Kamis, 02 April 2009

JANGAN JADI GOLPUT....!

Satu hal yang sangat berguna bagi kita adalah pemahaman yang baik tentang UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Kalau kita baca; Pasal 200 dan seterusnya dalam Undang-undang tersebut, maka sebenarnya tidak ada ruang bagi Golongan Putih atau Gol-Put untuk menyebut diri sebagai bentuk perlawanan.

Dalam pasal-pasal tersebut diterangkan bahwa seberapa persen pun suara yang masuk maka jumlah kursi di DPR akan tetap terisi penuh. Hal ini dilakukan dengan cara membagi jumlah kursi yang tersisa pada partai-partai yang lolos electoral threshold, menurut prosentase perolehan suara mereka.

Dengan kata lain, walaupun hanya 10% dari pemilih potensial yang memberikan suara dalam Pemilu, kursi DPR tetap saja akan terisi penuh dan tidak akan kosong. Kalau yang menang dari 10% tersebut adalah orang-orang yang korup, maka merekalah yang bakal memegang tongkat komando kebijakan negara ini. Kalau yang menang dari 10% tersebut adalah orang-orang yang anti terhadap Islam, maka sudah tentu semua kebijakan akan menjadi musibah bagi umat Islam negeri ini.

Begitu juga dalam pemilihan Presiden, yang berhak mencalonkan adalah mereka yang memiliki 20% perolehan suara pemilu. Jadi yang dapat 20% suara dari 10% orang yang ikut pemilu tetap berhak mengajukan capresnya. Dan capres yang memenangkan 51% suara dari 10% orang yang ikut pemilu tetap berhak menjadi Presiden RI walaupun 90% lainnya Golput.

Inilah romantika demokrasi, preview nya adalah Mesir, Hosni Mubarak memenangkan Pemilu yang hanya diikuti tidak lebih dari 30% pemilih potensial karena calon-calon legislatif dari oposisi seperti kelompok Ikhwanul Muslimin habis ditangkapi dan dipenjarakan, selain itu para pendukung kelompok ini juga dipersulit bahkan dilarang ikut mencoblos di banyak TPS negeri itu. Hasilnya, Hosni Mubarak tetap jadi Presiden seluruh Mesir walau cuma beberapa persen dimenangkan.

Itulah demokrasi dan kita dituntut harus tetap cerdik menyikapi sistem demokrasi ini, kalau dulu Ust. Anis Matta membuat buku "Menikmati Demokrasi" mungkin sekarang sudah saatnya kita membuat Modul "Bagaimana Menjadi Matador Demokrasi yang Sukses"

Kembali ke pokok permasalahan, pilihan Gol-Put sebagai perlawanan saat ini menunjukkan masih rendahnya PQ (Political Quotient) umat ini. Dan dalam Islam dijelaskan bahwa setiap sikap (pilihan) akan dimintai pertanggungjawaban termasuk memilih untuk merelakan kepemimpinan umat ke tangan para durjana.

Jadi alih-alih melakukan perlawanan, mereka yang Gol-Put malah harus mengikuti apapun kebijakan dari orang-orang yang mereka biarkan untuk menang dalam pemilu walaupun yang mereka biarkan menang itu adalah orang setingkat Fir’aun, Raja Namruz atau pemimpin keji dan anti Islam lainnya sekalipun.

Mungkin kita bisa tertawa dan bisa menangis saat membaca opini para pendukung Gol-Put dari sebuah blog. Si penulis mengatakan bahwa semakin banyak orang yang Gol-Put maka Indonesia akan segera hancur, lalu saat itulah Khilafah Islamiyah akan didirikan. Dari situ saja kita bisa menebak-nebak seberapa baik dan canggih PQ dari saudara-saudara kita.

Apakah Gol-Put akan menghasilkan perbaikan? Dalam perspektif terbatas, bisa saja itu terjadi tapi pada kondisi Indonesia sekarang ini, sudah seharusnya berfikir berkali-kali. Karena boleh jadi Gol-Put malah menguntungkan partai-partai curang. Mengapa demikian? Karena dengan Gol-Put parpol culas bisa mengurangi biaya pembelian suara. Kelompok yang Gol-Put bisa jadi menguntungkan parpol yang terbiasa tebar uang dan hadiah. Daerah-daerah yang dipetakan kurang prospektif dari segi potensi atau tidak lebih menguntungkan dalam jangka panjang, tidak akan terlalu serius diurus karena keterbatasan dana. Bisa jadi ada, namun tidak terlalu signifikan. Biarlah daerah yang kurang potensial tersebut dininabobokan dengan pasukan Gol-Put saja, agar tidak banyak memberi pengaruh pada perolehan suara.

Fokus pada daerah-daerah strategis dan potensial. Karena alasan budget juga, parpol cenderung memfokuskan pada daerah-daerah kaya potensi. Masyarakat daerah tersebut yang masih menengah ke bawah akan menjadi sasaran money politics. Sedangkan yang menengah ke atas didekati dengan rekruting menjadi caleg atau iming-iming proyek di masa kemenangannya. Intinya jangan sampai ada Gol-Put dan pilihan partai lain di daerah tersebut karena fokus anggaran partai sudah ditetapkan. Oleh karena itu secara umum, parpol yang memiliki budget raksasa adalah mereka yang paling berpotensi memenangkan perang gaya ini.

Memudahkan memupuk kekayaan dalam jangka panjang, minimal 5 tahun ke depan. Hasilnya tentu saja kekayaan yang berlimpah dari kesempatan bereksplorasi dalam lima tahun ke depan, menyiapkan pemilu berikutnya.

Sebagian kecil bisa saja dibagi agar pemilih merasakan dan mengurangi potensi Gol-Put masa berikutnya serta memupuk loyalitas pemilih, sebagian besar yang lain adalah logistik partai dan kekayaan orang-orangnya.

Pikir-pikir lebih jauh, akan ada juga keuntungan untuk partai atau kelompok dengan agenda de islamisasi atau Islam phobia. Dengan besarnya Gol-Put terutama dari muslim Indonesia maka dapat:

  1. Mengurangi keterwakilan muslim dalam pengambilan kebijakan
  2. Mengurangi peran-peran muslim dalam kehidupan berbangsa secara umum
  3. Mempreteli satu demi satu regulasi bernafaskan syariah
  4. Memudahkan jalan untuk mengembalikan Pancasila sebagai asas tunggal
  5. Memudahkan jalan melemparkan Islam dari ranah publik

Hal lain yang perlu diingat adalah TNI dan Polri sudah barang tentu berada pada pihak yang memenangkan pemilu (itu kata undang-undang). Mereka siap mengamankan apapun kebijakan yang berkuasa. Dan dukungan internasional juga akan mengalir bila lima agenda di atas mulai ter format dan bergerak. Toh yang memilih itu 100% atau cuma 50%, hasilnya akan tetap legitimate untuk menjadi penguasa.

Menakar Resiko Muslim Indonesia Bila Gol-Put Sukses

Dari 222 juta rakyat (menurut sensus 2006) = 170 juta pemilih. Dengan hitung-hitungan bodoh saja, bila persentase muslim Indonesia adalah 86% maka jumlah pemilih muslim adalah 170 juta x 86% = 146 jutaan, sedangkan non muslim adalah 170 juta x 14% = 24 jutaan. Dengan pendekatan pessimistic non scientific, anggap saja 40% dari muslim itu Gol-Put. Dengan data dari persentase Gol-Put Pil-kada lalu, terlihat daerah-daerah yang mayoritas penduduknya muslim ternyata memiliki angka Gol-Put yang tinggi, rata-rata 40%, sedangkan daerah yang mayoritas non muslim seperti Bali, NTT, Maluku, dan Papua malah memiliki angka Gol-Put yang rendah dengan rata-rata 20%.

Maka prediksi bila Gol-Put sukses dan berdasarkan hasil rata-rata maksimal total suara yang didapat partai Islam dalam beberapa pemilu sebelumnya, sekitar 20%, yang ikut memilih di pemilu mendatang 60% karena selebihnya Gol-Put.

Didapat lah perhitungan kotor sebagai berikut: Suara partai Islam = 20% x (60%x146 juta) = 17.52 juta atau hanya 10%. Suara muslim di partai sekuler = 80% x (60%x146 juta) = 70.08 juta atau hanya 40%. Sisa suara adalah mereka yang Gol-Put dan non muslim. Nah, kalau bisa tebak, dalam pemilu legislatif angka Gol-Put non muslim bakal sangat rendah atau bahkan mendekati nol persen. Hal ini terkait dengan isu keterwakilan mereka dan juga agenda-agenda lainnya. Dan kemungkinan besar bahkan bisa jadi pasti mereka tidak akan menjatuhkan hak pilih ke caleg muslim, ini sebuah misteri idealisme. Jadi anggap saja dari 24 juta pemilih itu semua memberikan suaranya pada wakil mereka. Jadi prosentasenya adalah sekitar 14%, melampaui suara gabungan partai Islam.

Hasilnya memang sungguh mengerikan, partai Islam 10%, partai sekuler (yang di dalamnya sudah pasti ada non Islam) dan partai non Islam 40%+14%, sisanya sekitar 36% adalah suara umat Islam yang tak terpakai. Di dalam 36% itu; ada mereka yang tak kebagian money politik, ada mereka yang katanya protes dan menunjukkan bentuk perlawanan, ada yang katanya pemilu itu haram dan oleh karena itu tak ikut pemilu demi syariat Islam.

Untuk yang terakhir ini, tak bisa banyak berharap akan hadirnya Syariat, karena kondisinya saat itu sudah semakin membingungkan. Walaupun dengan dalih hasil sebuah survey yang mengatakan 72% orang Indonesia ingin syariah Islam, tetap saja faktanya akan terlihat pada Pemilu ini.

Bila afiliasi muslim Indonesia masih pada ideologi-ideologi sekuler dan materialistis sebagaimana sebagian dari mereka memilih partai non Islam dan sebagian lainnya memilih Gol-Put karena alasan materialistis, maka sudah barang tentu hasil survey tersebut hanya kamuflase. Bisa jadi survey dilakukan hanya untuk membesar-besarkan isu hingga terjadi radikalisme yang diharapkan atau bisa jadi sebagai alasan dana asing bisa masuk lebih banyak dengan tujuan de-Islamisasi. Atau bisa jadi ada error di survey tersebut. Siapa tau? Di pemilu 2009 inilah hasil-hasil survey itu akan terbongkar kebenarannya atau kebobrokannya.

Di mana kaum Gol-Put adalah tumbalnya. Bila si baik yang menang, maka mereka ikut menang dan menikmati hasil tanpa perjuangan. Lalu bila si bejat yang menang, maka mereka juga yang terlibat mengantarkannya ke tampuk kemenangan tanpa perlawanan yang katanya melawan.

Kalau memang kita serius menginginkan akan adanya perbaikan. Mari kita ikut pro aktif. Pelajari aturan Pemilu, agar kita tidak dicurangi. Tak lupa juga, agar kita mengenali nama-nama Calon. Perhatikan dan cermati program mereka. Dan tentu saja, buka-buka arsip untuk melihat track record mereka selama ini, karena rekam jejak ini penting. Jangan sampai kita beli kucing dalam karung. Kalau memang otak ini sudah mumet, serahkan ke hati kita masing-masing. Bukankah Allah SWT akan selalu mengabulkan doa-doa kita.

Jangan lupa keshalihan lahiriah bisa jadi sebuah parameter. Selain itu kita lihat juga orang-orang yang menawarkannya dan atau di sekitarnya, apakah juga kesalehan itu tampak? Selama kampanye ikutan yang kita sreg dengannya, hitung-hitung wisata 5 tahunan. Yang sangat penting mulailah shalat istikharah sampai hari pemungutan suara tiba. Insya Allah, Allah SWT akan memberikan yang terbaik atas usaha kita itu. Lalu Pergi ke TPS, contreng saja kalau sudah yakin.

Kalau belum, biarkan Allah SWT mengilhami, karena janji Allah SWT bagi mereka yang istikharah pasti terjadi. Kalau belum dapat juga, lihat saja wajah-wajah mereka, pilih yang bisa menyejukkan kita. Sebagai Muslim, kita wajib memilih Calon yang Muslim, taat, tidak korupsi dan profesional.

Terakhir, jangan lupa masukan ke kotak suara, dan ucapkan Alhamdulillah dan do’a kepada Allah, semoga yang dipilih adalah pilihan yang tepat dan dapat menghantarkan Indonesia ke gerbang yang lebih baik.

Dalam sebuah ungkapan disebutkan :

“Hati yang bersih akan memuluskan jalan keluar dari sebuah masalah. Allah SWT menganugerahkan hati sebagai salah satu alat selain kepala yang sering hang ini.”

Wallahu a’lam

Mukhlis Aminullah, mantan Anggota KPU Bireuen, Aceh.

Rabu, 01 April 2009

TUGAS & WEWENANG KPPS

Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau sering disingkat KPPS adalah salah satu ujung tombak suksesnya Pemilu di lapangan. Sesuai dengan aturan, jumlah anggota KPPS adalah 7 (tujuh) orang dan dibantu 2 (dua) orang petugas pengamanan di TPS. Keberadaan KPPS sangat penting, untuk itu para Anggota KPPS harus dilatih dengan baik sebelum melaksanakan tugasnya mengawal suara rakyat pada Pemilu yang akan datang.

Informasi yang kami terima dari beberapa Ketua PPK dalam Kabupaten Bireuen, umumnya mereka sudah menyelenggarakan pelatihan bagi Anggota KPPS di Kecamatannya masing- masing. Mudah-mudahan hasil dari pelatihan yang sudah diberikan oleh PPK telah meyakini kita bahwa KPPS telah mengusai segala tugas, wewenang dan kewajibannya.
Namun pada kesempatan kali ini saya ingin sedikit memberi gambaran tentang tugas dan wewenang KPPS, terutama bagi mereka yang baru kali ini menjadi anggota KPPS dan secara kebetulan "numpang lewat" mengunjungi blog ini.

Tugas, wewenang dan kewajiban KPPS adalah:
  1. Mengumumkan dan menempelkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Calon Tetap (DCT) di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
  2. Menyerahkan DPT kepada Saksi yang hadir dan Pengawas Lapangan.
  3. Melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
  4. Menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Saksi , Pengawas Lapangan, Peserta Pemilu dan masyarakat pada hari pemungutan dan penghitungan suara.
  5. Menjaga dan mengamankan keutuhan kotak suara setelah penghitungan suara dan setelah kotak suara disegel.
  6. Membuat Berita Acara pemungutan dan penghitungan suara dan sertifikat penghitungan suara, dan wajib menyerahkan kepada Saksi dan Pengawas Lapangan.
  7. Menyerahkan hasil penghitungan suara kepada PPS.
  8. Menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK melalui PPS pada hari yang sama.
  9. Melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban lainnya yang diberikan oleh KPU, KIP Provinsi, KIP Kabupaten/Kota, PPK dan PPS sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
  10. Melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban lain yang diberikan oleh Undang-undang.

Dalam menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara, KPPS berpedoman kepada azas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.

Selanjutnya KPPS dalam melaksanakan tugas harus menjunjung tinggi Kode Etik sebagai penyelenggara Pemilu, sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang-undang dan Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2008 tentang Kode Etik. Berikut ini saya paparkan secara ringkas saja, antara lain :
  1. Melayani pemilih menggunakan hak pilihnya.
  2. Melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban berdasarkan hukum.
  3. Melaksanakan administrasi Pemilu yang akurat.
  4. Tidak melibatkan diri dalam konflik kepentingan.
  5. Bersikap dan bertindak non-partisan dan imparsial atau tidak memihak.
  6. Bertindak transparan dan akuntabel.
  7. Bertindak profesional.
Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.

Mukhlis Aminullah, mantan Anggota KPU Bireuen, Aceh.

Minggu, 29 Maret 2009

IDENTIFIKASI MASALAH PEMILU

Hari ini saya dapat kabar yang mencengangkan dari beberapa sumber yang layak dipercaya tentang carut marutnya proses Pemilu di Aceh. Sebelas hari lagi menjelang hari H, banyak persoalan yang belum ada jalan keluarnya. Pertama; masih banyaknya Pemilih yang tidak terdaftar dan/atau Pemilih yang meninggal dunia masih terdaftar di beberapa Kabupaten/Kota. Kedua; masalah logistik Pemilu yang masih kurang. Ketiga; tiadanya TPS khusus . Keempat; masalah kesempatan memilih bagi Saksi. Untuk jelasnya, akan saya identifikasi satu per satu....

Masalah Pemilih yang tidak terdaftar, memang tidak sepenuhnya kesalahan pihak penyelenggara Pemilu. Proses pendaftaran dan pemutakhiran Pemilih sudah berlangsung sejak kwartal terakhir tahun 2008 lalu. Petugas disetiap Desa telah pula mengumumkan kepada masyarakat nama-nama Pemilih yang sudah didata dengan menempelkan DPS (Daftar Pemilih Sementara). Seyogyanya masyarakat sendiri harus pro-aktif, dengan melaporkan kepada Petugas kalau namanya tidak terdaftar. Persoalan ini adalah masalah bersama, kecuali ada kelalaian Petugas sehingga luput mendata. Yang jadi persoalan barangkali, adanya nama orang yang sudah meninggal dunia 2 (dua) tahun yang lalu, kok masih terdaftar di DPS maupun DPT...
Saya dengan mudah menemui beberapa nama, misalnya di Pulo Kiton, ada 2 (dua) orang yang meninggal tahun 2007 lalu, namanya masih tercantum dalam DPT. Artinya persoalan ini adalah akibat kelalaian Petugas.

Masalah selanjutnya adalah Logistik, dimana beberapa Kabupaten/Kota belum selesai melipat kertas suara. Kalaupun sudah selesai, namun belum dihitung dan dimasukkan ke dalam kotak suara sehingga diragukan akan bisa didistribusikan ke Kecamatan tepat waktu. Belum lagi, ada info di beberapa Kabupaten/Kota, surat suara yang diterima belum mencukupi.

Selanjutnya masalah TPS khusus. Sangat mengherankan, entah apa alasan KPU Pusat sehingga meniadakan TPS khusus pada Pemilu kali ini. Padahal seperti sudah kita ketahui, pada Pemilu 2004, TPS khusus tetap dialokasikan. Sepertinya KPU Pusat tidak peka terhadap keadaan. Walaupun hari Pemungutan suara sudah diliburkan, namun ada beberapa instansi yang tidak bisa libur karena harus melayani masyarakat seperti Rumah Sakit, PLN, Bandara, dsb. Semua karyawan harus memilih dimana, sementara pekerjaan tidak bisa ditinggalkan.........
Ini belum ditambah dengan TPS khusus di penjara-penjara. Seperti Rutan Bireuen dengan Pemilih 161 orang, semua penghuninya sudah bisa memilih.

Masalah kesempatan memilih bagi Saksi juga bisa jadi persoalan. Dengan cadangan kertas suara yang hanya 2 persen (maksimal 500 Pemilih kali 2 persen = 10 lembar), bagaimana seandainya para Saksi peserta Pemilu melebihi 10 orang......? Di Bireuen ada 29 Parpol peserta Pemilu ditambah peserta Pemilu DPD. Ada 40-an Saksi kalau semua peserta Pemilu mengirimkan Saksinya di TPS. Dan kalau Saksi tersebut berasal dari Desa setempat, hal ini tidak akan jadi persoalan. Nah....... bagaimana kalau mereka berasal dari luar......?
Ini adalah sebuah persoalan yang sebelumnya mungkin tidak diperhitungkan oleh pembuat Undang-undang maupun oleh KPU sebagai Penyelenggara Pemilu.

Dengan berbagai persolan yang sudah saya paparkan di atas, bagaimana kita bisa berharap bahwa Pemilu 2009 akan berkualitas. Belum lagi, persoalan-persoalan lain yang terkait dengan Parpol peserta Pemilu.

Namun, kita tidak boleh pesimis. Dengan berbagai persoalan, mari kita support mereka yang terlibat dalam Pemilu agar bisa bekerja dengan baik.

Mukhlis Aminullah, mantan Anggota KPU Bireuen, Aceh.