Sabtu, 14 Maret 2009

PROSES PEMILU DAN PERAN SAKSI



Bila kita cermati proses Pemilu 2009 sejak awal, ada beberapa catatan yang menarik perhatian kita (terutama kita yang berminat masalah Pemilu).Pada kesempatan ini saya ingin menulis sekelumit tentang peran Saksi bagi Peserta Pemilu pada proses pemungutan dan penghitungan suara.

Eforia Pemilu 2009 ditandai dengan banyaknya Partai Politik yang lolos menjadi Peserta Pemilu. Sama saja dengan yang terjadi pada tahun 2004,hanya jumlahnya yang lebih sedikit dibandingkan sekarang.
Tidak semua orang yang berpolitik atau setidaknya berkecimpung dalam politik itu mengerti proses Pemilu. Apalagi proses politik. Banyak diantara pengurus Partai, terutama Partai baru di daerah yang hanya aji mumpung alias menggunakan kesempatan. Ada yang menggunakan kesempatan jadi Caleg seperti melamar pekerjaan. Terpilih artinya punya pekerjaan, tidak terpilih ya, nganggur lagi... Ada juga yang memilih cukup jadi pengurus Partai saja, namun memainkan peran lebih besar untuk seperti pemegang "remote control" bagi keberadaan Calegnya.
Semua itu berlangsung secara instan tanpa proses pemagangan atau pengkaderan oleh Partainya. Memang tidak semua demikian, karena ada juga Partai baru yang sudah siap lahir bathin.

Karena proses yang instan itu akhirnya pemahaman tentang Pemilu sangat minim, sehingga tidak heran bila sampai hari ini ada pengurus Partai atau Caleg yang tidak tau bagaimana mekanisme pemungutan suara ataupun penetapan Caleg terpilih. Akibatnya tidak ada kesepahaman antara pengurus Partai atau Caleg dengan penyelenggara Pemilu.
Beberapa kali saya diminta penjelasan oleh rekan-rekan Parpol atau Caleg tentang dua hal yang saya sebutkan tadi.

Kondisi seperti ini tidak mengherankan. Pada Pemilu 2004 juga demikian. Saya punya pengalaman yang kurang baik 5 (lima) tahun yang lalu. Setelah proses Rekapitulasi Penghitungan suara oleh PPK Gandapura di Geurugok dan hasilnya sudah disampaikan ke KPU Bireuen, ada Caleg yang memobilisasi massa melakukan demontrasi ke kantor KPU Bireuen. Mereka tidak puas dan mencurigai ada "permainan" jual beli suara oleh penyelenggara Pemilu. Secara resmi Partainya juga melakukan protes ke KPU Bireuen maupun Panwaslu Bireuen.
Akhirnya, KPU Bireuen bersama PPK Gandapura melakukan penghitungan ulang di Geurugok. Dan ternyata kerurigaan mereka hanya su'udzzon belaka. Tidak ada kecurangan sama sekali. Pada kesempatan lain, akhirnya Partai tsb mengakui adanya perbedaan pemahaman tentang teknis penghitungan suara. Nah...!!!

Sebenarnnya hal demikian tidak perlu terjadi bila mereka yang menjadi Pengurus Partai atau Caleg mengerti tentang Pemilu. Dan khusus pada proses pemungutan dan penghitungan suara, Partai politik punya kesempatan untuk menempatkan Saksi-nya. Dan untuk menjadi Saksi haruslah dilatih, juga di tatar agar paham proses Pemilu. Jangan main tunjuk saja pada malam pemungutan suara. Saksi haruslah orang yang berkualitas.

Saksi yaitu orang yang mendapat mandat tertulis dari Partai Politik peserta Pemilu untuk mengawasi jalannya proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS maupun proses Rekapitulasi penghitungan suara di tingkat PPK, KIP Kab/Kota, KIP Provinsi dan tingkat Nasional di KPU.

Peran dan Tugas Saksi dalam Pemilu adalah :

1.Menyerahkan Surat Mandat Saksi yang dikeluarkan oleh Partai (DPC/DPD Tingkat
Kabupaten) kepada Ketua KPPS tempat Saksi ditugaskan, paling lambat satu hari
sebelum Pemungutan dan Penghitungan Suara.
2.Menghadiri proses Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS pada hari Kamis tgl 9
April 2009, satu jam sebelum acara Rapat Pemungutan Suara dimulai.
3.Mengawasi dengan cermat proses Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS, apakah
sesuai dengan aturan atau tidak……
4.Bila ada kejanggalan ataupun terjadi suatu pelanggaran aturan pada proses
Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS, Saksi dapat meminta KPPS melakukan
koreksi atas kejanggalan tsb. Bila koreksi tsb tidak diindahkan oleh KPPS, Saksi
dapat menulis keberatan dengan cara mengisi Formulir C3-KWK yang disediakan oleh
KPPS.
5.Meminta hasil Penghitungan suara yang telah diisi oleh KPPS (Formulir C-KWK)
kepada Ketua KPPS apabila ybs lupa atau lalai memberikan 1 (satu) eks kepada para
Saksi.
6.Melaporkan kepada Tim Kampanye Partai hasil pelaksanaan tugas sesegera mungkin.

Apa yang saya paparkan hanya sepintas saja, untuk lebih detail tentu harus meminta penjelasan kepada KIP Kabupaten Bireuen. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

mukhlis aminullah
mantan Anggota KPU Bireuen
mvkhlis_aminullah@yahoo.com

HATI-HATI AGAR TIDAK JADI KAFIR

Mencermati perkembangan Islam dewasa ini sangat menggembirakan. Perkembangan Islam dan kesadaran beragama mulai tumbuh di kalangan masyarakat. Hal ini ditandai dengan keasadaran masyarakat untuk mengikuti berbagai kegiatan keagamaan seperti pengajian dan kajian-kajian Islam di berbagai lembaga. Indikator lain adalah semakin banyak orang yang menyekolahkan anaknya ke pesantern terpadu dan sekolah-sekolah Islam (perguruan Islam).
Begitu juga para "pencari Tuhan" makin banyak saja sehingga beberapa Lembaga yang peduli terhadap perkembangan dunia Islam membuat suuatu wadah yang khusus menampung para Muallaf.

Kita sebagai Muslim tentu sangat gembira dengan fenomena ini. Namun kita tidak boleh terlena dengan perkembangan ini. Karena disamping perkembangannya tentu juga ada kemunduran. Yang patut kita khawatirkan adalah kemunduran pemahaman terhadap Tauhid Islam. Pelajaran tentang ketauhidan akan dengan mudah diakses oleh siapa saja. Bermacam situs internet menawarkan ilmu agama Islam. Tidak semua benar, karena ada juga situs-situs internet yang dikelola oleh orang-orang yang ingin menghancurkan Islam, baik dari kalangan Islam sendiri, terutama oleh orang-orang kafir.

Seperti sudah menjadi rahasia umum, di Indonesia sedang berkembangnya pemahaman tentang Islam liberal yang dimotori oleh Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok ini sangat menguasai pasar, sehingga berbagai kalangan sudah menjadi bagian JIL. Universitas Paramadina adalah motornya dibidang Akademik. Mereka juga menyebarkan tulisan-tulisannya melalui web antara lain www.islamlib.com dan www.khatulistiwa.org
dan berbagai blog yang menyesatkan.
Sasaran berbagai kelompok yang menyatakan dirinya sebagai pembaharu Islam adalah generasi muda, terutama bagi generasi yang berasal dari keluarga kebarat-baratan atau keluarga yang berasal dari latar belakang berbeda, misalnya keluarga yang Bapaknya Islam, Ibunya Kristen atau sebaliknya. Mereka juga mengincar para Muallaf terutama yang berasal dari Pebisnis atau orang sibuk lainnya. Yang memikirkan bahwa Islam itu hanya Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji.

Untuk mengantisipasi perkembangan yang makin dahsyat terhadap pemahaman ini, kita harus bersatu memperkuat ukhuwah antar ummat Islam. Dan tentu saja sebelumnya kita harus memperkuat basic agama dalam keluarga.
Tanpa itu, generasi muda kita akan terjebak dalam "permainan" Tauhid yang mereka yang mereka tawarkan.

Saya khawatir kita secara perlahan-lahan akan meninggalkan Islam dalam kehidupan kita. Agama hanya akan jadi simbol. Islam adalah shalat. Shalat artinya alim.....
Padahal jauh-jauh hari Rasulullah sudah mengingatkan bahwa kafir bukan hanya orang Non-Muslim saja, tapi juga termasuk Muslim, apabila yang bersangkutan sudah bisa dikriteriakan kafir. Untuk itu, marilah kita hati-hati, jangan sampai kita tanpa sadar telah "mengkafirkan" diri sendiri.

Apa kriteria kafir atau seseorang dikatakan kafir....? Mari kita simak bersama.

Berikut ini uraian Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni juz 9.

Masalah “Ahli Kitab dan Majusi itu diperangi sehingga mereka masuk Islam atau memberikan jizyah dari tangan mereka dalam keadaan hina, dan diperangi pula orang-orang selainnya, yaitu orang-orang kafir, sehingga mereka masuk Islam.”

Garis besarnya bahwa orang kafir itu ada tiga jenis.

(Pertama) Kafir jenis ahli kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan orang-orang yang menjadikan Taurat dan Injil sebagai kitab sucinya, seperti orang Samirah (Sameria) dan orang-orang Eropa dan semacamnya. Mereka itu diterima jizyahnya apabila mereka menyerahkannya dan mereka tetap dalam agamanya. Karena Allah Ta’ala berfirman,:

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS At-Taubah: 29).

(Kedua) kafir jenis yang memiliki serupa Kitab (syubhatu kitab) yaitu Majusi, mereka itu hukumnya seperti hukum Ahli Kitab dalam hal diterimanya jizyah dari mereka dan penetapan mereka dengan jizyah itu. Karena Nabi saw bersabda,

“Perlakukanlah pada mereka seperti perlakuan terhadap Ahli Kitab.”

Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ahli ilmu dalam hal dua jenis kafir ini (Ahli Kitab dan Majusi).

(Ketiga) kafir jenis yang tidak memiliki kitab dan tidak memiliki serupa Kitab, yaitu orang-orang selain dua jenis itu (bukan Ahli Kitab dan bukan Majusi), mereka itu adalah para penyembah berhala dan orang yang menyembah apa yang dianggapnya baik, dan orang-orang kafir lainnya; maka mereka tidak diterima jizyahnya dan tidak diterima dari mereka selain keislamannya. Inilah dhohirul madzhab (madzhab yang dhahir/ menonjol), dan itulah madzhab Syafi’i. Dan diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa jizyah diterima dari semua kafirin kecuali penyembah berhala dari Arab. Dan itulah Madzhab Abu Hanifah, karena mereka (kafirin) ditetapkan atas agama mereka dengan mau menjadi budak maka mereka (kafirin) itu ditetapkan dengan menyerahkan jizyah seperti Majusi. Dan diceritakan dari Imam Malik bahwa jizyah itu diterima dari seluruh orang kafir kecuali kafir Quraisy karena (berdasarkan) Hadits Buraidah dan itu umum, dan karena mereka adalah orang-orang kafir maka menyerupai Majusi.

Adapun orang Majusi maka mereka memiliki syubhatu kitab (serupa kitab). Dan syubhatu kitab itu menduduki kedudukan kitab yang sebenarnya dalam hal yang dibangun atas ihtiyat (kehati-hatian), maka diharamkan darah mereka (dilarang dibunuh) karena memiliki syubhatu kitab itu. Tetapi tidak ada ketetapan tentang halalnya wanita-wanita mereka (Majusi) dan sembelihan mereka, karena kehalalan itu tidak ditetapkan dengan syubhat..

Kesimpulan:

Dari penjelasan Imam Ibnu Qudamah itu bisa disimpulkan bahwa orang kafir itu ada tiga macam:

1. Kafir Ahli Kitab, yaitu Yahudi, Nasrani, dan orang-orang yang menjadikan Taurat dan Injil sebagai kitab sucinya seperti orang Sameria dan Eropa.

2. Kafir yang memiliki serupa kitab (mirip Taurat atau Injil), yaitu orang Majusi.

3. Kafir yang tidak punya kitab dan tidak punya serupa kitab, mereka adalah para penyembah berhala dan lain-lainnya.

Tiga jenis kafir itu ada hukum-hukumnya masing-masing.

1. Kafir Ahli Kitab, diperangi sampai tunduk membayar jizyah. Sembelihan mereka halal, wanita-wanita muhshonat (yang ‘iffah/ menjaga diri) halal dinikahi. Namun laki-lakinya tetap haram menikahi wanita muslimah, karena mereka adalah kafir. Haramnya menikahi wanita muslimah itu berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah/ 60 ayat 10.

2. Kafir Majusi, diperangi sampai tunduk dan membayar jizyah, sedang wanitanya haram dinikahi (apalagi lelakinya haram menikahi wanita muslimah), dan sembelihannya pun haram dimakan. Larangan menikah dengan mereka itu berdasarkan QS Al-Mumtahanah/ 60 ayat 10 dan Al-Baqarah ayat 221.

3. Kafir yang bukan Ahli Kitab dan bukan Majusi, diperangi sampai mau menerima Islam (Madzhab Hanafi dan Maliki). Kafir musyrik ini sembelihannya haram dimakan, dan wanitanya haram dinikahi, serta lelakinya haram menikahi wanita muslimah. Larangan itu berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah/ 2 ayat 221, dan Al-Mumtahanah/ 60 ayat 10. Mereka itu adalah orang-orang kafir musyrikin, ada yang beragama Hindu, Budha, Sinto, Animisme, Dinamisme, Kejawen yang menentang Islam, Perdukunan, penyembah kokolot, aliran-aliran kepercayaan kemusyrikan –baik local maupun nasional bahkan internasional, spiritualism, pemuja roh nenek moyang, penyembah kuburan, tepekong, patung/ berhala, Konghucu, penyembah matahari, bulan, bintang, kerbau, dan mereka yang percaya/ menyembah benda-benda keramat dan aneka kepercayan yang tidak sesuai dengan Islam, dan para penyembah hak asasi manusia.

Ketiga jenis kafir itu (Ahli Kitab, Majusi, dan musyrikin) semuanya ditegaskan akan kekal selama-lamanya di neraka jahannam dan seburuk-buruk manusia. Ini berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Bayyinah: 6.

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS Al-Bayyinah: 6).

Orang-orang kafir yaitu Yahudi, Nasrani, dan musyrikin itu sebagai penghuni-penghuni neraka selama-lamanya. Itu jelas berbeda dengan orang Mukmin/ Muslim penghuni surga. Allah swt berfirman:

Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. (QS Al-Hasyr: 20).

Kenapa ada model propaganda yang kini menyamakan antara kafirin dengan mukminin? Padahal Al-Qur’an sudah jelas membedakannya. Dan kenapa mereka berani mempropagandakan keselamatan terhadap kafirin itu? Betapa beratnya tanggung jawab mereka di akherat kelak, untuk menghadapi tuntutan keselematan dari kafirin yang tak sedikit jumlahnya itu di depan neraka. Na’udzubillahi min dzalik!

Wallahu'alam

salam
peminat agama

Jumat, 13 Maret 2009

PELAYANAN KESEHATAN


Setelah sekian lama saya tidak berhubungan dengan RSU dr.Fauziah Bireuen, hari ini saya datang lagi kesana. Saya harus membawa adik saya untuk rontgen tulang punggung karena khawatir bermasalah, setelah beberapa hari yang lalu adik saya yang ketiga itu terjatuh dari kenderaan sepulangnya kuliah di Matang Geulumpang Dua.

Mengingat hari ini hari Jum'at, sejak pagi kami sudah mengantri di depan ruang tunggu Spesialis Bedah. Tentu bukan hanya kami saja, sebelumnya sudah benyak orang yang lebih dulu menunggu di panggil oleh Petugas. Dan ketika saya tanyakan, rata-rata mereka sengaja datang lebih cepat mengingat hari ini adalah hari Jum'at dan mereka datangnya dari jauh di luar ibukota Kabupaten.

Namun, apa dinyana...? Setelah menunggu 2 jam lebih, sampai jam 10.00 wib, Dr.A.H Efendi,Sp.B, FISA yang merupakan dokter Ahli Bedah, belum juga datang. Beberapa kali saya menanyakan kepada Petugas tapi jawabannya tetap sama ; mohon bersabar, dokter sedang menuju kemari....! Itupun dijawab dengan muka masam, mungkin kesal kepada saya,...entahlah. Yang pasti petugas ybs tidak mungkin kesal kepada Dokter bedah!

Setelah bosan menunggu, akhirnya jam 10.27 wib Sang dokter masuk ruangan. Itupun tidak dengan muka ramah, layak seorang pelayan masyarakat. Tentu saja sangat mengecewakan kami. Setelah periksa sana, periksa sini yang memakan waktu 4-5 menit per pasien, adik saya diminta ke Klinik Radiologi untuk proses Rontgen.
Disana pun setali tiga uang....! Tidak ada tulisan di loket sebagai penjelasan proses Rontgen, sehingga kami beberapa kali bertanya kepada petugas yang juga dijawab dengan muka masam.
Ada pasien dari ujung kampung di Peusangan malah menunggu lebih lama dari saya karena keluarganya tidak punya inisiatif bertanya seperti saya. Sungguh mengecewakan!

Padahal seperti kita ketahui, petugas kesehatan adalah pelayan masyarakat. Mereka berada di ruangan itu digaji dari uang masyarakat. Sangat kita sayangkan, pelayanan kesehatan yang baik seperti program Bupati Nurdin Abdul Rahman ketika baru menjabat, masih jauh dari harapan.
Bupati Nurdin sampai dua kali membongkar pasang Direktur RSU demi tercapainya sasaran tersebut. Konon lagi beberapa waktu yang lalu, RSU dr.Fauziah mendapat penghargaan dari Pemerintah atas pelayanan terbaik kepada masyarakat Bireuen.
Kita pantas bertanya, bagaimana teknis penilaiannya...? Atau kriteria apa yang dinilai...? Tidak ada masyarakat Bireuen yang yang tau, kecuali Direktur RS barangkali...

Sepertinya aparat birokrasi yang bekerja pada bidang kesehatan disemua lini masih menganggap mereka adalah orang yang dilayani, bukan melayani. Dan masalah ini bukan hanya terjadi pada RSU saja, namun hampir semua instansi kesehatan, termasuk Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. ( Kecuali di praktek dokter, barangkali, karena masyarakat harus membayar mahal ).

Begitu juga dengan pelayanan di sektor lain, namun tidak terlalu menjadi perhatian orang, karena bukan merupakan kebutuhan utama rakyat. Sedangkan sektor kesehatan sering diperbincangkan, karena pelayanan kesehatan adalah kebutuhan pokok masyarakat saat ini atau kebutuhan utama publik. Masyarakat sehat, kehidupan bernegara juga baik. Sebagaimana disebutkan dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang dikeluarkan oleh Depatemen Kesehatan tahun 2004 bahwa Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan, dengan tujuan guna meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Pembangunan Indonesia bukan hanya dinilai dari segi fisik saja, namun juga dapat dinilai dari perubahan ke arah yang lebih baik dari berbagai segi, termasuk diantaranya bagaimana melayani masyarakat dengan baik. Agar masyarakat mudah mengakses segala kebutuhan tanpa harus mengeluarkan dana ekstra untuk hal yang sebenarnya merupakan tugas negara melayani rakyat.

Bagi para petugas, terutama yang bekerja di sektor pelayanan publik, cobalah Anda menggunakan hati nurani dan buka mata lebar-lebar, bahwa keberadaan Anda itu digaji, diberi tunjangan dan fasilitas oleh Pemerintah yang dananya bersumber dari uang rakyat. Dari sisi agamapun, kalau Anda bekerja dengan ikhlas, Insya Allah akan mendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT.

Salam,
mukhlis aminullah
Ketua LSM LEPOE-MAT

MEGAWATI, SOEKARNOISME DAN HUBUNGAN DENGAN ISLAM



Setelah Indonesia merdeka 64 tahun dan Indonesia dipimpin oleh 6 orang Presiden, idiologi Soekarnoisme masih dijunjung tinggi dan dijadikan "modal" oleh beberapa
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2009. Jangankan pakar politik, masayarakat awam pun akan dengan sangat mudah untuk menilai Parpol yang mengusung ide-ide Soekarno tersebut.

Bagaimana dengan PDI Perjuangan....? Setelah sekian lama tidak mengusung dan "menjual" Soekarno sebagai bahan kampanye Pemilu, nampaknya kedekatan historis antara Soekarno denga PDI Perjuangan (yang cikal bakalnya dari PDI)sudah mulai ditampilkan lagi. Memang tidak secara langsung atau secara gamblang, seperti pada saat berjuang melawan rezim Orde Baru, dulu. Tapi melihat salah satu iklan PDI Perjuangan di Telivisi (bahwa dari Soekarno lahir Megawati...),jelas tersirat bahwa Soekarno tetap merupakan pijakan PDI Perjuangan dalam membangun imej dan menjaring Pemilih pada Pemilu 2009. Sah-sah saja dan tidak larangan. Yang kurang elok barangkali bila Soekarno itu seorang Penjahat Perang atau seorang WNA.

Namun menurut yang saya amati, nampaknya ada semacam "ketakutan" dari Megawati bila tidak mengingatkan masyarakat Indonesia, bahwa beliau seorang anak Soekarno. Dan hal ini sudah pernah dilakukan pada era awal beliau terjun ke politik praktis, akhir 80-an. Bahkan bukan hanya Megawati saja, tapi juga oleh anak-anak Soekarno yang lain seperti Guruh dan Sukma. Kasarnya adalah mereka anak-anak Soekarno "menjual" nama Sang Proklamator untuk menggaet Pemilih.
Sekali lagi, hal itu sah-sah saja.

Sama juga dengan yang dilakukan oleh para kader Partai Demokrat di daerah yang mengusung nama SBY, kader Partai Golkar yang menampilkan JK atau Surya Paloh dan kader Partai SIRA di Aceh yang "menjual" nama Muhammad Nazar untuk memenangkan Pemilu. Tidak larangan, asal masih dalam koridor hukum.

Namun pada kesempatan ini, secara khusus saya ingin membicarakan tentang Soekarno, yaitu sosok yang sangat dikultuskan oleh beberapa Parpol, khususnya PDI Perjuangan. Lagipula bukan karena historisnya saja sehingga ada kedekatan bathin antara mereka, namun terlebih lagi bahwa Ketua Umum-nya adalah Megawati Soekarnoputri, anak Soekarno.

Sebagai bangsa, kita sudah mengakui bahwa Soekarno adalah salah seorang Proklamator juga pendiri bangsa dan negara Indonesia. Siapa pun tidak akan menyanggah hal itu. Demi menggapai impian memerdekakan negeri dan bangsanya, Soekarno rela menghabiskan 25 tahun kehidupannya di dalam penjara kaum penjajah. Dia juga bukan tipe pemimpin yang korup, sesuatu yang membuatnya sangat berbeda dengan sosok Soeharto. Walau demikian, sebagai seorang manusia biasa, Soekarno juga memiliki sejumlah catatan buruk yang tidak boleh diulang oleh generasi penerus bangsa ini, terutama kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia.

Diakui atau tidak, di mata rakyat kecil, nama Soekarno masihlah harum. Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, walau Soekarno telah meninggal tiga puluh sembilan tahun lalu, namun sampai sekarang masih saja banyak orang yang mengkultuskannya, dari PDI Perjuangan = Megawati Soekarnoputeri sampai kepada suatu kelompok yang mengaku sebagai titisan Soekarno, seperti yang dilakukan oleh pemimpin aliran sesat Satrio Piningit yang menyita perhatian publik nasional awal Februari lalu.

Namun fakta sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa era seseorang yang telah berlalu tidak bisa dikembalikan untuk jadi catatan sejarah berikutnya. Seorang Indera Gandhi atau Rajiv Gandhi tidak-lah sama atau prototipe dari Mahatma Gandhi. Gloria Maccapagal Arroyo adalah Presiden Filiphin sekarang, tidak akan sama cara memimpin rakyat Filiphina dengan Bapaknya. Begitupun dengan Benazir Bhutto, bukan reinkarnasi Zulfikar Ali Bhutto.
Mereka berbeda, walaupun ada beberapa kesamaan diantaranya. Dan dari catatan sejarah, termasuk keberadaan Megawati sebagai anak Soekarno, yang sama adalah dalam membuat kesalahan sejarah.
Jika Seokarno "membohongi" Daoed Beureueh, Megawati membohongi Abdullah Puteh dan masyarakat Aceh tentang cara penyelesaian konflik. (seharusnya Megawati berterima kasih, karena ada segelintir pengurus adat Aceh yang memberinya Gelar Cut Nyak?)

Megawati bukan Soekarno....! Karena secara prinsip politik dan ekonomi, kebijakan yang diambil Megawati ternyata malah bertolak-belakang dengan prinsip-prinsip politik dari seorang Soekarno.
Marilah kita lihat sejarah awal perjalanan Soekarno, jauh sebelum Indonesia merdeka dan keberadaan sebuah bangsa bernama Indonesia. Untuk melengkapi tulisan saya tentang ini, saya juga mengutip beberapa sumber.

HOS Tjokroaminoto, Awal Pergerakan

Soekarno dilahirkan di Lawang Seketeng-Surabaya, 6 Juni 1901, dari pasangan Ida Ayu Noman Rai—seorang perempuan berdarah bangsawan Bali—dan Raden Soekemi Sosrodihardjo, juga seorang ningrat dari Jawa Timur. Walau demikian, kehidupan keduanya tidak bisa dibilang makmur, malah serba berkekurangan. Sebab itu, Soekarno kecil yang bernama Kusno Sosrodihardjo mengaku jika masa kecilnya lebih banyak dihabiskan untuk membaca buku ketimbang bermain dengan teman sebaya yang mampu membeli petasan dan sebagainya.

DI masa kecil, keluarga Kusno pindah dari Surabaya ke Sidoardjo sebentar dan kemudian menetap di Mojokerto, Jawa Timur. Usia 14 tahun , Kusno masuk ke Hoogere Burger School (HBS), setingkat SLTP, dan menumpang (bahasa Jawa: Ngengger) di rumah HOS Tjokroaminoto, Ketua Syarikat Islam (SI). Saat ngengger di rumah itulah, Soekarno berkenalan dengan arus pergerakan nasionalisme Indonesia. HOS Tjokroaminoto banyak kedatangan tamu-tamu sesama aktivis pergerakan nasional di rumahnya, berdiskusi tentang berbagai perkembangan politik dan ekonomi bangsanya, berkeluh-kesah tentang kian rakusnya imperialis Belanda dan juga Barat menghisap kekayaan alam Nusantara, membahas kehidupan rakyat kecil yang kian sengsara, semua itu didengar oleh Soekarno remaja.

Soekarno juga melihat dengan mata kepala sendiri kesewenang-wenangan penjajah Belanda terhadap HOS Tjokroaminoto. Di tahun 1915, tersiar berita jika HOS Tjokroaminoto menerima sejumlah uang dari kaki-tangan Jerman untuk menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda. Polisi rahasia Belanda (PID) mengirim salah seorang agennya bernama Agus Salim untuk mencari tahu kebenaran berita tersebut dengan mengutusnya untuk mendekati HOS Tjokroaminoto. Agus Salim pun masuk Syarikat Islam.

Dari berbagai informasi yang masuk ke telinga PID inilah, HOS Tjokroaminoto yang dijuluki Raja Jawa Tanpa Mahkota ini dipanggil berkali-kali ke kantor PID untuk diinterogasi. Namun disebabkan bukti yang ada sangat kurang, maka kasus ini pun berakhir begitu saja. Lain halnya dengan Agus Salim. Pemuda Minangkabau yang cerdas ini malah tertarik untuk benar-benar bergabung dengan Syarikat Islam yang memperjuangkan Indonesia Merdeka dan keluar dari PID. Kisah tentang Agus Salim ini bisa dibaca di memoar Agus Salim sendiri berjudul “Benarkah Saya Seorang Spion?”.

Di antara murid-murid politik HOS Tjokroaminoto, terdapat tiga orang yang menonjol. Mereka adalah Soekarno, Muso, dan Kartosuwiryo. Kelak, ketiganya merupakan pelopor bagi ideologi pergerakan di Indonesia. Muso menjadi pemimpin gerakan komunisme (PKI), Kartosuwiryo menjadi pemimpin pergerakan Islam (DI), dan Soekarno memimpin pergerakan nasionalisme, dengan mencoba merangkum tiga aliran pergerakan besar di Indonesia menjadi Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).

Setelah melahap banyak buku dan berdiskusi dengan banyak aktivis pergerakan, Soekarno menyimpulkan jika musuh besar bagi bangsa Indonesia adalah imperialisme dan kolonialisme, yang dilakukan negara-negara utara terhadap negara-negara selatan. Dengan pisau bedah Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis, yang memang sangat tajam mengurai tentang kejahatan kapitalisme, Soekarno merumuskan paham gerakan politiknya sendiri yang kemudian dikenal sebagai “Marhaenisme”. Dalam suatu kesempatan, Soekarno menyatakan jika Marhaenisme adalah Marxisme yang di-Indonesiakan.

Marhaenisme, diakui sendiri oleh Soekarno adalah sintesa daripada filsafat Marxisme (Materialisme-Historis dan Materialisme-Dialektis), Islam, dan Nasionalisme. Soekarno sangat teguh memegang prinsipnya ini hingga berpuluh tahun kemudian menyodorkan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) bagi pola pemerintahannya.

Abad di mana Soekarno lahir dan tumbuh adalah abadnya bangsa-bangsa selatan bangkit melawan penghisapan yang dilakukan imperialisme negara-negara utara. Sebab itu, salah satu obsesi seorang Soekarno adalah menghapuskan penindasan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Exploitation de l’homme par l’homme. Untuk mampu mengusir penjajah Belanda yang telah menghisap kekayaan negeri ini sejak abad ke-16 M, maka seluruh komponen bangsa ini harus bersatu-padu melawan penjajahan. Sebab itu, sejak muda Soekarno terobsesi untuk bisa menggalang persatuan dan kesatuan bangsa ini di atas segalanya. Prinsip ini terus dipegangnya hingga ke liang lahat.

Salah satu episode dalam sejarah bangsa ini telah membuktikan betapa persatuan dan kesatuan dipegang teguh oleh seorang Soekarno. Saat itu, menyusul tragedi subuh 1 Oktober 1965, kekuasaan Soekarno sedikit demi sedikit dilucuti oleh Jenderal Suharto. Lewat berbagai intrik dan konspirasi dengan CIA, sejumlah perwira angkatan darat di bawah Suharto secara terselubung maupun terang-terangan telah bersikap membangkang terhadap Soekarno yang saat itu masih sah sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Hal ini membuat geram sejumlah kesatuan lain yang masih loyal pada Soekarno. Salah satu kesatuan yang dikenal sangat loyal pada Panglima Tertingginya adalah Marinir. “Putih kata Bung Karno, putih kata marinir. Hitam kata Bung Karno, hitam pula kata marinir!”, demikian tegas Panglima Marinir Mayjen (Mar) Hartono.

Pertengahan Maret 1966, Jenderal Marinir Hartono ini menghadap Bung Karno dan meminta izin agar pasukannya diperbolehkan memukul habis kekuatan Jenderal Suharto. Beberapa Batalyon dikatakan juga bersedia membantu seperti Kodam Brawijaya dan beberapa kesatuan dari AURI dan Kepolisian.

Namun permintaan ini ditentang Soekarno dengan mengatakan antara lain jika Soekarno tahu jika dirinya tengah dihabisi. “Biarlah Soekarno tenggelam sendirian asal bangsa dan negara Indonesia tetap hidup. Saya tidak mau terjadi peperangan saudara yang merobek-robek persatuan yang saya bangun selama ini,” tegasnya.

Dan sejarah pun mencatat bahwa Soekarno meninggal dalam status tahanan rumah dalam rezim fasis Jenderal Suharto. Mayjen (Mar) Hartono sendiri dibuang dengan mendubeskan dia ke Pyongyang, Korea Utara. Tokoh Marinir yang sangat pemberani dan loyal kepada Bung Karno ini ditemukan tewas ditembak kepalanya pada pagi hari, awal Januari 1971, di Jakarta. Banyak kalangan menganggap keterangan pemerintah Suharto yang menyatakan Hartono bunuh diri adalah bohong belaka. Rekannya sesama tokoh Marinir saat itu, Ali Sadikin, menegaskan jika kematian Hartono diliputi kemisteriusan. Banyak yang menduga Jenderal (Mar) Hartono menjadi korban konspirasi jahat rezim Jenderal Suharto.

Pokok-Pokok Soekarnoisme

Sejak kecil Soekarno telah berkenalan dengan ide-ide besar dari orang-orang besar di seluruh dunia dari kerakusannya membaca buku. Di usia 25 tahun, dalam Suluh Indonesia Muda (1926), terbit sebuah artikelnya yang berjudul “Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis”. Di dalam artikelnya ini, Soekarno menyatakan, “Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah paham menjadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh yang Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara ketiga golongan itu.”

Artikel tersebut ditulis Soekarno sebagai bentuk keprihatinannya melihat pecahnya Syarikat Islam “Putih” pimpinan Agus Salim dengan Syarikat Islam “Merah” yang dipimpin Semaun yang kemudian bekerjasama dengan tokoh-tokoh ISDV—partai sosialis Belanda—seperti Snevliet dan Baars. Syarikat Islam Merah ini kemudian menjadi “Syarikat Rakyat”, lalu berubah menjadi Partai Komunis Indonesia.

Di tahun 1926-1927, saat berjalan-jalan di wilayah Bandung selatan, di pematang-pematang sawahdi Cigareleng, Soekarno bertemu dengan seorang petani penggarap bernama Marhaen. Keduanya kemudian terlibat tanya jawab sederhana.

“Pak Marhaen, cangkul yang bapak pegang itu punya siapa,” tanya Soekarno.

“Milik saya,” jawab Marhaen.

“Lalu sawah yang bapak kerjakan itu milik siapa?”

“Milik orang lain,” jawabnya lagi.

Dalog singkat ini telah memahat kesan yang sangat mendalam di otaknya. Dalam ilmu teori Materialisme Historis, orang seperti Marhaen tidak bisa dikategorikan sebagai proletar, karena masih menguasai alat produksi walau itu hanya sepotong cangkul. Dalam teori Marxisme, seorang proletar adalah seseorang yang bekerja semata-mata mengandalkan tenaga. Sedang alat-alat produksinya dan juga tempatnya bekerja dikuasai oleh pemilik modal. Sebab itu, Pak Marhaen tidak bisa dikategorikan sebagai proletar. Maxisme malah memandang Pak Marhane sebagai petite borguise atau Borjuis kecil, walau Pak Marhaen hidupnya pas-pasan.

Walau menguasai alat produksi, namun Marhaen ternyata hidupnya juga miskin dan tertindas. Sebab itu, Soekarno merasa Marxisme dalam bentuk yang murni tidaklah tepat untuk menilai kondisi riil di Indonesia saat itu.

Sebab itulah, Soekarno merumuskan doktrin perjuangan politiknya sebagai Marhaenisme, yakni Marxisme yang telah di-Indonesiakan, suatu prinsip perjuangan yang mencita-citakan sosialisme Indonesia. Tujuan dari prinsip ini adalah mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia yang berkeadilan dan mandiri, lepas dari campur tangan kaum imperialisme. Marhaenisme jelas bertentangan dengan salah satu pokok Marxisme yaitu pertentangan kelas. Dalam Marhaenisme, semua kekuatan dan komponen bangsa harus bersatu untuk mewujudkan cita-cita sosialisme Indonesia. Inilah cikal bakal dari Nasakom.

Pokok ajaran Soekarnoisme yang kedua adalah Revolusi Indonesia yang memiliki dua tahapan: Pertama, tahapan revolusi borjuis nasional dan kemudian tahapan revolusi sosialisme Indonesia.

Dalam tahapan pertama, kaum Marhaen bersama kaum proletar harus bisa bersatu-padu dengan kaum borjuis nasional—sisa-sisa feodalis lama—untuk berjuang bersama-sama menghancurkan kekuasaan kolonialisme dan imperialisme asing yang telah menjajah Indonesia demi memerdekakan negara dan bangsa Indonesia dahulu. Sebab itulah, tahap pertama revolusi nasional mencapai kemerdekaan disebut sebagai “Jembatan emas menuju kemerdekaan.”

Tahap kedua, setelah merdeka, maka barulah tahap kedua dari revolusi Indonesia dilakukan yakni memerdekakan seluruh anak bangsa dari kemiskinan dan kebodohan. Tahap ini dikenal dengan istilah “Nation and Character Building”.

Pokok-pokok Soekarnoisme bisa diringkas menjadi beberapa point, yakni:

* Persatuan dan kesatuan seluruh elemen bangsa,
* Prinsip berdikari dalam mengelola kekayaan alam bangsa yang berarti tidak
tergantung pada kekuatan asing (Kekuatan kolonialisme dan imperialisme Barat),
* Pembangunan karakter bangsa guna menghapus perasaan minder (minderwaardigheid-
complex) yang telah ditanamkan ratusan tahun oleh penjajah asing sehingga bangsa
Indonesia memiliki kebanggaan sebagai orang Indonesia dan setara dengan bangsa lain


Hubungan dengan Islam

Soekarno merupakan satu-satunya presiden sebuah negara di dunia yang menyatakan jika dirinya meninggal maka jenazahnya ditutupi dengan bendera Muhammadiyah, bukan bendera negara. Seperti yang dikatakannya dalam “Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” (Cindy Adams).

Walau demikian, hubungan antara Soekarno dengan tokoh-tokoh Islam mengalami putus-sambung yang cukup sering intensitasnya.

Soekarno muda mendapat gemblengan prinsip-prinsip politik dari seorang tokoh Syarikat Islam bernama H. O. S. Tjokroaminoto. Buku Tjokroaminoto yang ditulis pada tahun 1924 berjudul “Islam dan Sosialisme” (Diterbitkan oleh PN. Bulan Bintang, 1951), merupakan salah satu inspirator bagi Soekarno dan titik awal bagi pandangan Islam Sosialistiknya. Menurut Soekarno, Islam merupakan sebuah ideologi perjuangan yang sama sekali tidak akan pernah akur dengan kapitalisme, sebab kapitalisme hanya bisa hidup jika berjalan di atas rel penindasan manusia terhadap sesama manusia lainnya dalam bentuk “The Surplus Value” dalam sistem kerjanya atau bisa disamakan dengan Riba. Kapitalisme hanya bisa hidup jika kaum Pemodal (Kaum Pengusaha) menghisap kaum pekerja (Buruh) dan juga kaum Marhaen lainnya (Wong Cilik).

Pada 29 Desember 1929, Soekarno bersama sejumlah tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia) ditangkap dan dijebloskan ke penjara Banceuy, Bandung. Oleh Belanda, mereka dianggap teroris yang tengah merencanakan makar untuk menggulingkan pemerintahan Belanda. Dalam pengadilannya, Agustus 1930, Soekarno menyampaikan pembelaannya (Pledoi) yang amat terkenal berjudul “Indonesia Menggugat”.

Pokok dari pledoi Soekarno adalah membongkar habis-habisan Anggaran Pembelian dan Belanja pemerintahan kolonial Belanda yang dikecamnya sangat pro investor asing dan kian memiskinkan rakyat. Soekarno dibebaskan pada 31 Desember 1931.

Pada Agustus 1933, Soekarno ditangkap untuk kedua kalinya, kemudian dibuang ke Ende, Flores. Di sinilah periode kehidupan Soekarno yang sarat persinggungannya dengan Islam. Di Ende, Soekarno melahap banyak buku-buku keislaman dan banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh setempat maupun surat-menyurat dengan sejumlah tokoh Islam nasional seperti HM. Natsir. Pemikiran Soekarno tambah terasah dengan Islam dan kian meneguhkan pandangan Soekarno jika Islam sangat anti terhadap kapitalisme karena sifat penindasan dan penghisapannya.

Dari Ende, Soekarno diasingkan ke Bengkulu, 1938. Di Bengkulu ini Soekarno kembali berjumpa dengan tokoh-tokoh Islam setempat dan berdiskusi dengan mereka. Salah satu tokoh Muhammadiyah di Bengkulu yang sering diajak berdiskusi mengenai Islam adalah H. Hasan, ayah dari Siti Fatimah, yang kemudian anaknya diperisteri Soekarno dan berganti nama menjadi Fatmawati. Saat itu, Inggit Ganarsih yang telah diperisteri Soekarno ketika di Bandung menolak untuk dimadu dan akhirnya cerai.

Pada tahun 1942 Soekarno kembali ke Pulau Jawa dan disambut rakyat sebagai pemimpin pergerakan nasional Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, Soekarno dengan dukungan dari para pemimpin Islam seperti H. Agus Salim dan tokoh nasionalis Jawa seperti Ki Hadjar Dewantara, memilih bersimbiosis-mutualisme dengan Jepang. Pilihan ini pilihan sangat sulit. Namun kondisi riil politik internasional, dimana Fasisme Jepang (dibantu oleh Fasisme Italia dan Nazi Jerman) tengah berperang melawan Imperialisme Sekutu (termasuk Belanda) dalam Perang Dunia II, menyebabkan Soekarno mengambil langkah ini. Sikap kooperatif Soekarno terhadap Jepang menimbulkan antipati banyak kalangan. Sutan Syahrir yang lebih dekat dengan Amerika Serikat menuding Bung Karno sebagai Kolaborator Jepang.

Sejak pertama kali penjajah kolonial mendarat di Nusantara, umat Islam telah melakukan perlawanan dengan gagah berani guna mengusir imperialis Barat tersebut yang datang dengan tiga misi: Merampok kekayaan negeri kaya raya ini (Golden), Memperluas imperium mereka (Glorious), dan Menyebarkan salib (Gospel). Islam-lah agama perlawanan menentang kezaliman Salib Barat. Sebab itu, adalah fakta sejarah bahwa umat Islam-lah yang berada di garda terdepan dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Namun realita sejarah ini berusaha untuk digelapkan oleh kaum sekular dan kaum kufar sejak dulu hingga sekarang.

“Tonggak pertama pengkhianatan yang dilakukan elit negara, dalam hal ini Soekarno Hatta dan tokoh-tokoh sekuler lainnya terhadap umat Islam terjadi pada hari Kamis malam, 16 Agustus 1945,” ujar (alm) KH. Firdaus AN kepada Eramuslim di tahun 1999 saat bertemu di kediaman beliau di daerah Pejompongan, Jakarta Pusat.

Tokoh Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PII), Abdul Qadir Djaelani, dalam bukunya “Peta Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia” (1996) juga menceritakan hal ini. Seperti yang telah diketahui bersama, rakyat Indonesia sekarang hanya mengetahui jika teks proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, yang dibacakan Soekarno itu hanya berupa naskah singkat. Padahal, seperti diakui oleh Mohammad Hatta dalam memoirnya, sesuai rencana yang disepakati dalam rapat PPKI, seharusnya pernyataan yang dibacakan pada saat proklamasi itu adalah naskah Piagam Jakarta yang dibuat pada 22 Juni 1945. Namun pada malam 16 Agustus 1945, di rumah Laksamana Maeda jalan Imam Bonjol No 1 (dahulu Myako Dori), Soekarno, Hatta, bersama-sama dengan Subardjo, Soekarni dan Sayuti Melik menggelar rapat dadakan dan menulis teks ringkas proklamasi kemerdekaan yang akan dibacakan keesokan paginya.

Mengapa bukan Piagam Jakarta yang dibacakan sebagai teks proklamasi? Alasannya sangat naif. Bung Hatta di dalam Memoirnya menulis, “(Malam itu) Tidak seorang di antara kami yang membawa dalam sakunya teks proklamasi, yang dibuat pada 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta.” Malam itu, lanjut Hatta, seluruh anggota PPKI, pemimpin-pemimpin pemuda, beberapa orang pemimpin pergerakan, dan para anggota Cuo Sangi In telah hadir di rumah Maeda. “Semuanya ada kira-kira 40 atau 50 orang-orang terkemuka. Di jalan banyak pemuda yang menonton atau menunggu hasil pembicaraan.”

Seperti pengakuan Hatta, begitu banyak tokoh yang hadir. Namun terlalu naif jika tidak ada seorang pun yang mengantungi naskah Piagam Jakarta untuk dibacakan sebagai teks proklamasi, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Jika hal ini benar, walau tidak masuk akal, bukankah proklamasi baru akan dilakukan esok harinya? Berarti, jika memang “tidak ada apa-apanya” maka sebenarnya sangatlah mudah untuk mengambil kembali naskah Piagam Jakarta yang ada di rumah Soekarno atau rumah Hatta yang dekat letaknya dengan kediaman Maeda.

Jika pun proklamasi harus dilakukan malam itu, maka rumah Hatta yang letaknya cuma satu kilometer dari rumah Maeda pun bisa dijangkau. Bermobil ke rumah Hatta tidak sampai memakan waktu lima menit. Jika mereka semua memang punya niat baik dan berpegang pada kesepakatan awal, maka mengambil Piagam Jakarta untuk dibacakan sebagai teks proklamasi adalah hal yang sangat mudah.

Abdul Qadir Djaelani menyatakan jika Piagam Jakarta sesungguhnya sengaja disingkirkan dalam peristiwa malam itu. Biang keladinya menurut Kang Jel—demikian sapaan akrab Abdul Qadir Djaelani, adalah kaum Nasionalis Sekuler, termasuk Soekarno-Hatta di dalamnya. “Alasannya sangat strategis. Sebab jika Piagam Jakarta dijadikan teks proklamasi, sesuai keputusan pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, maka secara historis yuridis negara Indonesia merdeka terikat dengan Piagam Jakarta,” tulis Kang Jel.

Sejarah telah mencatat, teks proklamasi yang dibacakan ternyata naskah yang ditulis terburu-buru, dan tanpa persiapan. Keesokan harinya, Sabtu, 18 Agustus 1945, sebuah konspirasi yang juga aneh malah menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Dalam tempo 24 jam, Soekarno-Hatta telah melakukan dua kali “tusukan” pada umat Islam. Dua tragedi yang menyakitkan tokoh-tokoh Islam dan juga umat Islam secara keseluruhan.

“Tusukan ketiga” yang dilakukan Soekarno adalah terhadap Muslim Aceh. Dari seluruh daerah di Nusantara, perlawanan Muslim Aceh merupakan perlawanan terhebat dan terdahsyat yang pernah dihadapi kolonialis Belanda saat hendak menguasai seluruh wilayah Nusantara. Nanggroe Aceh Darussalam adalah Kerajaan Islam Besar yang telah berdaulat berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Bahkan wilayah ini bersama dengan kerajaan-kerajaan Islam di Jazirah Al-Mulk (Maluku) masuk di dalam wilayah perlindungan Kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah. Berabad-abad sebelum UUD 1945 lahir, Aceh telah memiliki Qanun Meukuta Alam, sebuah konstitusi yang sangat lengkap sehingga kerajaan-kerajaan Islam tetangga pun mengcopy-pastenya seperti yang dilakukan Kerajaan Islam Brunei Darussalam. Qanun Meukuta alam ini sangat lengkap dan detil, jauh lengkap ketimbang UUD 1945 bahkan yang sudah “dibongkar” (amandemen) seperti sekarang ini.

Dari uraian di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Soekarno memang lahir dan besar untuk bangsa ini. Beliau ditakdirkan menjadi Proklamator dan pendiri bangsa. Terlepas dari kebesaran dan kekurangannya, beliau cukuplah sebagai Pahlawan bangsa, bukan sebagai "Nabi bangsa" yang ajarannya sudah diwahyukan cocok sepanjang zaman.

Sebagai seorang yang sangat menyukai sepakbola, saya teringat sebuah filosofi; bagimana mungkin diera yang sangat maju seperti saat ini, seorang Pelatih sepakbola yang sangat hebat tahun 70-an menjadi Pemain / Pelatih tahun 70-an bisa mengerti dan memahami sepakbola masa kini.
Kita pernah mengagung-agungkan Wiel Corver sebagai Pelatih Timnas Indonesia yang hebat, dan berandai-andai dia hidup kembali, namun kita lupa bahwa di zaman sekarang ini yang cocok jadi Pelatih Timnas kita adalah Benny Dollo.

Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan Sang Proklamator, namun hanya menjadi catatan kaki bagi orang-orang yang ingin "menjual" namanya demi hasrat politik pada Pemilu 2009.

salam,
mukhlis aminullah
Ketua Forum Pemuda Peduli Demokrasi

Kamis, 12 Maret 2009

BEREBUT KURSI TANPA INTIMIDASI

Hari Pemungutan suara makin dekat, lebih kurang sebulan lagi. Peta politik tanah air makin panas. Banyaknya Parpol peserta Pemilu dan Keputusan MK yang membatalkan Pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 membuat persaingan antar Parpol maupun antar Caleg sangat ketat. Persaingan antar Parpol biasanya berkutat pada masalah idiologi serta program yang mereka tawarkan. Programnya-pun tidak ada yang baru, masih itu-itu saja, hanya saja sudah dikemas dalam bentuk lain yang seakan-akan seperti menawarkan sebuah perubahan. Parpol yang sedang berkuasa mengedepankan ''keberhasilannya'' sedangkan Parpol oposisi maupun Parpol baru, menjanjikan mereka akan lebih baik dari Papol yang sedang berkuasa. Entah yang mana yang benar...? Tergantung penilaian Anda.

Bagi Caleg, mereka tidak hanya bersaing dengan Caleg dari Parpol lain, tapi malah akan saling sikut antara Caleg satu Parpol. Nomor urut tidak lagi jaminan, sehingga nomor urut bawah akan punya kesempatan yang sama dengan nomor urut atas. Disinilah akan kita lihat berlakunya hukum alam, siapa yang berkualitas dan pantas, Insya Allah akan jadi Anggota Dewan. Siapa yang akan diberi kepercayaan dan siapa yang hanya mencari pekerjaan.

Begitu juga dengan Caleg perseorangan (DPD), hampir semua Provinsi disesaki para "spekulan politik" yang sangat berhasrat menjadi Anggota DPD. Secara kwantitas, memang kita harus memberi apresiasi, karena semua golongan yang datang dari berbagai latar belakang sudah punya nyali untuk bersaing menuju kursi panas Senayan. Secara kualitas, memang patut kita sayangkan. Memang benar, ada nama-nama top yang selama ini sudah malang melintang dalam dunia politik kita, namun sebahagian diantaranya adalah ''pelarian'' dari Parpol. Selebihnya banyak yang dipertanyakan kredibilitasnya.
Di Bali ada Caleg DPD dari latar belakang Seniman, Pengusaha dan mantan Birokrat. Kalau Anda menonton acara “BAROMETER” tadi malam ini di SCTV, Anda akan pasti sudah lihat ada Caleg yang berprofesi Pengamen dan Loper koran. Di satu Provinsi di Jawa, malah ada Caleg yang berprofesi sebagai Tukang Ojek. Masih sangat lumayan di Aceh, nama-nama yang masuk sudah kita kenal, setidak-tidaknya sudah pernah berkecimpung dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Diantaranya ada wartawan, seperti Helmi Hass & Adnan NS. Ada politisi senior kayak Farhan Hamid, dsb. Ada juga mantan Birokrat seperti Drs. Hamdani Raden, penulis buku Iwan Gayo, dll (karena saya tidak hafal semua).

Dengan banyak Caleg, baik dari Parpol maupun Caleg DPD, peta persaingan akan sangat terbuka. Dan bukan tidak mungkin, ada pihak-pihak yang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Bisa dengan politik uang atau dengan cara pemaksaan yang mengarah kepada intimidasi.
Biasanya cara-cara seperti ini dilatar belakangi idiologi Parpol yang bersangkutan, bukan persaingan antar Caleg saja.

Mari kita lihat dalam skala yang lebih kecil yaitu di Provinsi Aceh. Sejak awal masa kampanye pada bulan Juli 2008, hampir semua Peserta Pemilu langsung tancap gas mengeluarkan berbagai jurus untuk meraih dukungan rakyat.
Dan cara-cara intimidasi bukan berita bohong. Beberapa harian lokal sudah beberapa kali mengungkapkan kepada publik, walaupun lebih banyak yang tidak bisa terjangkau oleh pers. Intimidasi seperti bau kentut (maaf), bisa dirasakan namun tidak bisa diraba. Hal ini karena masyarakat enggan melaporkan kepada Penegak hukum.

Baru dua hari yang lalu, dikabarkan bahwa, di Aceh Utara ada rumah penduduk yang menjadi simpatisan PPP, ditandai (atau dipalang--bahasa Aceh)dengan cat berwarna merah dipintunya. Siapa yang melakukan...? Yang tau hanyalah Allah SWT dan orang yang melakukan itu. Syukur, kalau akhirnya terungkap.
Kejadian di Bireuen, beberapa bulan yang lalu, juga setali tiga uang. Ada Caleg PKS yang diintimidasi oleh anggota sebuah Partai lokal. Pernah juga kantor Partai Golkar Bireuen digranat oleh Orang Tak dikenal (OTK). Namun beberapa kejadian itu selesai dengan sendirinya, seperti air mengalir di daun keladi.... Tidak ada penyelesaian hukum.

Intimidasi bukan hanya dialami oleh Partai Nasional, tapi juga dialami oleh Partai lokal. Yang paling sering dialami oleh Partai Aceh, dimana beberapa kantor DPW-nya sempat dilempari granat tangan dan bom molotov. Ada juga kantor DPC-nya dibakar.

Menjelang kampanye terbuka 16 Maret dan pemungutan suara, 9 April 2009, eskalasi persaingan semakin ketat. Dan kita berharap persaingan berjalan dengan baik dan normal. Tidak ada lagi persaingan menggunakan cara-cara yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, terlebih lagi di daerah kita yang bersendikan Syariat Islam. Marilah kita kita gunakan etika kampanye dengan cara-cara Islami, bukan dengan kekerasan.
Begitu juga saat pemungutan suara yang merupakan puncknya Pemilu.. Jangan ada intimidasi, biarkan masyarakat memilih dengan hati nurani. Jangan ada lagi dikatomi, bahwa memilih Parpol ini, Caleg itu, dsb adalah wujud perbedaan idiologi.
Yang ada hanyalah satu, yaitu dengan Pemilu bersih akan mewujudkan Pemerintahan yang bersih pada akhirnya adalah mewujudkan pembangunan bangsa yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme demi kemakmuran bangsa.

Rabu, 11 Maret 2009, Panwascam se Kabupaten Bireuen sudah dilantik oleh Ketua Panwas Kabupaten Bireuen. Mudah-mudahan dengan sudah terbentuknya Panwas di tingkat Kecamatan, segala macam pelanggaran Pemilu termasuk intimidasi akan dapat ditangani. Dengan catatan, mereka harus diberi support yang besar oleh kita; masyarakat Aceh yang ingin Pemilu bersih.

Salam,
mukhlis aminullah
Ketua Forum Pemuda Peduli Demokrasi

Selasa, 10 Maret 2009

''SAJAK SUNYI"

Dalam tidur aku mengusap rambutmu, dan
mencium pipimu ketika bulan merah
mengusik dan sunyi begitu karib
jatuh keharibaanku
Katamu, permusuhan ini belum juga berakhir, dan
kita saling mengasah pisau untuk
saling membunuh,
lalu meneguk darahnya
padahal kita telah berikrar
tapi tanpa makna

Ketika itu aku melihat airmatamu,
menitis bagai embun
yang tersisa
jatuh perlahan
di atas genting
rumah kita
padahal aku telah
melihat bayangmu dalam samar cahaya
sbelum kita tidur
dalam sunyi

oleh Rudhy Faliskan

''ELEGI BATANG HARI''

Engkau telah banyak memberi
kepadaku
kepada keluarga kami...!
Hari-hari selalu bersama
lewati air jernihmu sepanjang enam kilometer

Wahai,
sungai Batanghari-ku
jasamu tak terbalaskan
biarlah kami catat dalam sejarah
bahwa engkau pernah temani-ku
pulang pergi sepanjang enam kilometer
tuk bantu aku
bawakan dua piring nasi
tambah lauk seadanya; untuk anak dan isteri-ku

Waktu kian menepi,
tunggu hari untuk berpisah
Aku resah; setelah pertemuan lima tahun lalu
Aku bermimpi; suatu saat kita
akan bertemu kembali
walau bukan lagi
tuk lewati sepanjang enam kilometer...


Jambi,Januari 2003
oleh mukhlis aminullah
(ketika akan pulang ke Aceh)

"RINDU''

Entah mengapa....
saat kesendirianku seperti ini
dan Sungai Batanghari menjadi Saksi
Aku rindu kampung halaman...

Aku rindu Fildza Alifa
bayi kecilku yang cantik dan montok
yang sedang belajar celoteh,
celoteh apa saja; sembarang celoteh

Aku rindu istriku
Aku rindu masakannya
Rindu senyumnya,
yang seteduh Dermaga Pelni
sedamai sungai Batanghari

Aku rindu mereka berdua,
Sedang apakah kalian pada saat seperti ini..?
Apakah sedang tiarap di lantai,
menghindari peluru nyasar perang Aceh...
atau
sedang gelisah dengan warisan tanah endatu kita;
Aceh tercinta
atau
sedang menghitung hari
kapan perang Aceh berakhir...

Wahai,
lanskap malam
bantu aku hantarkan rindu
kepada mereka berdua,
agar kami bisa bersatu
bersama kembali menikmati
tenang damai Sungai Batanghari...


Jambi, 20 Februari 2001
oleh mukhlis aminullah
spesial untuk keluarga di Aceh

MUSLIM JERMAN

Setelah berpuluh tahun kehadiran Islam dan Muslim cenderung informal, keduanya akhir-akhir ini menghadapi fokus pemindaian publik. Ini adalah hasil dari ketertarikan terhadap subjek Islam yang semakin meningkat, demikian menurut Mounir Azzaoui, mantan juru bicara Badan Muslim Pusat di Jerman (ZMD).

Lima tahun terakhir Islam dikarakteristikan dengan krisis, serangan teroris, diskusi atas karitkatur dan pernyataan Paus; yang terjadi hampir tiga bulan sekali. "Kami selalu memiliki debat besar," ujar Mounir.

Dalam hitungan kasar, tiga perempat Muslim di Jerman merupakan imigran atau keturunan Turki. Jajak Pendapat Representatif menunjukkan 84 % Muslim di Jerman menginginkan tinggal di Jeman. Beberapa 60 ribu diantaranya telah menjadi warga negara Jerman.

Beberapa asosiasi Muslim bahkan mengubah ruangan kerja mereka menjadi tempat sholat temporer demi memfasilitasi kebutuhan keagamaan yang semakin bertambah. Ini kemudian menjadi pertanda nyata pertama kehadiran Muslim di Jerman.

Sedikit demi sedikit, Muslim dan organsasi mereka mencari tempat-tempat yang dapat digunakan beribadah dalam jangka waktu lama. Kini ada lebih dari 2.000 ruang ibadah yang digunakan setiap hari, dan hari ini ada 159 arsitektur ternama bertujuan sebagai masjid yang telah atapun dalam tahap dibangun. Sementara 140 proyek konstruksi serupa masuk dalam tahap perencanaan.

Muslim yang makin bertumbuh melihat fokus jati diri etnis yang masih melekat sebagai salah satu kendala dalam umat Islam. "Ini menjadi masalah, karena warg Muslim terbesar terkait dengan Turki. Seingga koneksi yang ada dalam topik Islam selalu mengarah pada masalah khas Turki," ujar Leyla Massoudi, mahasiswa Muslim di kota Cologne.

Tuntutan keadila dan pengakuan jika mereka juga, seperti hanya grup etnis lain, paling tidak, merupakan bagian pengaruh warga asing.

Mounir sendiri mengatakan status pendidikan dan pengajaran Islam merupakan hal problematik. Benar-benar menjadi masalah utama dari bentuk komunitas maupun organisasi Muslim karena tidak ada pengajaran yang menyoal situasi lokal kehidupan Muslim di Jerman. Lembaga dan organisasi luput dari hal tersebut--yang justru hanya dianggap masalah politik belaka.

Sebagian besar, khususnya generasi muda Muslim dan pemeluk baru, menyatakan tuntutan kebutuhan tersebut. Ada sebuah arus berlawanan, hingga suara lantang yang mengkritik posisi yang dipegang para lembaga Islam. Berdasar pandangan para Muslim di Jerman ada tiga kritik utama yakni kurangnya sistem pengajaran Islam secara independen, kedua ketidahadiran jaringan komunitas Muslim yang berkelanjutan, dan ketiga fokus lembaga Islam masih dominan pada kebutuhan struktural organisasi itu sendiri ketimbang pengembangan masyarakat ke arah luar.

Malik Sezgin, sekretaris jenderal Persatuan Muslim Eropa pun menyepakati kritik terhadap fokus etnis yang masih terjadi di lembaga-lembaga Islam Jerman. Ia sendiri memiliki latarbelakang imigran, namun ia mengatakan Muslim Eropa kini tengah memainkan peranan penting yang semakin meningkat dalam perkembangan Islam di Jerman

"Mereka menjadi elemen kunci perubahan positif komunitas Muslim di Jerman, karena mereka mengerti dan memahami bahasa serta warisan intelektual dan spiritual Jerman," ujarnya

Perjuangan Muslim melakukan integrasi di Jerman meski kadang pasang-surut, namun tetap berlangsung. Seperti saat pendirian KRM, salah satu organisasi Muslim di sana, para anggota dewan berdiri di depan para kuli tinta dan seluruh partisipan terlihat optimis, "Waktunya bagi pekerja pendatang dan imigran telah usai," ujar Kepala Islamic Council, Ali Kizilkaya. "Mayoritas Muslim saat ini lahir di Jerman dan tidak bermigrasi. Kami bagian dari Jerman," imbuhnya.

Meski toh ada pula yang skeptis terhadap perlunya organisasi Muslim seperti Feridun Zaimoglu, penulis terkenal berdarah Turki. "Menginstitusionalkan Islam? Saya tidak tertarik," ujarnya. "Lebih lanjut ia menekankan yang terpenting adalah rasa percaya diri umat Muslim. "Pada intinya Muslim tidak seharusnya menyerah dengan mudah terhadap tekanan," katanya.

Organisasi Muslim memang masih dianggap kurang independen, begitu juga para Muslim dan warga keturunan Jerman yang menjadi muslim masih sedikit yang memiliki visi mengembangkan Islam di tengah-tengah peradaban Jerman. Namun timbul kebutuhan di kalangan pemuda Muslim untuk mengkoreksi pandangan terhadap Islam bukan ke arah fundamentalis, juga tak sekedar berdiam diri dalam masjid dan menjadi esoteris.

Ahmad Gross manajer umum Weimar Institue, institut pendidikan dan budaya Muslim terkemuka tetap optimis terhadap masa depan Muslim di Jerman. "Memang tekanan juga terus bertambah, sehingga harus dipahami keberadaan kita di sini adalah kesempatan yang diberikan Allah. Terlepas dari propaganda sesat dan semacamnya, Barat mulai menemukan Islam sesungguhnya. Setiap orang melewati pintu berbeda-beda tapi pada akhirnya mereka menuju satu tujuan," kata Ahmad

(sumber; Harian Republika, 9 Maret 2009)

Senin, 09 Maret 2009

PERINGATAN MAULID

Sudah 2 hari saya tidak sempat nge-blog. Hal ini semata-mata karena kesibukan saya. Kami pulang ke rumah orang tua saya sejak hari Minggu, sehubungan dengan peringatan Maulid Nabi SAW yang diselenggarakan di kampung asal saya, Leubu Me.

Seingat saya, bahwa tradisi peringatan lahirnya Rasulullah SAW dirayakan setiap tahun dengan mengadakan kenduri Maulid. Maksudnya adalah makan siang bersama, setelah sebelumnya diisi dengan acara Shalawat kepada Rasulullah SAW serta shalat zhuhur berjama’ah. Biasanya kenduri Maulid untuk masyarakat umum di meunasah (surau)diundang seluruh warga kampung dan warga kampung tetangga.
Sedangkan kenduri Maulid di rumah-rumah biasanya diundang anak yatim dan keluarga besar yang punya rumah. Khusus di rumah orangtua kami, bisanya ditambah undangan dari kolega Bapak dan kolega saya. Semua anggota keluarga kami yang diluar daerah,diusaha- kan pulang kampung.

Tidak ada seorang pun dari keluarga kami yang menentang acara Maulid, walau disadari ada juga yang berpendapat berbeda......
Saya sendiri tidak ingin berpolemik soal itu. Sejauh masih relevan dan tidak menjurus ke syirik dan/atau bid’ah, saya tetap ikuti.

Memang soal Maulid masih terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan peringatan Maulid Nabi itu tidak ada dalam tradisi Rasulullah maupun masa Sahabat. Sebahagian pendapat lagi mengatakan boleh dan sah-sah saja asal tidak berlebihan dan tujuannya untuk kemashlahatan Ummat serta untuk mengingatkan Ummat akan keteladanan Rasulullah SAW.

Saya memilih opsi yang kedua. Bukan karena sudah tradisi keluarga, bukan..! Namun menurut tela’ah dan pemikiran kami sekeluarga (apalagi Bapak saya adalah seorang Tgk Imum Chik yang sudah sangat faham agama ketimbang saya), peringatan Maulid ditujukan untuk syi’ar Islam serta terjalinnya silaturrahmi antar Ummat.
Saya, yang masih tahap belajar, meyakini bahwa dengan kita merayakan Maulid akan membuat kita semakin cinta Rasulullah dan memaknai perjuangan beliau demi tegaknya agama Allah.

Menurut saya, alangkah naifnya kita Ummat Islam, kalau masih ada yang menentang peringatan Maulid, sedangkan kita selalu meng-agungkan Hari Kartini atau Hari Pahlawan ataupun Hari Kemerdekaan. Malah sekarang ini ditambah lagi dengan berbagai peringatan yang lain, termasuk Tahun Baru Masehi (sementara Tahun Baru Hijriah banyak orang yang tidak tahu).
Alangkah sedihnya....

Dalam kesempatan ini saya ingin kita melihat ke belakang, tentang sejarah Maulid Nabi SAW. Saya coba uraikan sedikit tentang asal-muasal Maulid dari berbagai sumber yang saya ketahui.

Peringatan Maulid Nabi Dulu dan Kini

Menurut catatan sejarah, Peringatan Maulid Nabi SAW pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, Gubernur Irbil, Irak, pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M). Menurut sumber lain, yang pertama mencetuskan ide Peringatan Maulid Nabi SAW adalah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi sendiri. Waktu itu tujuannya adalah untuk memperkokoh semangat umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara Muslim yang lemah dalam menghadapi serangan tentara Salib dari Eropa, yang ingin merebut tanah suci Yerusalem dari tangan kaum Muslim.Pendek kata, secara sosio-historis, Peringatan Maulid Nabi SAW ditinjau dari 2 sisi.
Di satu sisi Perang Salib yang dilancarkan oleh kaum kafir Kristiani yang ingin merebut Kota Yerusalem (Palestina); di sisi lain melemahnya semangat jihad kaum Muslim dalam melawan kaum kafir Kristiani itu.
Efeknya memang sangat luar biasa. Dengan Peringatan Maulid Nabi SAW inilah Sultan Shalahuddin saat itu mampu membangkitkan kembali kesadaran kaum Muslim sekaligus semangat jihad mereka dalam membela agama Allah ini, khususnya melawan kafir Kristiani dalam Perang Salib. Sayangnya, saat ini Peringatan Maulid Nabi SAW sudah jauh bergeser dari motif awalnya. Saat ini, Peringatan Maulid Nabi SAW yang diselenggarakan oleh kaum Muslim telah terjebak dalam rutinitas tahunan dan terkungkung dalam acara seremonial belaka. Akibatnya, efeknya pun kurang terasa. Boleh dikatakan, Peringatan Maulid Nabi saw. saat ini gagal membangkitkan kembali kesadaran dan semangat keagamaan serta ruh jihad kaum Muslim, sebagaimana yang pernah dicapai pada masa Sultan Salahuddin delapan abad yang lalu.
Padahal, kondisi saat ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan pada masa Sultan Shalahuddin; kaum Muslim sama-sama dihadapkan pada musuh yang sama, yakni kekufuran dan orang-orang kafir. Bedanya, jika pada zaman Sultan Shalahuddin dulu umat Islam berhadapan langsung secara fisik melawan pasukan Salib yang Kristen, maka sekarang kaum Muslim dihadapkan dengan dua musuh sekaligus: secara fisik dengan penjajah Amerika Serikat dan sekutunya (termasuk Isarel), yang saat ini terutama sedang menjajah Palestina, Afganistan, dan Irak; secara pemikiran dengan ideologi Kapitalisme global yang berbasiskan Sekularisme, yang saat ini mendominasi Dunia Islam dan menjadi biang keterpurukan kaum Muslim saat ini di berbagai bidang kehidupan.Walhasil, saat ini kaum Muslim sesungguhnya dihadapkan pada persoalan yang jauh lebih rumit ketimbang pada masa Sultan Shalahuddin delapan abad yang lalu. Sebab, saat ini umat Islam diserang oleh orang-orang kafir baik secara fisik maupun pemikiran. Karena itu, Peringatan Maulid Nabi SAW saat ini sejatinya memberikan efek yang lebih dahsyat daripada yang pernah dicapai oleh Sultan Shalahuddin dulu.
Jika dulu, melalui Peringatan Maulid Nabi SAW, Sultan Shalahuddin berhasil memompa semangat jihad kaum Muslim melawan orang-orang kafir, maka seharusnya peringatan Maulid Nabi SAW saat ini, di samping mampu membangkitkan semangat jihad melawan Amerika, Israel (yang lebih dari setengah abad menduduki Yaerusalem) dan sekutu-sekutunya, juga sekaligus mampu menumbuhkan kesadaran untuk terus menyingkirkan dominasi ideologi Kapitalisme global yang berbasiskan Sekularisme. Jika tidak, tentu Peringatan Maulid Nabi saw. yang diselenggarakan setiap tahun akan kehilangan maknanya.

Maulid Nabi SAW dan Relevansinya dengan Kondisi Saat ini

Saat ini umat Islam sesungguhnya sedang dilanda sejumlah persoalan berat dan kompleks.

Pertama, secara pemikiran, benak umat Islam masih dikuasai oleh paham sekularisme; paham yang menihilkan peran agama (Islam) dalam kehidupan. Akibatnya, Islam hanya ada dalam tataran ritual dan spritual belaka; sama persis dengan agama-agama lain. Praktis, dalam kehidupan umum (sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dll) ajaran dan hukum-hukum Islam tidak dipakai.

Kedua, secara hukum, saat ini yang diterapkan di negeri-negeri Islam, khususnya di negeri ini, bukanlah syariah Islam, tetapi hukum-hukum sekular, yang bahkan merupakan warisan penjajah. Lebih dari itu, di Indonesia, sebagian produk UU—seperti UU SDA, UU Listrik, UU Energi, UU KDRT—lebih banyak karena faktor pesanan asing, yang disponsori oleh lembaga-lembaga asing.

Ketiga, secara sosial, akibat penerapan hukum sekular, negeri ini dilanda berbagai persoalan sosial yang sangat berat dan kompleks seperti: membudayanya korupsi; maraknya perselingkuhan dan seks bebas yang bahkan melibatkan para remaja usia sekolah; merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba; merajelelanya kasus kriminal lain seperti pencurian pembunuhan, bunuh diri; munculnya ragam konflik sosial dan upaya disintegrasi; dll.

Keempat, secara politik, umat Islam pun masih menjadi bulan-bulanan negara-negara kafir. Isu terorisme yang dikembangkan AS masih terus dilancarkan terhadap kaum Muslim sejak Peristiwa 11 September 2001 sampai hari ini. Bahkan di dalam negeri, adanya sejumlah senjata dan bahan peledak yang ditemukan di rumah seseorang baru-baru ini, tidak dikategorikan sebagai tindakan kriminal biasa, tetapi langsung dikaitkan dengan isu terorisme, hanya karena kebetulan yang diduga pelakunya adalah orang Islam. Padahal bukti-bukti ke arah tindakan terorisme masih diselidiki. Hal ini wajar saja mengingat isu terorisme selama ini memang sengaja dikembangkan oleh AS untuk menyudutkan Islam.

Kondisi saat ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan kondisi zaman Jahiliah, saat Rasulullah SAW lahir. Secara pemikiran, bangsa Arab saat itu dikuasai oleh paganisme (keberhalaan). Secara sosial, perjudian, perzinaan, mabuk-mabukkan dan membunuh bayi perempuan yang baru lahir telah menjadi tradisi mereka. Kebanggaan akan suku (‘ashhabiyyah) juga selalu mewarnai kehidupan sosial mereka, yang sering menjadi bibit perpecahan di antara mereka, dan tidak jarang berujung pada saling bunuh satu sama lain. Secara hukum, yang berlaku saat itu adalah hukum Jahiliah, yang lebih memihak kepada pihak yang kuat. Adapun secara politik, bangsa Arab saat itu berada dalam bayang-bayang dua negara besar: Persia dan Romawi. (M. Rawwas Qal’ahji, 1996).Di tengah-tengah kondisi inilah Muhammad SAW lahir. Dengan kelahiran Muhammad SAW, yang kemudian menjadi Nabi dan Rasul Allah, dalam waktu yang relatif singkat, yaitu 23 tahun, masyarakat Arab Jahiliah itu dengan izin Allah ternyata berubah secara drastis. Mereka ternyata bisa bersatu di bawah panji-panji Tauhid. Mereka bersatu bukan karena faktor nasionalisme, tetapi karena faktor akidah, di bawah panji-panji Islam yang memiliki prinsip ajaran yang universal. Bahkan mereka bersatu dalam satu wadah negara, yakni Daulah Islam, di Madinah. Dengan itulah bangsa Arab yang tadinya Jahiliah dan berperadaban rendah berubah secara revolusioner menjadi bangsa yang maju dan berperadaban tinggi. Bahkan negara mereka, Daulah Islam yang belum lama berdiri, berhasil dalam waktu singkat meruntuhkan dominasi kekuasaan Persia dan Romawi; dua negara adidaya saat itu. Itulah sebetulnya makna terpenting dari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang kemudian diangkat menjadi nabi dan rasul oleh Allah SWT. Dengan penjelasan di atas, jelas sangatlah penting bagi kaum Muslim untuk merefleksikan kembali makna hakiki dari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW. itu pada saat ini. Karena itu, sudah tiba saatnya seluruh umat Islam dari berbagai aliran pemikiran, mazhab, organisasi, maupun harakah dakwah untuk menyatukan langkah, merapatkan barisan dan berjuang bersama-sama untuk meraih kembali keberhasilan dan kemajuan yang pernah dicapai oleh Rasulullah Muhammad SAW.

Kesimpulan

Sesungguhnya Peringatan Maulid Nabi SAW bukan sekadar kegiatan seremonial dan rutinitas tahunan yang akan berlalu begitu saja tanpa memberikan perubahan sosial dan politik kepada umat Islam. Momentum Peringatan Maulid Nabi SAW hendaknya memberikan bekas dan pengaruh yang nyata dalam memperbaiki masyarakat menuju umat terbaik (khaira ummah), sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS al-Ahzab [33]: 21).

Hanya dengan itulah umat Islam dapat meraih kembali kemuliaannya yang hakiki, yang hakikatnya memang hanya milik mereka.

Maha Benar Allah Yang berfirman:

Kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang Mukmin. (QS al-Munafiqun [63]: 8).

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.