Senin, 04 Mei 2009

YERUSSALEM DALAM LINTAS SEJARAH

Yerussalem……
Apa yang ada di benak anda bila disebutkan kata di atas…? Saya yakin anda akan menyatakan bahwa itu adalah salah kota terbesar di Israel, negara yang selama ini menjadi teman dekat AS sekaligus menjadi lawan bagi dunia Islam.

Namun pada kesempatan ini saya tidak akan menulis tentang politik dunia yang salah satu masalah pokoknya adalah masalah Israel-Palestina. Saya akan mengajak anda, pembaca, untuk mengingat Yerussalem dalam nuansa Islam, atau tepatnya nuansa sejarah Islam.

Yerussalem adalah kota suci ketiga bagi umat Islam, setelah Mekkah dan Madinah. Di awal perkembangan agama Islam, Yerussalem menempati posisi yang sangat penting. Selama pe riode Mekkah hingga satu tahun pasca hijrah ke Madinah, kota itu sempat menjadi kiblat pertama bagi umat Islam. Setelah itu, Rasulullah SAW memindahkan arah kiblat ke Masjid Haram, di Mekkah. Pertautan Islam dengan Yerussalem juga tercatat dalam lembaran sejarah yang maha penting, yakni peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW. Perjalanan yang dilakukan Rasulullah SAW melalui Isra Mikraj itu sungguh amat istimewa. Sebab, lewat perjalanan itulah Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam untuk menunaikan ibadah shalat.

Allah SWT berfirman;

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS: Al Israa:1).

Yerussalem pun bertambah istimewa, lantaran di kota itulah beberapa Rasul terdahulu menerima wahyu dari Sang Khalik. Syahdan, kali pertama Yerussalem dibangun Nabi Daud AS setelah menguasai kota itu dari ma syarakat Yebusit. Nabi Daud lalu me ngembangkan dan menjadikan Yerussalem sebagai ibu kota kerajaannya.

Tahta kerajaan Nabi Daud lalu digantikan Nabi Sulaiman AS. Di kota itu, Nabi Sulaiman membangun sebuah Haekal atau Harem Syarif (tempat yang mulia) yang lengkap dengan singgasananya. Para ahli sejarah Yahudi menyatakan, Nabi Sulaiman membangun sebuah kuil yang bernama Baitallah.

Haekal atau Baitallah itu menjadi tempat beribadah umat Yahudi pertama yang indah dan megah. Di tengah Haekal itulah terdapat sebuah batu hitam bernama Sakhrah Muqaddasah. Berlandaskan batu itulah, Rasulullah SAW melanjutkan mikraj menghadap Sang pencipta untuk menerima perintah menjalankan shalat.

Pasukan Babilonia menguasai Yerusalem setelah merebutnya dari orang Yahudi. Di bawah kendali dan perintah Raja Babilonia, Nebukadnezar bangunan Haekal dihancurkan. Pada masa itu, Yerusalem terlarang bagi orang Yahudi. Ketika kekuasaan diambil alih Kerajaan Parsi, orang Yahudi kembali bisa memasuki kota itu.

Umat Yahudi pun kembali diizinkan membangun kembali Haekal atau Baitallah yang telah luluh lantak. Bangunan Baitallah yang kedua itu dibangun pada masa kepemimpinan Herodus Yang Agung. Setelah itu, Yerussalem jatuh ke tangan Kerajaan Romawi. Pada masa itu, orang Yahudi melakukan pemberontakan. Lagi-lagi, Haekal atau Baitallah itu diratakan dengan tanah oleh tentara Romawi.

Kaisar Romawi memerintahkan supaya Yerussalem dibangun kembali. Di kota itu dibangun kuil bagi orang Romawi. Orang Yahudi kembali tak diizinkan untuk menjalankan ibadahnya. Bagi Kaisar Constantine dari Kerajaan Bizantium, Yerussalem merupakan tempat yang penting. Constantine menjadikan kota itu sebagai pusat keagamaan Kristen dengan membangun Church of the Holy Sepulcher pada tahun 335 M.

Yerussalem memasuki babak baru ketika tentara Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab mulai melakukan ekspansi pertama. Umar memerintahkan jenderal perang Muslim, Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah bin Jarrah untuk menaklukan kepongahan Kerajaan Bizantium. Pada 638 M, Yerussalem dapat ditaklukkan tentara Muslim beserta kota-kota lainnya seperti Mesir, Suriah, Damaskus hingga Maroko.

Secara pribadi, Umar bin Khattab datang langsung ke Yerussalem untuk menerima penyerahan kota itu kepada kekhalifahan Islam. Awalnya, Umar ditawari untuk bersembahyang di dalam Church of the Holy Sepulcher, namun Umar menolak dan meminta supaya dibawa ke Masjidil Aqsa Al Haram Al Sharif.

Umar mendapati tempat itu dalam kondisi kotor. Ia lalu memerintahkan agar tempat itu dibersihkan. Khalifah pun membangun sebuah masjid kayu di tempat yang sekarang merupakan kompleks bangunan Masjid Al-Aqsa. Setelah itu, pemerintahan Umar membangun Kubah Sakhrah atau yang kemudian dikenal sebagai Kubah Umar.

Di bawah kepemimpinan Umar, kebebasan menjalankan ibadah dihormati. Toleransi antar umat beragama begitu harmonis. Setiap pemeluk agama bisa menjalankan ibadahnya sesuai agama dan keyakinannya secara tenang dan aman. Tak heran, jika kepala rahib Yerusalem amat berterima kasih kepada tentara Islam yang telah membebaskan mereka dari penindasan Bizantium.

Kota perang

Di bawah kekuasaan Islam, Yerusalem tumbuh begitu pesat. Selain di era Khulafa Ar-Rasyidin, pada masa pemerintahan kerajaan Ummaiyyah (650-750) dan kerajaan Abbasiyyah (750-969), kota Yerusalem berkembang. Banyak orang berpendapat bahwa Yerusalem pada ketika itu merupakan tanah yang paling subur di Palestina.

Sayangnya kerukunan umat beragama di kota tiga agama, Islam, Kristen, dan Yahudi itu akhirnya retak. Saat Al- Hakim Amr Allah, seorang khalifah kerajaan Fatimiyyah berkuasa, Gereja Jirat Suci dihancurkan. Konon, kebijakan khalifah inilah yang menjadi salah satu pemantik terjadinya Perang Salib. Yerussalem akhirnya ditaklukkan tentara Perang Salib pada tahun 1099 M dari kekuasaan Khalifah Al-Musta’li.

Umat Islam, Yahudi, dan bahkan Kristen pun dibantai tentara Perang Salib. Tentara Perang Salib ternyata tak bisa membedakan orang Kristen yang tinggal di Yerussalem. Di Yerussalem pun lalu munculah kerajaan Kristen pertama dan Godfrey menjadi raja perdananya. Umat Islam kembali berhasil merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M di bawah komando pahlawan perang Islam, Salahuddin Al-Ayubi.

Kedamaian kembali tercipta di tanah Yerussalem. Tak ada pembantaian dan semua umat beragama bebas menjalankan keyakinannya. Namun pada tahun 1243, Yerussalem jatuh kembali ke tangan tentara Salib. Pada tahun 1517, Yerussalem kembali dikuasai Kerajaan Turki Utsmaniyyah. Yerussalem akhirnya terlepas dari genggaman kekuasaan umat Islam setelah Turki kalah dalam Perang Dunia I.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan di Yerussalem

Sebelum Perang Salib meletus, Yerussalem berada da lam masa kejayaan. Kota itu menjelma menjadi pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan. Tak heran, bila di Yerussalem tersebar begitu banyak madrasah yang melahirkan sederet ilmuwan Muslim terkemuka. Sayang, kemakmuran dan kemajuan itu sirna begitu saja, setelah tentara Perang Salib menghancurkan dan membunuhi penduduk kota suci itu.

Seorang pelancong Muslim, Nasruddin Khusraw pada tahun 1047 M sempat bertandang ke Yerussalem. Ia mencatat, Yerussalem telah mencapai kemajuan beberapa dekade sebelum berkecamuk nya Perang Salib. Menurut Nasruddin, pada era itu Yerussalem begitu makmur. Harga barang-barang begitu murah. Kotanya juga begitu indah berhiaskan pasar nan cantik dan gedung-gedung yang tinggi.

Menurut Nasruddin, Yerussalem sudah memiliki sederet seniman dan setiap hasil karyanya memiliki pasar tersendiri. Jumlah penduduk kota itu pun terbilang begitu besar. Satu hal yang membuat Nasruddin terkagum- kagum, di kota itu ternyata sudah berdiri rumah sakit (RS) yang besar. RS yang dikelola dengan dana wakaf, menggratiskan biaya pengobatan pasien dan membayar dokter dengan gaji yang besar.

Nasruddin juga menuturkan, di kota itu juga berdiri asrama-asrama bagi para Sufi tinggal dan beribadah. Pada era keemasan Islam di Yerusalem, masjid tak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah, namun juga tempat mengembangkan ilmu pengetahun dan kebudayaan Islam. Di sekitar Masjid Al- Aqsa berdiri sejumlah madrasah tempat para pelajar menuntut ilmu.

Beberapa madrasah yang ber diri di Yerussalem itu antara lain, Madrasah Farisiya yang dibangun Emir Faresuddin Albky. Selain itu ada pula Madrasah Nahriye, Nassiriya, Qataniya, Fakriya, Ba la diya dan Tankeziya. Sejumlah wanita asal Turki berada di belakang pembangunan madrasah-madrasah yang berada di sekitar Al-Aqsa.

Menjamurnya madrasah di se kitar Al-Aqsa menandakan aktivitas perkembangan ilmu pengetahuan begitu menggeliat di Yerussalem pada masa kejayaan Islam. Pada abad ke-11 M, di bawah kekuasaan Dinasti Seljuk beragam aktivitas kebudayaan berkembang di Yerussalem. Sejumlah sarjana dari Barat dan Timur bertandang dan menetap di kota ini. Mereka ikut ambil bagian untuk memperkaya kehidupan kebudayaan.

Beberapa ilmuwan yang ikut mengembangkan aktivitas kebudayaan dan ilmu pengetahuan itu antara lain; Sha’afiite Nasir bin Ibrahim Al-Maqdisi (1096) yag mengajar di madrasah Nassriyya; Ata al-Maqdisi (Abu’l Fadl); serta Al-Rumali. Abu’l Farradj Abd Al- Waheed juga ber mukim di Yerussalem untuk menyebarkan Madzhab Hanbali di Yerussalem. Dia menulis Kitab al- Djawaher yakni tafsir Alquran.

Selain itu, beberapa ulamalainnya yang tinggal di Yerusalem seperti Abu Fath Nasr, pengarang sejumlah karya. Abu’l Maaly Al-Mucharraf merupakan ilmuwan besar Yerussalem yang menulis kitab Fadail al-Bayt Al-muqaddas wa Asakh ra. Kitab itu mengupas tentang kota beserta sejarahnya. Ulama sekaligus ilmuwan Muslim tersohor, Al-Ghazali (lahir 1058) juga bermukim di kota ini.

Kubah Batu, Saksi Kejayaan Islam

Masjid berkubah pertama itu berada di tengah kompleks Al-Haram asy-Syarif yang terletak di sebelah timur di dalam Kota Lama Yerussalem (Baitul Maq dis). Masjid itu berkubah keemasan. Sedangkan Masjid Al-Aqsa yang berkubah biru berada pada sisi tenggara Al-Haram asy-Syarif menghadap arah kiblat (kota Mekkah).

Adalah Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang memprakarsai pembangunan Kubah Batu pada tahun 66 H/685 M dan selesai tahun 72 H/691 M. Pembangunan masjid itu sepenuhnya dikerjakan dua orang arsitek Muslim yakni Raja’ bin Hayat dari Bitsan dan Yazid bin Salam dari Yerusalem. Keduanya dari Palestina.

Bangunan Kubah Batu terdiri dari tiga tingkatan. Tingkatan pertama dan kedua tingginya mencapai 35,3 meter. Secara keseluruhan, tinggi masjid itu mencapai 39,3 meter. Keadaan ruang di dalamnya terdiri tiga koridor yang sejajar melingkari batu (sakhrah). Koridor bagian dalam merupakan lantai thawaf yang langsung mengelilingi batu seperti tempat thawaf di Masjidil Haram.

Bentuk kubahnya banyak di pengaruhi arsitektur Bizantium. Sejarawan Al-Maqdisi menuturkan bahwa biaya pembangunan masjid itu mencapai 100 ribu koin emas dinar. Di dalam masjid itu terdapat batu atau sakhrah berukuran 56 x 42 kaki. Di bawah sakhrah terdapat gua segi empat yang luasnya 4,5 meter x 4,5 meter dan tingginya 1,5 meter.

Di batu tersebut Nabi Muhammad SAW melakukan mikraj dan sebagai saksi peristiwa tersebut maka dibangunlah Kubah Sakhrah di atasnya. Menurut literatur Islam, nilai kesucian sakhrah sama dengan Hajar Aswad (batu hitam). Di dalamnya dipenuhi ukiran-ukiran model Bizantium. Selain itu juga terdapat mihrab-mihrab besar yang jumlahnya mencapai 13 buah.

Wallahu’alam

Mukhlis Aminullah, peminat sejarah Islam