperoleh sisa suara terbanyak
 Setelah semua kursi satu daerah pemilihan telah habis terbagi, sisa suara yang lain hangus. Tidak lagi diatur penggabungan suara dengan daerah lain baik dalam satu maupun gabungan parpol. Stembus Accord dilarang.
Setelah setiap parpol mengetahui alokasi kursi yang diperolehnya, maka langkah berikutnya adalah menentukan caleg terpilih yang akan menduduki kursi-kursi yang telah diperoleh parpol dalam proses penghitungan suara tahap ke 1 dan ke 2. Langkah-langkah yang harus diambil dalam penetapan calon terpilih adalah :

 Melihat hasil perhitungan perolehan suara setiap caleg.
 Caleg yang perolehan suaranya mencapai BPP langsung ditetapkan sebagai calon terpilih.
 Caleg yang tidak mencapai BPP tidak memperoleh kursi, parpol kemudian menetapkan caleg terpilih berdasarkan nomor urut dalam daftar parpol di daerah pemilihan tersebut.
Teknik penghitungan di atas tentunya bukan tidak memunculkan problem baik problem teknis maupun substanstif. Berikut problem-problem yang muncul dalam penghitungan suara pada pemilu legislatif.



Pada Pemilu 1999, Daerah Pemilihan (DP) merupakan satu kesatuan daerah administratif pemerintahan (Provinsi, Kabupaten/ Kota). Pada Pemilu 2004 DP merupakan gabungan dari dua atau lebih daerah administratif pemerintahan (kabupaten/ kota atau kecamatan) (Ps. 46/1). Berdasarkan UU No.12/2003 Pasal 46, maka:
1. Daerah Pemilihan Anggota DPR adalah Provinsi atau bagian-bagian provinsi.
2. Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi adalah Kabupaten/Kota atau gabungan Kabupaten/Kota.
3. Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah Kecamatan atau Gabungan Kecamatan.

Jika ditelururi secara seksama, pembagian daerah pemilihan seperti itu bukanlah tanpa masalah. Masalah yang ditimbulkan oleh aturan tentang pembentukan DP berkait dengan rentang jumlah kursi di setiap DP. Dalam UU No. 12 tahun 2003 rentang jumlah kursi di setiap DP yang berjumlah 3 sampai dengan 12, akan menghasilkan keterwakilan yang sangat berbeda (Ps. 46/2), yaitu: (Cetro, 2004)
1. Semakin ke arah 3 maka hasil pemilu semakin tidak proporsional, semakin sulit bagi partai untuk meperoleh kursi di Daerah Pemilihan tersebut. Hal ini disebabkan karena nilai satu kursi menjadi sangat mahal (Harga satu kursi = 1/3 atau 33,3 % suara).
2. Semakin ke arah 12 maka hasil pemilu semakin proporsional, semakin mudah bagi partai untuk memperoleh kursi karena nilai satu kursi = 1/12 atau 8,4% suara untuk DP dgn 12 kursi).
3. Akibatnya, semakin besar ukuran daerah pemilihan dan jumlah kursi yang diperebutkan, semakin besar peluang bagi parpol menengah dan kecil untuk memperoleh kursi. Sebaliknya semakin kecil ukuran daerah pemilihan dan jumlah kursi di daerah pemilihan tersebut, semakin besar peluang bagi parpol besar.
4. Pengaturan tersebut lebih mirip pembatasan (threshold) tersembunyi.
5. Di wilayah yang sudah didominasi satu atau dua partai politik daerah pemilihan kecil akan menyulitkan partai yang berada diurutan bawah.
6. Efek threshold tersembunyi juga akan mengurangi peluang terpilihnya caleg perempuan. Semakin kecil ukuran daerah pemilihan dan jumlah kursi di daerah pemilihan tersebut, semakin kecil peluang caleg perempuan untuk terpilih kecuali bila diletakkan di “nomor” jadi. Hal ini disebabkan karena di DP dengan jumlah kursi kecil, maka insentif bagi parpol untuk mencalonkan caleg perempuan akan kecil karena harus bertarung dengan sengit dan parpol akan segan mencalonkan caleg yang dianggap sudah pasti kalah.
7. Simulasi terhadap hasil Pemilu 1999 menunjukkan bahwa perolehan Parpol besar seperti PDIP dan Golkar semakin besar apabila ukuran DP (atau jumlah kursi dalam DP) kecil, sedangkan perolehan parpol menengah, parpol kecil akan bertambah apabila ukuran (atau jumlah kursi dalam DP) besar.

DIABETES MELLITUS

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit degeneratif yang memerlukan upaya penanganan yang tepat dan serius. Karena jika tidak, dampak dari penyakit tersebut akan membawa berbagai komplikasi penyakit serius lainnya, seperti penyakit jantung, stroke, disfungsi ereksi, gagal ginjal, dan kerusakan system syaraf.

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia menempati urutan keenam di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita Diabetes Mellitusnya terbanyak setelah India, China, Uni Sovyet, Jepang, dan Brasil. Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 5 juta dengan peningkatan sebanyak 230.000 pasien diabetes per tahunnya, sehingga pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 12 juta penderita.

Diabetes Mellitus itu sendiri didefinisikan sebagai penyakit dimana tubuh penderita tidak bisa secara otomatis mengendalikan tingkat gula (glukosa) dalam darahnya. Penderita diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup, sehingga terjadi kelebihan gula di dalam tubuh. Kelebihan gula yang kronis di dalam darah (hiperglikemia) ini menjadi racun bagi tubuh.

Tipe Diabetes

1. Diabetes Tipe I (IDDM/ tergantung insulin)

Seseorang dikatakan Diabetes tipe I, jika tubuh perlu pasokan insulin dari luar. Hal ini disebabkan karena sel-sel beta dari pulau-pulau Langerhans telah mengalami kerusakan, sehingga pancreas berhenti memproduksi insulin. Kerusakan sel beta tersebut dapat terjadi sejak kecil ataupun setelah dewasa.

2. Diabetes Tipe II (NIDDM/ tidak tergantung insulin)

Diabetes tipe II terjadi jika insulin hasil produksi pancreas tidak cukup atau sel lemak dan otot tubuh menjadi kebal terhadap insulin, sehingga terjadi gangguan pengiriman gula ke sel tubuh. Biasanya orang yang terkena penyakit diabetes tipe ini yaitu orang dewasa.


Gejala – Gejala Diabetes

Gejala diabetes tipe I muncul secara tiba-tiba pada saat usia anak-anak (di bawah 20 tahun), sebagai akibat dari adanya kelainan genetika, sehingga tubuh tidak dapat memproduksi insulin dengan baik. Gejala-gejala diabetes tipe I, antara lain :

• Berat badan menurun
• Kelelahan
• Penglihatan kabur
• Sering buang air kecil
• Terus menerus lapar dan haus
• Meningkatnya kadar gula dalam darah dan air seni

Sedangkan gejala-gejala diabetes tipe II muncul secara perlahan-lahan sampai menjadi gangguan yang jelas, dan pada tahap permulaannya sama seperti gejala diabetes tipe I.

Penyebab Diabetes

Penyebab utama diabetes di era globalisasi adalah adanya perubahan gaya hidup (pola makan yang tidak seimbang, kurang aktivitas fisik). Selain itu, adanya stress, kelainan genetika, usia yang semakin lama semakin tua dapat pula menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya penyakit diabetes.

Pencegahan Diabetes

Penyakit ini dapat dicegah dengan merubah pola makan yang seimbang (hindari makanan yang banyak mengandung protein, lemak, gula, dan garam), melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit setiap hari (berenang, bersepeda, jogging, jalan cepat), serta rajin memeriksakan kadar gula urine setiap tahun.

Cara Mengatasi Diabetes

Kalau sudah positif diabetes, maka sebaiknya konsultasikan dengan dokter dan ikuti anjuran dokter dengan penuh disiplin. Selain itu, perlu melakukan diet, karena diet merupakan langkah awal dari usaha untuk mengendalikan diabetes. Namun, sebaiknya ketika melakukan diet, perlu juga dibarengi dengan olah raga secara teratur. Dan terakhir, pemeriksaan darah untuk mengukur kadar gula Diabetes, yang merupakan suatu gangguan kelainan kadar gula darah karena rusaknya sel beta pancreas, sehingga perlu dikontrol dengan cermat.
DIABETES MELLITUS

Diabetes Mellitus (DM) dalam kehidupan sehari-hari dikenal sebagai penyakit kencing manis. DM adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar gula (glukosa) dalam darah yang berlebihan dan terjadi secara menahun. Disebut penyakit kencing manis, karena dalam urin (kencing) penderita DM dapat diketemukan zat gula yang mana seharusnya tidak diketemukan.

Zat gula diperlukan oleh tubuh untuk diubah menjadi energi / tenaga. Zat gula diperoleh tubuh melalui makanan terutama yang mengandung karbohidrat dan gula. Hampir semua makanan yang kita makan dapat diubah menjadi zat gula. Setelah masuk ke dalam tubuh, zat gula akan diedarkan keseluruh sel tubuh melalui aliran darah. Kelebihan zat gula karena kurangnya aktivitas,
akan disimpan oleh tubuh. Bagi mereka yang kurang melakukan aktivitas, seperti olah raga, kelebihan zat gula tersebut akan disimpan dalam bentuk lemak, sedangkan bagi orang yg sering beraktivitas akan tersimpan dalam bentuk otot seperti pada atlet
binaragawan. Proses pengubahan zat gula yang ada dalam darah menjadi lemak atau otot, terjadi dengan bantuan hormon insulin yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas.

Jadi hormon insulin bertugas untuk mendeteksi apabila kadar gula dalam darah tinggi karena belum dibutuhkan oleh tubuh, yang akan diturunkan dengan cara mengubahnya menjadi otot dan lemak. Sebaliknya bila zat gula dibutuhkan oleh tubuh (karena adanya suatu aktivitas) dan sementara belum ada masukkan zat gula lewat makanan, maka hormon glukagon akan merombak
lemak tubuh atau otot menjadi zat gula yang selanjutnya bisa digunakan untuk menghasilkan tenaga. Begitulah mekanisme pengaturan keseimbangan kadar zat gula didalam tubuh manusia yang normal.

Dalam tubuh penderita DM, hormon insulin yang seharusnya mengontrol kadar gula dalam darah, 'terlena' sehingga kadar gula tetap tinggi dan terbuang lewat urin (kencing). Hal ini yang menyebabkan penyakit ini disebut dengan penyakit kencing manis.

Dua Jenis Diabetes Mellitus (DM)

Saat ini dalam dunia kedokteran dikenal ada 2 jenis penyakit DM. Yang pertama dikenal sebagai DM tipe 1. Penyebab dari DM tipe 1 masih belum diketahui secara pasti. Pada penderita DM tipe 1, pankreas-nya secara terlahir tidak menghasilkan hormon insulin. Akibatnya dari kecil sampai tua, penderita ini sangat tergantung dengan hormon insulin buatan yang harus disuntikkan pada tiap saat tertentu. DM tipe 1 ini biasanya diturunkan oleh orang tuanya.

Untuk DM tipe 2, penderitanya sebelumnya tidak mempunyai gangguan pada pankreas maupun produksi hormon insulin-nya. Dengan berjalannya waktu, pengeluaran hormon insulin-nya mulai mengalami gangguan. Gawatnya, penderita DM tipe 2 seringkali
tidak terdiagnosis pada awalnya dan terdeteksi (biasanya pada umur 50 sampai 65 tahun) setelah penyakit ini mulai menunjukkan komplikasi berupa kerusakan pada organ tubuh seperti: mata, ginjal, saraf, gusi, gigi dan pembuluh darah.

(disarikan dari berbagai sumber)