Sabtu, 23 Mei 2009

RENUNGAN DIRI

Tanpa terasa umur kita setiap detik bertambah, dan tentu saja usia dan kesempatan makin berkurang. Hari-hari terlewati seakan biasa saja, padahal kalau kita sadar memaknai, hari-hari kita merupakan kesempatan yang diberikan oleh Allah SWT untuk beribadat kepadaNya. Sesungguhnya manusia selalu berada dalam kerugian, kecuali bagi orang-orang yang beriman dan beramal sholeh.


Begitulah hidup. Tanpa kita sadari, kita semakin tua. Kita melewati masa demi masa seakan begitu singkatnya. Saya masih bisa membayangkan masa kecil yang penuh warna di kampung saya, Leubu. Beranjak remaja, saya tumbuh di lingkungan yang baik. Alhamdulillah, pertama sekali saya harus berterima kasih kepada orangtua, yang telah menjaga anak sulungnya dengan baik. Kedua, saya harus berterima kasih pada alam, pada zaman dan pada kemajuan. Dengan perkembangan zaman saat itu, saya tidak tau apa itu narkoba, tidak kenal cimeng, dan sebagainya. Ketika saya bisa melewati masa remaja, sekali lagi saya harus bersyukur. Sebuah episode, memimpin diri sendiri sudah saya lewati, walau banyak kekurangan didalamnya.


Selanjutnya, perjalanan saya melayari hari demi hari penuh dengan cerita. Saya jadi mahasiswa, merantau, kemudian bekerja diluar daerah. Tibalah saatnya. Saya harus mengambil keputusan; melanjutkan perjalanan seorang diri atau memutuskan untuk menjadi seorang lelaki.

Tahun 1999 saya memutuskan; saatnya meningkatkan tanggung jawab dari sekedar memimpin diri sendiri untuk menjadi pemimpin orang lain yaitu berkeluarga.


Sepuluh tahun berlalu, bermacam cerita sudah tertoreh dalam sanubari. Sekarang adalah masa-masa yang genting. Anak sulung, Ananda Fildza Alifa, beranjak besar. Saya yakin, berlalunya waktu demi waktu yang tanpa terasa, dia akan menjadi seorang dara. Kami harus bisa mendidiknya menjadi dara puspita, yang baik akhlaknya dan berbudi mulia. Bukan pekerjaan mudah, karena zaman tidak bersahabat dengan cita-cita.


Begitulah, saya sudah melewati separuh perjalanan. Kita tidak mengetahui rahasia masa depan. Kita sebagai hambaNya diwajibkan untuk selalu mengingat bahwa hidup adalah pinjaman, yang tentu saja akan diminta kembali olehNya.

Sebelum masa itu tiba, mari gunakan pinjaman sebagai modal yang sebaik-baiknya.


Mudah-mudahan kita panjang umur, hingga bisa melanjutkan separuh perjalanan lagi.


Mukhlis Aminullah, sebuah renungan diri.


NINABOBO

Saya melewati hari-hari yang agak “malas” pada seminggu terakhir. Malas menulis, malas membaca dan malas bergaul. Untungnya “malas” itu tidak nyerempet ke hal-hal lain, misalnya malas makan (yang membuat saya akan terkena maag), malas mandi (yang membuat orang sekeliling tutup hidung karena saya bau), dan sebagainya. Alhamdulillah, saya tidak pernah malas shalat…!!


Namun pada masa-masa “malas” tersebut saya mempunyai cerita menarik (setidaknya bagi saya pribadi). Postingan saya dengan judul SAJAK BIRU, sekitar bulan Maret 2009, telah membawa saya bisa berhubungan langsung dengan sang pengarangnya, Mohd Adid Ab Rahman, yang ternyata kini adalah salah seorang penyair yang produktif di Malaysia.


Secara singkat ingin saya sampaikan bahwa, secara kebetulan beliau membaca tulisan tentang sajak itu di blog saya, kemudian dengan tulus ikhlas beliau mengirimkan email kepada saya. Tidak menunggu lama, saya langsung membalas email dari beliau. Tentulah sangat gembira hati saya, bisa berhubungan dengan penyair yang telah membantu saya “menambat utuh perahu di pelabuhan”…….

Selain fakta “sejarah” tentang perahu itu, tentu saja suatu kebanggaan bisa bersilaturrahim dengan seorang penyair Malaysia.

Mudah-mudahan silaturrahim yang terjalin via email dengan beliau, akan berlanjut dengan sebuah pertemuan, kelak. Walaupun beliau berada dinegeri seberang, namun tentu bukan halangan. Konon lagi; bagi orang Aceh, Malaysia khususnya bangsa Melayu seperti sebuah keluarga saja.

Pada kesempatan ini, saya akan memposting sebuah puisi singkat beliau yang ditulis pada tahun 1990-an (kalau tidak salah) dan sudah pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia.


NINABOBO


Duka bulan

Duka gunung

Duka hutan

Duka kota

Duka laut

Duka puisi

Duka rasa

Duka pribadi

Duka sungai

Duka peradaban

Tidurlah

Senyenyak-nyenyaknya…!


Karya; Mohd Adid Ab Rahman


Mohon maaf untuk kanda Adid, saya posting ini untuk kenang-kenangan ulang tahun keponakan saya yang berumur 2 tahun.


Mukhlis Aminullah, penikmat sastra, berdomisili di Bireuen.

KISAH ISLAM-NYA DAWUD ABDUL HAKIM

Kisah ini disampaikan oleh seorang mantan Mahasiswa Universitas New York. Dahulunya dia bernama David Hunsicker. Kepalanya nyaris gundul, selalu membawa tasbih, mengenakan celana jeans belel dan kemeja flanel seperti penebang pohon, dan duduk santai di kursinya.

Dia berkata bahwa orang tuanya "menganggap Islam sebagai agamanya orang kulit hitam" karena kesan yang mereka dapatkan dari Farrakhan dan Malcolm X di masa lalu. Maka ketika saya memutuskan ingin menjadi seorang Muslim mereka tidak mengerti bagaimana saya bisa begitu. Jika saya pergi ke masjid, ibu saya berkata, "Jadi kamu satu-satunya orang kulit putih disana?" [Tertawa]

Dawud mencoba beberapa agama sebelum memutuskan memeluk agama Islam. Kunjungannya ke Turki dalam pertukaran pelajar mempercepat keputusannya.

Berikut ini adalah kisahnya……semoga menjadi pemicu semangat kita untuk mempertahankan iman kita sampai titik darah penghabisan…………………………..

Saya dilahirkan di Allentown, Pennsylvania, 23 Oktober 1971. Saya tinggal di sebuah desa di daerah pinggiran. Germansville. Dapat saya katakan bahwa sekarang 80 persen penduduknya adalah orang Belanda Pennsylvania dan setiap orang mempunyai nenek moyang Jerman.

Mungkin ada sekitar 500 orang di kota itu, berpencar di tempat yang luas. Sampai umur lima tahun saya tinggal di pertanian keluarga. Setelah itu kami pindah seperempat mil jauhnya dari tempat itu dan mendirikan rumah kami sendiri di atas tanah yang dahulunya sebuah ladang. Seorang tua di sekitar tempat itu selalu menyesali ayah saya mengapa dia membangun rumah di tanah perkebunan kentang yang tersubur di daerah itu.

Yang membuat saya mengambil keputusan ikut dalam pertukaran pelajar adalah karena saya bukan seorang Amerika yang patriotik. Saya tidak percaya pada Mimpi Amerika. Saya pikir saya tidak akan pernah mempercayainya. Saya mencari tempat lain yang dapat saya sebut rumah dan saya mulai mencari agama yang lain.

Saya mempelajari agama Buddha. Tampaknya tak ada yang memuaskan saya. Saya mencari sesuatu semacam naskah guru yang suci. Saya membeli sebuah terjemahan Al-Quran. Ketika sedang membaca seluruh isinya, saya terhenyak. Buku itu berbicara pada saya. Buku itu mengatakan pada saya bahwa saya harus menjadi seorang Muslim. Saya tak dapat melihat jalan yang lain kecuali menjadi seorang Muslim. Al-Quran itu menjelaskan segala sesuatunya kepada saya. Saya mengenali kebenaran.

Saya mengumumkan diri saya kepada orang-orang di sekitar saya bahwa saya seorang Muslim. Itu sebelum saya mengucapkan kalimat syahadat. Saya tidak pernah berjumpa dengan seorang Muslim. Saya hanya merasa bahwa saya seorang Muslim.

Saya berusaha untuk mendapatkan lebih banyak buku. Pada saat saya ingin menjadi seorang Muslim dan ingin pergi ke Jerman karena itu merupakan tanah air suku saya, pada saat itu pula saya mengetahui bahwa banyak suku Turki di Jerman yang merupakan orang Muslim. Saya berharap dapat berjumpa dengan mereka dan mereka mau mengajarkan pada saya lebih jauh tentang Islam. Turki merupakan satu-satunya negara Islam yang ditawarkan dalam program pertukaran pelajar itu. Turki merupakan pilihan kedelapan saya dalam daftar tersebut. Secara kebetulan saya dikirim ke sana.

Ketika sampai di Turki saya mendapatkan banyak buku. Orang Muslim tersebar di sekeliling saya. Saya dapat mendengar suara azan lima kali sehari. Maka saya semakin matang sebagai Muslim. Saya berada di sana selama setahun.

Kebanyakan orang Turki tidak mau berpikir dua kali mengenai agama Islam. Banyak di antara mereka justru menyatakan diri ateis, "Oh, kami tidak mempercayai hal itu. Kami terlalu baik untuk itu. Kami ingin menjadi orang Barat. Kami ingin menjadi seperti orang Eropa." Mereka mengabaikan Islam. Tetapi saya masih mempunyai beberapa teman Muslim yang saleh. Saya terjebak di antara teman-teman yang ateis karena mereka menginginkan gaya hidup Amerika. Agar tidak terserang rindu tanah air, saya cenderung untuk lebih sering bersama orang-orang ateis itu. Tetapi teman-teman Muslim lain berkata, "Nah, Anda harus mulai mengikuti shalat Jumat." Saya mulai mencoba melaksanakannya. Mereka membantu saya mempelajari cara melakukan shalat.

Saat pertama saya menghadiri shalat Jumat adalah pada malam Mi'raj. Saya bersama keluarga [tuan rumah] saya dan kami sedang berpuasa.

Di Istambul terdapat banyak tempat suci. Kami mengunjungi salah satunya. Saya tidak tahu siapa yang dikuburkan di sana. Orang asing tak diizinkan masuk. Kami berdoa di makam itu. Waktu itu hari Jumat. Saya sangat gelisah karena saya takut melakukan kesalahan. Ada seorang anak Turki bersama kami. Saya pikir dia tidak pernah menghadiri acara berdoa itu sebelumnya. Kami berdua tersesat. Saya ingat saya duduk di sana, mencoba menghayati makna upacara itu. Saya ikuti semua gerakan sebaik mungkin.

Pada 1988 saya berkumpul bersama beberapa darwis Mawlawi. Mawlawi adalah anggota kelompok Whirling Dervishes yang termasyhur di Turki. Menyaksikan mereka memberi perasaan spiritual pada saya. Saya memutuskan ingin menjadi seorang darwis. Saya tidak ingin menjadi Muslim semata. Kebetulan seorang bibi di keluarga tuan rumah saya ternyata anggota tarekat Mawlawi ini. Tarekat Mawlawi diperbolehkan melakukan pertemuan secara bebas. Tetapi seluruh kelompok darwis dilarang di Turki. Karena itu mereka mengadakan pertemuan rahasia kecil di Istambul.

Bibi membawa saya ke pertemuan itu dan mengantarkan saya pada syaikh mereka. Mereka melakukan tarian berputar itu sebentar kemudian berzikir. Syaikh bertanya pada saya, "Anda ingin menjadi darwis?" Saya jawab, "Ya," dan dia menyahut, "Anda sudah mengucapkan syahadat?" "Belum," jawab saya. Lantas dia membimbing saya membaca syahadat dan menerima saya masuk tarekat tersebut.

Upacara penerimaan itu dilakukan secara simbolis. Saya harus mencium pangkuan dan tangannya. Saya mengenakan topi kerucut. Saya tundukkan kepada saya ke lututnya, dan dia meletakkan tangannya di kepala saya, dan menyampaikan doa untuk saya. Saya berlutut sementara dia duduk di sebuah kursi.

Itulah tahap pertama untuk menjadi anggota Mawlawi. Saya mencoba tarian berputar itu di rumah tapi tidak benar-benar menghayatinya.

Saya bersyukur bahwa saya tidak pernah lagi pergi ke pertemuan itu karena sekarang saya berpendapat Sufisme bukanlah Islam yang benar. Sebaliknya saya senang mendapatkan teman-teman Muslim yang lebih baik di sekolah, Muslim-muslim tradisional, Muslim-muslim Sunni. Mereka mengajarkan lebih banyak daripada yang dapat diajarkan kaum Mawlawi itu, karena banyak anggota Mawlawi yang tidak shalat lima kali sehari. Kebanyakan mereka lebih Mawlawi daripada Muslim.

Di sekolah setiap hari Jumat kami harus menyelinap diam-diam untuk melaksanakan shalat Jumat, karena sebenarnya kami tidak dibolehkan pergi ke luar sekolah untuk melaksanakannya. Tetapi dulu pernah ada seorang pimpinan sekolah yang simpatik terhadap kaum Muslimin. Dia tidak bisa meninggalkan sekolah untuk menunaikan shalat Jumat, tapi membolehkan kami pergi. Dia membuat catatan kecil dalam bahasa Arab yang berbunyi, "Orang-orang ini boleh keluar gerbang dan pergi shalat Jumat." Kami memberikannya pada penjaga pintu yang bisa membaca tulisan Arab. Dia pun berkata, "Oke, kalian boleh keluar, kalian boleh pergi shalat Jumat."

Satu setengah blok dari sekolah itu ada sebuah masjid. Tetapi kadang-kadang kepala sekolah itu berkata, "Saya mohon maaf, banyak yang keberatan. Saya tidak bisa mengizinkan kalian keluar minggu ini." Jadi kami pun pergi ke belakang sekolah, memanjat pagar dan melompat keluar, supaya kami bisa menunaikan shalat Jumat.

Saya tidak mengerti, tapi rasanya pengalaman itu seperti pengalaman spiritual. Saya menikmatinya. Saya melakukannya setiap minggu. Dalam hal tertentu, apa yang saya kerjakan ini membuat keluarga tuan rumah saya kembali ke akar mereka. Ayah angkat saya sering meninggalkan shalat, tetapi ketika saya datang dan menyatakan ingin menjadi seorang Muslim, dia jadi rajin shalat. Saya pikir pernyataan saya membuat dia merasa malu.

Di bulan Ramadhan kami melakukan shalat fajar berjamaah. Terkadang ibu juga ikut. Mereka mempunyai banyak tikar sembahyang. Tikar-tikar itu digelar di ruang tengah.

Sekitar dua minggu setelah saya mengucapkan syahadat bersama Mawlawi itu, saya pergi ke mufti masjid di dekat tempat kerja ayah angkat saya dan kembali mengucapkan syahadat di sana. Saya ingin meresmikannya. Saya ingin ada sebuah dokumen tertulis yang menyatakan bahwa saya seorang Muslim. Saya tidak memperolehnya karena saya masih di bawah umur untuk pindah agama. Dia bicara dalam bahasa Turki, saya tidak mengerti.

Suatu hari saya dan seorang teman sekolah pergi ke sebuah masjid besar. Saat itu sudah waktu ashar. Kota ini berpenduduk 8 juta jiwa, hanya sepuluh orang yang ikut shalat di masjid yang begitu bersejarah itu. Ini menakjubkan bagi saya. Masjid itu dibangun oleh sultan yang dinyatakan sebagai khalifah, makamnya ada di sebelah masjid itu, tapi tak ada seorang pun di sana. Maksud saya, orang-orang hanya datang untuk melihat-lihat dan ada turis di mana-mana, tapi tak seorang pun yang shalat berjamaah. Saya ikut shalat berjamaah. Saya katakan pada teman saya setelah itu, ini menyedihkan sekali karena tak ada orang yang hadir di sana. Pada kesempatan lain saya bertemu dengan teman yang sama di Masjid Biru. Waktu itu hari Sabtu siang, saat shalat zuhur. Masjid besar itu penuh manusia. Menyenangkan sekali. Masjid itu besar dan megah. Berhiaskan arabesk berwarna biru terang. Tiang-tiangnya raksasa.

Orang-tua saya datang pada tiga minggu terakhir saya di sana.

Mereka harus melihat apa-apa yang saya ceritakan lewat surat, dan mereka harus belajar sedikit banyak tentang Islam karena di surat saya katakan, "Hai, sekarang saya seorang Muslim."

Bahkan sebelum saya ke Turki, ketika saya menyatakan diri seorang Muslim, ibu saya berkata, "Selama engkau menyembah Tuhan yang sama dengan yang kami sembah, saya tidak melarang apa pun yang kau lakukan." Begitulah sampai saat ini.

***

Ketika saya berada di Turki, semua orang adalah orang Turki --semua serba seragam. Tetapi ketika tiba di New York dan pergi ke sebuah masjid, sangat menakjubkan untuk menyaksikan berbagai suku dan kebangsaan yang berlainan berkumpul bersama. Saya tumbuh di masyarakat pedesaan. Seperti yang saya katakan, tak ada orang kulit hitam dalam masyarakat saya, tidak ada orang Asia. Islam benar-benar mendewasakan saya dalam masalah ini.

Ketika saya kembali [dari Turki], saya melanjutkan sekolah SMA. Saya telah memilih nama depan saya, saya mengubahnya dari David menjadi Davud, tetapi saya tidak memberitahu orang-orang, karena mereka telah mengenal saya sebagai David selama hidup saya. Beberapa orang mengira itu hanya bentuk lain dari nama lama saya. Tetapi orang-orang yang mengenal saya dengan baik mengetahui bahwa saya seorang Muslim dan cukup mengerti apa arti perubahan nama itu.

Saya baru memasuki usia enam belas dan baru belajar menyetir. Saya tahu ada sebuah masjid golongan Syi'ah di sekitar sini, tetapi saya mempunyai prasangka terhadap orang-orang Syi'ah. Saya tidak ingin pergi ke sana. Saya tidak tahu tentang masjid yang lain karena masjid-masjid itu terdaftar di buku telepon di bawah judul "organisasi keagamaan", bukan di bawah "gereja Islam" seperti masjid Syi'ah itu.

Ironisnya, ada seorang Muslim terkemuka dari Allentown tewas dalam kecelakaan, dan surat kabar menyebutkan di mana penguburannya akan dilangsungkan, di sebuah masjid. Saya berkata, "Wouw di manakah ini?" Saya tidak tahu letak tempat tersebut.

Dua minggu sesudah itu saya pergi melakukan shalat Jumat saya yang pertama. Saya mengenakan pakaian Islam, pakaian Islam Turki --celana lebar, dengan pasak rendah. Saya menambahkan ikat kepala pada peci saya. Saya masuk dan bertanya di mana saya dapat mengambil air wudhu, dan mereka menunjukkan tempatnya. Lalu saya duduk dan mengikuti shalat Jumat. Tak lama kemudian orang-orang datang menghampiri saya dan berkata, Hai, saya fulan dan fulan; senang berjumpa Anda, dan persahabatan terjalin dari sana.

Saya ingin mempelajari ilmu hukum Islam dan menjadi seorang faqih. Itulah cita-cita saya, insyaallah. Itulah sebabnya saya ingin belajar bahasa Arab-agar saya mempunyai alat untuk mempelajari hukum Islam. Saya telah mendaftar di American University di Kairo, yang merupakan universitas Amerika yang diakui. Mereka mengkhususkan pada studi Arab dan Timur Tengah. Saya sedang menanti surat pemberitahuan penerimaan. Jika diterima, saya pasti pergi.

Mukhlis Aminullah, sumber Buku Jihad Gaya Amerika, Islam setelah Malcolm X (Steven Barbosa)

KAREEM ABDUL JABBAR; LOMPATAN IMAN

Dengan tinggi badan 86 inci, dia sering kesulitan melalui pintu masuk. Untuk memandang wajahnya Anda harus mendongak seperti melihat ke puncak pohon. Dan jika dia duduk, kita dapat membayangkan seolah-olah dia berada di ruang kelas satu dengan meja dan kursi yang mungil.

Abdul-Jabbar adalah pemain basket terbesar dalam sejarah, enam kali meraih predikat NBA Most Valuable Player, mengikuti 1.525 pertandingan NBA, dan mencatat 38.028 poin. Dialah pemilik apa yang dikatakan Bill Russell sebagai "hal yang paling indah dalam olah raga" --sky hook.

Sebagai seorang kutu buku dari Harlem, dia memimpin tim sekolahnya, Power Memorial, mendapatkan 71 kemenangan langsung, kemudian membawa UCLA merebut 88 kemenangan dari 90 pertandingan, dan memperoleh tiga gelar nasional. Dia begitu pandai, dan begitu tinggi, sehingga NCAA seringkali mengubah peraturannya untuk menyatakan pemasukan bolanya tidak sah.

Salah satu move terpenting yang dibuatnya terjadi di luar lapangan: memeluk agama Islam. Terjemahan namanya adalah "Hamba Allah yang Baik Hati dan Kuat."

Ada sebuah pusat kebudayaan Afrika di Harlem, kaum Muslimin menempati lantai lima gedung itu. Saya pergi ke sana, dengan mengenakan jubah Afrika yang berwarna-warni. Seorang pemuda berkata, "Anda tidak membutuhkan tempat ini." Saya jelaskan, "Saya ingin menjadi seorang Muslim." Saya mengucapkan dua kalimat syahadat. Kami melakukan shalat Jumat bersama-sama ...

Ada seorang teman saya bernama Hamaas. Saya pernah belajar Islam darinya. Dia adalah mantan drummer jazz. Ayah saya mengenalnya. Dia sebenarnya telah memulai dengan baik. Hamaas diberi pelajaran tentang Islam oleh seorang laki-laki dari

Bangladesh yang merupakan pengikut ilmu kebatinan. Banyak sekali orang-orang yang bersifat esoteris dari daerah India. Mereka mengetahui beberapa hal yang tidak mudah untuk dijelaskan. Saya pikir Hamaas masuk ke kelompok mereka.

Seiring dengan berjalannya waktu, dia menjadi yakin bahwa kebanyakan orang yang berusaha mengajar orang Amerika menjadi Muslim itu munafik. Menurut Hamaas mereka sebenarnya tidak berhak mengajarkan apa pun kepada orang Muslim Amerika. Dia ingin kami mempelajari Islam dan tidak terjebak dalam memuja orang Arab. Banyak rekan-rekan Amerika, karena tidak memiliki identitas apa pun, akhirnya memakai identitas orang yang mengajarkan Islam pada mereka. Kami tidak memiliki ikatan yang diperoleh turun-temurun dari generasi ke generasi. Kami tidak memiliki fondasi ekonomi serta kepandaian berkomunikasi seperti yang dimiliki oleh orang Muslim dari Timur. Struktur keluarga kami telah hancur.

Hamaas sangat membenci bangsa Arab dan orang-orang yang bersikap superior, yang ingin mengajarkan rekan-rekannya di Amerika bagaimana menjadi seorang Muslim. Ini adalah sesuatu yang harus diwaspadai. Beberapa orang dari Selatan pergi ke luar negeri. Mereka belajar sedikit tentang orang dan bahasa Arab, kembali ke Amerika, dan berkata bahwa dia adalah tokoh mesianik dari Sudan, kemudian mengadakan sebuah jamat di Brooklyn --padahal orang itu berasal dari Selatan!

Tetapi sejalan dengan itu, Hamaas terjerumus ke dalam kultus pribadi. Ini tidak baik. Saya tidak banyak menjelaskan seberapa buruknya hal itu dalam buku saya, sebab saya tidak ingin terlibat di dalamnya. Mereka dengan gampang melakukan kekerasan. Anda lihat apa yang terjadi di Washington pada 1977. Saya ingin menjauhkan diri dari mereka.

Hamaas Abdul-Khaalis, sebelumnya adalah seorang pejabat tinggi di Nation of Islam, menjadi orang yang terang-terangan menampakkan kebencian terhadap Islam versi Elijah Mtthammad. Hamaas mencela Elijah sebagai nabi palsu dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada para pengikutnya. Orang-orang dari kuil Philadelphia melakukan pembalasan. Mereka memasuki rumah Hamaas ketika dia sedang pergi dan menembak kepala istrinya enam kali. Mereka juga menembak putrinya (berhasil diselamatkan), dan menenggelamkan tiga dari enam anaknya yang lain, serta cucu perempuannya yang baru berumur sembilan hari.

Beberapa tahun kemudian, Hamaas dan pengikutnya mengambil alih Gedung Balaikota Washington, D.C., Islamic Center, dan markas besar B'nai B'rith. Dengan menawan beberapa sandera, dia menuntut agar film Mohammad, Messenger of God (yang melukai perasaan religiusnya) diturunkan dari gedung-gedung bioskop dan orang-orang yang dituduh membunuh anggota keluarganya, dan orang-orang yang dituduh membunuh Malcolm X, agar diserahkan kepadanya. Seorang wartawan yang berusia dua puluh empat tahun terbunuh dalam baku tembak dengan polisi. Hamaas akhirnya menyerah setelah para duta besar dari Mesir, Iran, dan Pakistan duduk dengannya untuk membaca dan mendiskusikan Al-Quran.

Mental saya lemah, karena cara saya dibesarkan membuat saya mudah tunduk pada orang-orang yang berkepribadian kuat dan sangat berkuasa. Orang-tua saya selalu bilang, Engkau harus mendengar kata-kata pengasuhmu, engkau harus menurut pada pelatihmu, dan engkau harus menurut pada gurumu. Dan sekarang ada orang yang benar-benar tertarik pada orang yang ingin memahami apakah Islam yang sebenarnya. Saya belajar padanya. Saya sangat beruntung karena dia tidak mengejar uang saya.

Mungkinkah dia bisa memeras Anda dan mendapatkan apa yang dia inginkan?

Mungkin. Ketika suasana menjadi semakin buruk dan mereka perlu uang untuk mengeluarkan orang-orang dari penjara dan membayar para pengacara, mereka berbuat hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi sampai saat ini, mereka belum pernah benar-benar berhasil memeras saya.

Syahadat saya yang pertama sebenarnya sudah cukup. Anda menyatakan bahwa Anda percaya pada Allah di hadapan para saksi. Itu cukup.

Tetapi Hamaas mengharuskan kami mempelajari lima kalimat, mencukur rambut kami, mencukur bulu ketiak dan bagian bawah kami. Itu tradisi dari Bangladesh. Masalah itu memang disebutkan di beberapa hadis, tetapi dia mempunyai beberapa hadis yang direkayasa manusia.

Saya beralih ke sumber segala ilmu. Saya mempelajari bahasa Arab. Saya mulai membaca Al-Quran dalam bahasa Arab. Saya dapat menerjemahkannya dengan bantuan kamus. Untuk menerjemahkan tiga kalimat saya membutuhkan waktu sepuluh jam tetapi saya memahami apa yang dimaksudkan secara gramatikal.

Pada musim panas berikutnya saya pergi ke Libya dan Arab Saudi. Saya belajar berbicara bahasa Arab dan sedikit lebih mendalaminya. Itu terjadi pada 1973. Pada musim dingin di tahun itulah pembunuhan itu terjadi.

Saya sedang bermain [basket]. Saya mendapat telepon dari salah seorang rekan di D.C. Dia berbisik. Saya berkata, "Apa yang terjadi?"

Saya benar-benar terkejut dan tidak percaya. Saya tidak dapat mengerti mengapa orang tega membunuh anak-anak. Perbuatan gila. Ketakutan melanda keluarga saya. Ketakutan melanda orang-orang di D.C.

Saya pergi ke D.C. dan membantu penguburan, lalu menghabiskan empat sampai enam minggu berjalan-jalan dengan perlindungan FBI.

Kemudian mereka menangkap orang-orang yang melakukan hal itu.

Saya pikir Hamaas terserang paranoia. Pada saat itu saya pikir dia pasti akan meninggalkan rumahnya di D.C. untuk beberapa tahun berikutnya.

Saya tidak ingin melakukan apa yang dilakukan Muhammad Ali. Dia mengumumkan secara terbuka kepindahan agamanya. Itu bisa ditafsirkan sebagai pernyataan politik, pernyataan menentang perang, dan pernyataan rasial. Saya hanya akan

menguatkan identitas saya sebagai orang Afro-Amerika dan sebagai seorang Muslim. Saya tidak akan menggunakan nama Alcindor. Secara literal itu adalah nama budak. Ada seorang laki-laki bernama Alcindor yang membawa keluarga saya dari Afrika Barat ke kepulauan Dominika. Dari sana mereka pergi ke kepulauan Trinidad, sebagai budak, dan mereka mempertahankan namanya. Mereka adalah budak-budak Alcindor. Jadi Alcindor adalah nama penyalur budak. Ayah saya melacak hal ini di tempat penyimpanan arsip.

Ketika pertama kali mengucapkan kalimat syahadat, mereka memanggil saya dengan Abdul Kareem. Hamaas berkata, Anda lebih tepat sebagai Abdul-Jabbar.

Allah memberkati saya dengan memberikan kekuatan yang besar pada saya. Itu benar. Saya harus mensyukurinya, saya tidak ingin keadaan itu membuat saya sombong.

Orang-orang tampaknya menyukai hal itu. Orang-tua saya sedikit gelisah menanggapinya. Tetapi mereka tahu saya bersungguh-sungguh. Saya pindah agama bukan untuk ketenaran. Saya sudah menjadi diri saya sendiri, dan melakukan itu dengan cara saya sendiri, apa pun konsekuensinya.

Saya tidak pernah berhasil menegakkan disiplin untuk shalat lima kali setiap hari. Saya banyak berada di luar dan banyak urusan. Terutama ketika saya sedang bermain. Saya terlalu capai untuk bangun melakukan shalat subuh. Saya harus bermain basket pada waktu maghrib dan isya'. Saya akan tertidur sepanjang siang di mana saya seharusnya melakukan shalat zuhur. Begitulah, saya tidak pernah bisa menegakkan disiplin itu. Tapi sejak berhenti bermain, saya menjadi semakin baik. Saya rasa saya harus beradaptasi untuk hidup di Amerika. Yang dapat saya harapkan hanyalah semoga pada Hari Akhir nanti Allah ridha atas apa yang telah saya lakukan.

Saya tahu bersekolah di sekolah Katolik memberikan dasar yang kuat bagi saya. Jesus (Isa) adalah seorang Muslim. Jadi saya telah dibelokkan mengenai hal itu. Tetapi dengan Islam Anda dapat menjelaskan segala sesuatu tentang Jesus. Tiba-tiba semuanya jadi masuk akal. Anda tidak harus mempercayai bahwa tiga adalah satu. Jika Anda minta orang Kristen untuk menjelaskan hal itu secara logis, atau bertanya bagaimana Injil dikumpulkan dan ditulis, dan menyebutkan bahwa pasti ada kesalahan manusia dalam Al-Kitab itu, mereka pasti tidak mau membicarakan hal itu dengan Anda. Masalah itu sangat membingungkan. Jika Anda seorang Kristen, sangat sulit bagi Anda untuk mempertahankan pendapat tersebut dan itu akan membawa Anda kepada berbagai macam frustrasi dan kemarahan. Itulah yang saya lihat di dunia Kristen.

Dalam Islam, Anda mempunyai kitab suci yang sangat jelas dan tidak terusik. Jika Anda orang yang beriman dan logis, dan Anda menjalankan apa yang diperintahkan Al-Quran, Allah akan merestui Anda dan Anda dapat melihat bahwa itulah jalan hidup yang benar untuk diikuti.

Saya selalu mempunyai keyakinan yang kuat pada Allah Yang Mahatinggi, dan jika saya membaca Al-Quran [dan] tentang Nabi Muhammad, menjadi sangat jelas bagi saya bahwa Kitab ini merupakan wahyu terakhir.

Di sini kami tidak memiliki kepaduan sebagai suatu komunitas; tidak ada lembaga yang melayani kami sebagai suatu komunitas; kami orang-orang yang belum berpengalaman. Saya pikir jumlah kami cukup banyak. Saya berpikir bahwa kami tidak terorganisir sebagaimana seharusnya. Kaum Muslim di Amerika berpencar-pencar, tetapi jika kami bergabung sebagai satu kelompok, pasti akan sangat mengejutkan banyak orang.

Anda harus sedikit lebih waspada di sini, sebab Anda akan didiskriminasikan jika Anda seorang Muslim --bukan dalam komunitas Muslim [tetapi] dalam komunitas yang lebih luas. Jadi orang-orang harus waspada, jangan terlalu mengumbar sebagai Muslim.

Tapi saya pikir sekarang keadaannya sudah banyak berubah. Saya gembira melihat kenyataan ini. Saya pikir penyerbuan Rusia atas Afganistan banyak membantu masalah kaum Muslim Amerika. Hingga saat ini, orang Amerika memandang kaum Muslim sebagai orang-orang fanatik yang tidak akan melakukan apa-apa kecuali melaksanakan ajaran Islam, dan fundamentalisme membuat mereka menjadi kekuatan yang radikal.

Kemudian ketika Rusia menyerbu Afganistan dan orang-orang Muslim Afganistan mempunyai sikap yang sama terhadap Komunisme sebagaimana yang mereka lakukan, Amerika berkata, kita harus mendukung para pejuang kemerdekaan yang mengagumkan ini, yang berjuang demi agama mereka. [Tertawa].

Tapi agama mereka sama dengan agama kaum fanatik itu. Tiba-tiba, karena mereka berjuang melawan Komunisme, bantuan, dedikasi, dan komitmen mereka menjadi hal yang baik untuk Amerika. Sekarang orang melihat bahwa kaum Muslimin dapat menjadi sekutu, sekaligus menjadi musuh Anda. Turki merupakan contoh yang tepat dalam hal ini. Turki adalah anggota NATO. Tetapi akan sangat sulit bagi mereka untuk melepas Islam. Saya berada di sana dua atau tiga tahun yang lalu.

Islam mempunyai citra menindas hak-hak wanita. Anda harus bicara panjang lebar untuk menjelaskan bagaimana Islam melindungi hak-hak wanita. Tak seorang pun akan mempercayai hal itu. Dan perlakuan orang Arab membuat hampir mustahil bagi setiap orang untuk memahami, bahkan bagi orang Muslim, bahwa kaum wanita tidak dianjurkan untuk ditindas.

Orang Arab, khususnya orang Arab yang kaya, benar-benar memberikan perlakuan yang negatif terhadap kaum wanita. Perlakuan mereka terhadap para wanita mereka telah merembes ke seluruh dunia Islam. Itu bukan seperti yang dicontohkan Rasulullah. Rasulullah membantu istrinya berdagang. Dia tidak dapat menjalankan bisnis karena dia seorang wanita. Beliau menjadi penasihatnya. Beliau membuatnya beruntung, karena beliau seorang pedagang yang cerdas.

Beberapa rekan mempunyai lebih dari satu istri dan mereka hidup dengan sejahtera. Itu merupakan suatu parodi. Mereka perlu diingatkan bahwa mereka menindas para istri dan anak mereka, apa yang mereka lakukan tidak bertanggung jawab dan tidak Islami. Al-Quran dengan jelas menyatakan bahwa Anda dapat memilih lebih dari satu istri --jika Anda mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang berada dalam pengawasan Anda. Dan jika Anda tidak dapat melakukannya, maka Anda tidak diizinkan untuk berpoligami. Itu sangat jelas.

Sesuatu yang menyenangkan terjadi pada saya. Putra saya Amir ibunya bukan Muslim, dia menganut agama Buddha. Saya tidak bisa membayangkan akan jadi apa anak itu. Yang dapat saya lakukan hanyalah mengajarkan kepadanya apa yang

dapat saya ajarkan. Mereka mengadakan diskusi di kelas tentang agama monoteistik. Mereka berbicara sesuatu tentang Islam. Amir membetulkan teks itu. Dia menjelaskan rukun Islam.

Dia berumur dua belas tahun. Mereka memintanya untuk membuat suatu laporan. Mereka berkata bahwa Islam adalah agama monoteistik yang terbaru. Amir menjelaskan bahwa Al-Quran adalah Kitab Suci yang terbaru, tetapi Islam adalah agama yang paling tua, dimulai dengan Adam. Begitu dituliskannya. Dia menceritakannya pada saya. Saya sangat terkejut mengetahui dia memasukkan segala yang saya ajarkan ke dalam hati.

Saya dahulu dicuci otak untuk menjadi seorang Katolik. Ayah saya seorang Katolik tetapi dia tidak mendalaminya. Anda tahu bagaimana yang diajarkan di sekolah Katolik. Saya tidak betah dengan ajaran itu. Saya tidak bisa membuat anak-anak saya menjadi Muslim. Jadi saya begitu bahagia melihat mereka meresapi apa yang saya ajarkan.

Ketika saya pertama dikontrak Lakers, saya mengenal beberapa pemuda Detroit. Mereka murid sekolah menengah atas, penggemar basket. Mereka datang untuk melihat kami bermain. Salah satu dari mereka berbicara mengenai Islam pada saya setelah itu. Dia seorang Muslim. Tak satu pun dari temannya Muslim. Saya memberi mereka beberapa tiket.

Dua belas tahun berlalu. Kami bermain untuk Piston untuk kejuaraan dunia 1988. Rekan-rekan itu menelepon saya. Lima di antara pemuda itu telah menjadi Muslim. Dua di antaranya segera mengikuti. Beserta anak-anak mereka. Saya merasa seperti seorang paman, seolah-olah mereka adalah adik saya. Dan mereka sudah punya anak sekarang. Mereka baik-baik saja. Mereka masih menjalankan ajaran Islam dan itu mengubah hidup mereka menjadi lebih baik.

Ada seorang rekan berbangsa Kurdi di Dallas. Dia akan membawa keluarganya untuk mengunjungi saya. Pada suatu hari di bulan Ramadhan mereka datang. Saya berkata, "Saya merasa sangat dihormat. Terimakasih."

Mereka berkata, "Tidak, kami yang berterimakasih, Kami mendapat banyak rahmat untuk ini."

Saya berkata, "Apa maksud Anda?"

Dia berkata, "Ayah saya berkata pada saya bahwa jika saya datang ke Amerika, saya akan melihat orang yang benar-benar Muslim."

Saya berkata, "Apa yang Anda bicarakan? Kami baru saja berjuang untuk membuka mata kami di sini."

Dia berkata, "Tidak. Di negara kami, kami mempunyai banyak pengetahuan, tetapi semangat yang di sini [menepuk dadanya], tidak ada. Ketika saya sampai di sini, saya melihat orang-orang berpegang pada Islam tanpa berbekal pengetahuan apa

pun, hanya dengan iman dan ketetapan hati untuk memperbaiki diri."

Saya berusaha untuk melakukan apa yang dapat saya lakukan. Karena saya tidak dapat berpuasa di bulan Ramadhan, saya selalu memberi makan sebuah keluarga. Saya memberi sedekah. Saya memberi uang kepada rekan sesama Muslim dan mengatakan kepadanya untuk apa uang itu. Mereka memberi makan orang-orang. Saya tahu banyak orang yang memerlukan uang untuk makan, jadi saya memberi mereka bahan makanan untuk sebulan. Saya harus melakukan itu; saya memiliki pendapatan yang lebih banyak, maka saya mempunyai kewajiban untuk itu. Pendapatan saya tidak membebaskan saya dari kewajiban.

Mukhlis Aminullah, sumber Buku Jihad Gaya Amerika, Islam setelah Malcolm X (Steven Barbosa)

Jumat, 22 Mei 2009

KENALI DIRI ATASI STRES

Kunci mengatasi stres ternyata sederhana saja, kenali diri sendiri dan jangan segan berkomunikasi dengan orang lain.

Stres, sepertinya istilah yang satu itu kian populer. Soehendro, dokter spesialis kejiwaan, mengatakan setiap orang tidak bisa terhindar dari stres. Ini merupakan bentuk ketegangan berupa reaksi fisik, psike, dan perilaku, saat seseorang menyesuaikan diri terhadap tekanan, ujarnya dalam seminar awam bertajuk “Stres dan Permasalahannya” yang digelar di Jakarta, belum lama ini.

Penyebab stres beragam, mulai dari harga kebutuhan pokok yang melonjak, tekanan pekerjaan, kemacetan lalu lintas, dan berbagai masalah dalam keluarga serta tekanan karena tidak lolos jadi Anggota DPR. Ketika kita kurang mampu beradaptasi, baik dari segi fisik, psike, maupun sosial, disitulah stres muncul, paparnya.

Meski begitu, stres tidak terlalu buruk. Jika dikelola dengan baik, stres justru bisa menjadi proses belajar dalam kehidupan. Itu berarti juga membantu mematangkan kedewasaan seeorang. Mengatasi stres, menurut Soehendro, harus dilakukan dengan kembali ke inti permasalahan atau sumber stres. Kemudian sandingkan dengan karakter pribadi. Gali apa yang sebenarnya diinginkan dari kita, bagaimana masalah tersebut mempengaruhi, dan jalan keluar apa yang paling tepat untuk sumber masalah itu.Psikolog RosdianaTarigan memberikan pilihan untuk mengenali diri guna mengatasi stres. Kita bisa membuat semacam jurnal. Misalnya, hari ini saya merasa begini, lalu saya atasi dengan cara A, hasilnya saya jadi merasa begitu, terangnya.

Jika kemudian hasilnya selama beberapa kali tidak pernah melegakan, itu pertanda seseorang sudah tidak mampu mengatasi sendiri. Artinya, anda butuh orang lain untuk diajak bicara. Bercerita pada sahabat akan membantu orang mengatasi stres. Setelah lega, Anda akan lebih mudah mencari jalan keluar. Jika kesulitan menemukan orang yang dipercaya, tidak ada salahnya terbuka kepada orang yang kira-kira memiliki pandangan netral. Misalnya tokoh agama, psikolog, atau psikiater alias dokter spesialis kejiwaan. Rosdiana menyarankan mendatangi psikolog saat masih mampu berkonsentrasi dan berbincang-bincang. Tapi jika stres mulai menyebar ke keluhan fisik, dan anda sudah kesulitan bertukar pikiran, psikiater merupakan pilihan yang tepat.

Mukhlis Aminullah, dari berbagai sumber.