Minggu, 24 Mei 2009

PRAMOEDYA ANANTA TOER


Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, wafat di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun, secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

Masa kecil

Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pasca kemerdekaan Indonesia

Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Penahanan dan masa setelahnya

Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.


Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).

Kontroversi

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.

Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.

Masa tua

Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.

Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Berpulang

Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.

Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.

Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.

Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.

Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.

Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.

Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.

Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

Berikut adalah karya-karya Mas Pram :

1946 – Sepoeloeh Kepala Nica
1947 – Kranji–Bekasi Jatuh, fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
1950 – Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta,
1950 – Keluarga Gerilya (1950)
1951 – Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
1951 – Percikan Revolusi, kumpulan cerpen
1951 – Mereka yang Dilumpuhkan (I & II)
1951 – Bukan Pasarmalam
1951 – Di Tepi Kali Bekasi
1951 – Dia yang
1952 – Cerita dari Blora
1953 – Gulat di Jakarta
1954 – Midah Si Manis Bergigi Emas
1954 – Korupsi
1954 – Mari Mengarang
1957 – Cerita Dari Jakarta
1957 – Cerita Calon Arang
1958 – Sekali Peristiwa di Banten Selatan
1962-65 – Gadis Pantai
1963 – Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia
1964 – Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan
1965 – Panggil Aku Kartini Saja
1965 – Kumpulan Karya Kartini
1965 – Wanita Sebelum Kartini
1965 – Lentera
1980 – Bumi Manusia
1981 – Anak Semua Bangsa
1981 – Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga
1982 – Tempo Doeloe, antologi sastra pra-Indonesia
1985 – Jejak Langkah
1985 – Sang Pemula
1987 – Hikayat Siti Mariah,
1988 – Rumah Kaca (1988)
1995 – Memoar Oei Tjoe Tat
1995 – Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I
1995 – Arus Balik
1997 – Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II
1999 – Arok Dedes
2000 – Mangir
2000 – Larasati
2005 – Jalan Raya Pos, Jalan Daendels


Mukhlis Aminullah, pengagum Mas Pram. (sumber; wikipedia)

CEMPAKA MULIA

Pada kesempatan kali ini, saya ingin mengajak rekan pembaca (terutama peminat sastra) untuk menoleh ke belakang.


Amir Hamzah, seorang pujangga yang termasyur, meninggalkan berbagai karya yang sangat indah untuk dikenang. Berbahagialah Indonesia, memiliki bakat dan talenta yang luar biasa pada diri seorang anak negeri, Amir Hamzah.

Saya mengumpulkan sebagian puisi dan sajak dari berbagai sumber, yang merupakan warisan sang penyair untuk kita. Namun sebelum kita membaca sajak demi sajak, tentu lebih elok bila kita mengetahui riwayat beliau. Ringkas saja…….


Nama lengkap Amir Hamzah adalah Tengku Amir Hamzah, tetapi biasa dipanggil Amir Hamzah. Ia dilahirkan di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911. Amir Hamzah tumbuh dalam lingkungan bangsawan Langkat yang taat pada agama Islam. Pamannya, Machmud, adalah Sultan Langkat yang berkedudukan di ibu kota Tanjung Pura, yang memerintah tahun 1927-1941. Ayahnya, Tengku Muhammad Adil (yang tidak lain adalah saudara Sultan Machmud sendiri), menjadi wakil sultan untuk Luhak Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai, Sumatra Timur.

Mula-mula Amir menempuh pendidikan di Langkatsche School di Tanjung Pura pada tahun 1916. Lalu, di tahun 1924 ia masuk sekolah MULO (sekolah menengah pertama) di Medan. Setahun kemudian dia hijrah ke Jakarta hingga menyelesaikan sekolah menengah pertamanya pada tahun 1927. Amir, kemudian melanjutkan sekolah di AMS (sekolah menengah atas) Solo, Jawa Tengah, Jurusan Sastra Timur, hingga tamat. Lalu, ia kembali lagi ke Jakarta dan masuk Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum.

Amir Hamzah tidak dapat dipisahkan dari kesastraan Melayu. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam dirinya mengalir bakat kepenyairan yang kuat. Buah Rindu adalah kumpulan puisi pertamanya yang menandai awal kariernya sebagai penyair. Puncak kematangannya sebagai penyair terlihat dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi dan Setanggi Timur. Selain menulis puisi, Amir Hamzah juga menerjemahkan buku Bagawat Gita.

Riwayat hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsabandiyah ini ternyata berakhir tragis. Pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai. Ketika itu Amir adalah juga Pangeran Langkat Hulu di Binjai.

Ketika Sekutu datang dan berusaha merebut hati para Sultan, kesadaran rakyat terhadap revolusi menggelombang. Mereka mendesak Sultan Langkat segera mengakui Republik Indonesia. Lalu, Revolusi Sosial pun pecah pada 3 Maret 1946. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang dianggap kurang memihak kepda rakyat, termasuk Amir Hamzah. Pada dini hari 20 Maret 1946 mereka dihukum pancung.

Namun, kemudian hari terbukti bahwa Amir Hamzah hanyalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revuolusi sosial. Pada tahun 1975 Pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional.


Berikut ada beberapa hasil karya Amir Hamzah untuk dikenang.

CEMPAKA MULIA


Kalau kulihat tuan, wahai suma

kelopak terkembang harum terserak

hatiku layu sejuk segala

rasakan badan tiada dapat bergerak

Tuan tumbuh tuan hamba kembang

di negeriku sana di kuburan abang

kemboja bunga rayuan

hatiku kechu melihat tuan

Bilamana beta telah berpulang

wah, semboja siapatah kembang

di atas kuburku, si dagang layang?

Kemboja, kemboja bunga rayuan

hendakkah tuan menebarkan bibit

barang sebiji di atas pangkuan

musafir lata malang berakit?

Melur takku mahu

mawar takku suka,

sebab semboja dari dahulu

telah kembang di kubur bonda

kemboja bunga rayuan

musafir anak Sumatera

Pulau Perca tempat pangkuan

bilamana fakir telah tiada.



PURNAMA RAYA

Purnama raya

bulan bercahaya

amat cuaca

ke mayapada

Purnama raya

gemala berdendang

tuan berkata

naiklah abang

Purnama raya

bujang berbangsi

kanda mara

memeluk dewi

Purnama raya

bunda mengulik

nyawa adinda

tuan berbisik.

Purnama raya

gadis menutuk

setangan kuraba

pintu diketuk

Purnama raya

bulan bercengkerama

beta berkata

tinggallah nyawa

Purnama raya

kelihatan jarum

adinda mara

kanda dicium

Purnama raya

cuaca benderang

permata kekanda

pulanglah abang...



BUAH RINDU 1


Dikau sambur limbur pada senja

dikau alkamar purnama raya

asalkan kanda bergurau senda

dengan adinda tajuk mahkota.

Dituan rama-rama melayang

didinda dendang sayang

asalkan kandaa selang-menyelang

melihat adinda kekasih abang.

Ibu, seruku ini laksana pemburu

memikat perkutut di pohon ru

sepantun swara laguan rindu

menangisi kelana berhati mutu.

Kelana jauh duduk merantau

di balik gunung dewala hijau

di Seberang laut cermin silau

Tanah Jawa mahkota pulau...

Buah kenanganku entah ke mana

lalu mengembara ke sini sana

haram berkata sepatah jua

ia lalu meninggalkan beta.

ibu, lihatlah anakmu muda belia

setiap waktu sepanjang masa

duduk termenung berhati duka

laksana Asmara kehilangan seroja.

Bonda waktu tuan melahirkan beta

pada subuh kembang cempaka

adakah ibu menaruh sangka

bahawa begini peminta anakda?

Wah kalau begini naga-naganya

kayu basah dimakan api

aduh kalau begini laku rupanya

tentulah badan lekaslah fani.



Itulah beberapa karya yang sangat cerdas. Mari kita lestarikan karya anak bangsa.

Mukhlis Aminullah, penikmat sastra, berdomisili di Bireuen, Aceh.

MAKNA SEBUAH PILIHAN

Pada “RENUNGAN DIRI” secara sekilas saya menulis pernah merantau. Benar…

Dan sebenarnya bukan hanya merantau dalam arti fisik yang saya alami. Saya memaknai bukan hanya dengan mencatat bahwa saya pernah doyan mpek-mpek, pernah layari Batanghari setiap hari, pernah melihat gundulnya hutan Jambi dan bertegur sapa dengan suku Anak Dalam.


Ketika saya merantau, sesungguhnya saya juga mengalami masa-masa transformasi kebudayaan (maaf bila saya sok menggunakan bahasa Budayawan). Saya mengalami perkembangan jiwa dan perkembangan kepribadian.

Pada poin pertama, tentu saja saya sekeluarga harus hidup dengan lingkungan yang serba Jambi. Ada kalanya kami harus menyesuaikan tradisi sehari-hari dengan tradisi Kasang, yang berbeda dengan ketika berada di Aceh. Sedangkan pada poin kedua, saya merasa makin berkembang selama bekerja di sana. Seiring makin terpupuknya rasa percaya diri, saya aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi. Dan seringkali, karena kondisi, saya terpaksa maju ke depan menjadi “imam” bagi teman-teman. Dan lumrah saja, sebagai manusia biasa, tentu ada kepemimpinan yang berhasil dan yang gagal. Sayapun demikian. Hanya saja saya tidak ingin mencatat kepemimpinan yang sukses. Saya selalu teringat dengan kempimpinan yang tidak berhasil…..


Kisahnya adalah ketika saya didaulat oleh rekan-rekan memimpin organisasi serikat pekerja. Saya tidak menolak, karena saya pikir kami harus memperjuangkan nasib pekerja (dan buruh). Dan saya tertantang sekali….


Ketika tahun-tahun awal Reformasi, suasana Indonesia sangat kacau. Para petinggi Negara sibuk. Sebagian yang merasa dirinya pelopor robohnya Orde Baru, sibuk membagi-bagikan kue kekuasaan sesama “Reformis”. Sebagian lagi yang terlanjur mendapat stempel sebagai sisa-sisa Orde Baru, sibuk mencari dukungan kesana kemari agar bisa diikutkan dalam gerbong kaum “Pendobrak” dan menjadi Pahlawan kesiangan…..

Para pemuda, mahasiswa, pelajar dan juga pekerja tidak ketinggalan. Saya dan rekan-rekan pekerja menggunakan moment itu untuk memperjuangkan nasib. Idealisme sebagai pekerja (yang selama Orde Baru termarginal-kan) mencuat. Jati diri sebagai orang yang punya andil terhadap keberhasilan perusahaan tempat kami bekerja kami salurkan dengan cara-cara yang positif. Semangat perjuangan kami, para pekerja,salurkan dalam wadah yang legal.

Perjuangan kami berjalan apa adanya…..

sampai suatu ketika saya harus memutuskan; melanjutkan idealisme atau berhenti. Saya harus istikharah untuk saya dapat keputusan; berhenti ! Bukan sebuah pilihan yang bijak. Berhari-hari saya merenungi pilihan itu. Namun, kerana sesuatu sebab, saya harus memilih…….berhenti berjuang disana. Saya yakini bahwa saya bisa “berjuang” pada tempat yang berbeda dan bidang yang saya geluti pun berbeda. Dan kemudian terbukti ketika saya memberi kontribusi sebagai penyelenggara Pemilu di Kabupaten Bireuen, periode 2003-2008.


Namun satu hal yang tak akan saya lupakan adalah dukungan dari teman-teman pada keputusan saya, walaupun secara jujur mereka mengakui “kehilangan”…. Dan saya ingat pernah menulis sebuah puisi kepada mereka. Baru-baru ini seorang teman yang sekarang menjadi petinggi perusahaan tempat kami bekerja,dulu, mengirim kembali puisi lama itu……


BERHENTI


Sahabat…!

Saat langkah kita belum menoreh jejak

Ketika kita masih setengah perjalananan

Dan belum bisa wujudkan mimpi-mimpi

Aku harus berhenti melangkah….

Sahabat…!

Aku tak bisa menjangkau lagi

Pulau yang akan engkau tuju

Laut pisahkan semangat kita

Bagimu, saatnya kini menatap

Gelombang demi gelombang

Tuk lanjutkan episode demi episode

Menuju cita-cita mulia

Maafkan,

Aku tak bisa temani

Layari hari selanjutnya



Karya; Mukhlis Aminullah


Semoga kisah dan cerita di atas menjadi sebuah kenangan bagi saya. Hidup memang kadang harus memilih. Setiap pilihan ada konsekwensi-nya, apakah itu baik ataupun buruk.


Mukhlis Aminullah, berdomisili di Bireuen, Aceh.