Rabu, 03 Juni 2009

MERANTAU

Merantau, maknanya lebih kurang adalah ''pergi ke daerah lain untuk menetap sementara''. Bagi saya bukan sebuah kata yang asing. Selain karena saya sangat hafal lagu Titik Puspa (yang kemudian dipopulerkan lagi oleh Yuni Shara) berjudul ''Merantau'' tentu juga sangat berkaitan dengan perjalanan hidup saya yang selalu hidup di perantauan.

Namun dalam dua hari ini, saya merasakan kata itu lebih bermakna, karena mungkin esok atau lusa saya akan meninggalkan keluarga menuju Aceh Selatan, melaksanakan tugas sebagai Fasilitator PNPM. Sebuah pekerjaan yang sebenarnya tidak terlalu berat, namun harus ''mengorbankan'' hari-hari penuh cinta bersama keluarga.

Merantau, bagi saya sebenarnya bukan pertamakali. Sejak tamat SMA PGRI 1 Bireuen tahun 1991 saya sudah meninggalkan orangtua & adik-adik di Leubu Me, demi menempuh pendidikan di Banda Aceh. Delapan tahun di Banda Aceh, jiwa merantau saya makin mengkristal dan saya berani melangkah lebih jauh ke Jambi tahun 1998 untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Setelah lima tahun disana, pulang ke Aceh bukan ke tempat orangtua, melainkan juga ''merantau'' ke Pulo Kiton sampai sekarang. Walau bukan merantau jauh, namun bisalah bila dikatakan hijrah karena saya tinggal di Pulo Kiton juga karena saya terikat pekerjaan di Kota Juang.
Rupanya memang saya ditakdirkan harus merantau lagi lebih jauh, tidak cukup 30 menit perjalanan bila saya ingin menjenguk orangtua saya. Saya akan berangkat ke Samadua, sebuah kecamatan yang selama ini sangat terkenal dengan objek wisatanya, Air Terjun tujuh tingkat.
Karena sudah lama tidak pernah berpisah jauh dengan anak-anak maupun ibunya, nampaknya langkah saya memang agak berat. Harus saya akui, saya agak melankolis, apalagi bila mengingat bakal calon adik Mazaya. Perasaan saya berbeda jauh dibandingkan 11 tahun lalu, ketegaran saya sekokoh batu karang.

Hari ini saya asyik membuka berbagai referensi tentang Samadua maupun Aceh Selatan. Sebenarnya tidak terlalu urgen, namun perlu saya lakukan untuk menjelaskan kepada isteri maupun anak sulung, Fildza, berapa jauh dan jarak yang perlu ditempuh menuju kesana. Agar mereka tenang-tenang saja melepaskan saya pergi, merantau. Dan setelah melihat data-data yang saya unduh di Google, mereka tenang dan memberi support. Alhamdulillah......
Mereka berfikir positif, saya merantau demi mereka juga.....

Mudah-mudahan saya tegar membendung rasa kangen. Saya yakin rindu saya pada mereka akan bermuara. Terima kasih atas support kalian.....

Mukhlis Aminullah

Selasa, 02 Juni 2009

KELUARGA SAKINAH

Keluarga merupakan salah satu elemen yang akan membangun sebuah masyarakat, dan seperti tadi telah disebutkan, menegakkan Islam dalam keluarga merupakan salah satu tahapan dalam mewujudkan cita-cita Islam. Dengan pemahaman tentang ini tidak terlalu sulit untuk menyimpulkan bahwa sebuah keluarga sakinah (Keluarga yang berhasil menurut standar Islami) adalah cerminan sebuah masyarakat madani. Sedangkan masrakat madani sendiri merupakan standar Islami tentang sebuah masyarakat yang ”makmur, aman, tentram dan damai”.

Orang sering menyebut-nyebut tentang “masyarakat madani”. Sebuah gambaran tentang masyarakt sukses yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Begitu inginnya masyarakat / ummat berada dalam sebuah masyarakat yang makmur, aman, tentram dan damai, sehingga segera saja ide untuk menciptakan masyarakat seperti itu disambut dengan hangat. Sayang sekali tidak mudah kita menemukan tulisan yang menerangkan cara mencapainya. Bahkan masih banyak muslimin tidak memahami tahapan-tahapan amal dalam menegakkan Islam, padahal masyarakat yang diidamkan tadi sebenarnya bukan merupakan tujuan akhir penegakkan Islam.

Islam menghendaki agar pilar-pilarnya dibangun pertama kali di dalam dada individuà kemudian di dalam sebuah rumah tanggaà kemudian dalam sebuah masyarakatà kemudian sebuah negaraà kemudian sebuah khilafahà kemudian di atas seluruh permukaan bumià sebelum akhirnya tegak di seluruh alam semesta ini, Insya Allah.

Keluarga merupakan salah satu elemen yang akan membangun sebuah masyarakat, dan seperti tadi telah disebutkan, menegakkan Islam dalam keluarga merupakan salah satu tahapan dalam mewujudkan cita-cita Islam. Dengan pemahaman tentang ini tidak terlalu sulit untuk menyimpulkan bahwa sebuah keluarga sakinah (Keluarga yang berhasil menurut standar Islami) adalah cerminan sebuah masyarakat madani. Sedangkan masrakat madani sendiri merupakan standar Islami tentang sebuah masyarakat yang ”makmur, aman, tentram dan damai”.

Kira-kira apakah ciri-ciri persamaannya dan apakah cara mewujudkannya juga akan sama dengan cara mewujudkan karakteristik masyarakat madani ?. Dalam tulisan kali ini Insya Allah akan coba diuraikan beberapa ciri / karakteristik masyarakat madani yang tumbuh dari kumpulan keluarga sakinah.

Keluarga Robbani

Sebagaimana salah satu ciri masyarakat madani adalah bersifat Robbani, maka keluarga sakinah juga berciri robbani. Artinya, di dalam keluarga / masyarakat tersebut setiap anggotanya berusaha untuk berlomba di dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Perekat utama keluarga/ masyarakat. Mereka menyadari betul bahwa hanya Allah sajalah yang pantas di jadikan tempat meminta bagi terwujudnya kebahagiaan bersama. Sebab mereka meyakini firman Allah sebagai berikut:

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.” (4:1)

Sebuah keluarga sakinah tidak pernah menjadikan variabel keduniaan sebagai faktor utama munculnya soliditas internal keluarga. Mereka juga percaya bahwa hanya dengan taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah) dan menegakkan aturan Allah sajalah maka kebahagiaan, kasih-sayang dan kecintaan sejati akan dirasakan di dalam keluarga. Suatu bentuk kebahagiaan yang tidak dibatasi selama hidup di dunia semata, melainkan jauh hingga berkumpul kembali di akhirat. Demikian juga dalam masyarakat madani di mana hukum Allah ditegakkan dengan sempurna.

Ayat pertama yang turun kepada Nabi kita Saw adalah ayat tadi: ” Bacalah!”, pelajarilah!

Keluarga sakinah adalah keluarga yang cinta ilmu, seperti juga masyarakat madani. Mereka saling belajar dan saling mengajarkan, antara yang tua kepada yang muda maupun sebaliknya. Keluarga yang menghargai ilmu sehingga menempatkan ahli ilmu di tempat yang dihormati, mencari ilmu dan mengajarkannya, serta kemudian bersyukur kepada Allah atas ilmu dan berkah ilmu, dan menggunakannya di jalan Allah. Keluarga sakinah tidak bersikap jumud maupun liberal dalam mensikapi ilmu. Seorang bapak menganjurkan anaknya untuk menuntut ilmu, membiayainya, kemudian juga menghormati anaknya yang mau membagi ilmu itu kepadanya dan siap menerima nasehat anaknya dengan ilmu yang dia (anak itu) pelajari dari gurunya. Bahkan sebelum itu sang bapak-lah yang mencarikan guru terbaik untuk anaknya itu. Singkatnya keluarga sakinah/ rabbani terdiri dari anggota keluarga yang telah manghayati sabda Rasulullah saw berikut:

“Barangsiapa ingin berhasil di dunia, tuntutlah ilmu. Barangsiapa ingin berhasil di akhirat, tuntutlah ilmu. Dan barangsiapa ingin berhasil di dunia dan di akhirat, tuntutlah ilmu.”

Meskipun demikian anggota keluarga sakinah tetap berpegang pada prinsip :

”pendapat siapapun dapat diterima dan ditolak, kecuali dari Allah dan RasulNya yang kita terima tanpa keraguan”.

Keluarga Yang Cinta Damai

Keluarga sakinah, seperti juga masyarakat madani, selalu berusaha untuk tampil sebagai rahmat bagi sekelilingnya. Dalam lingkungan yang kecil di dalam keluarga, suasana saling cinta mendasari hubungan antara mereka. Kakak dan adik saling cinta, bapak dan ibu menjadi teladan mereka. Bahkan dengan anggota keluarga temporer (misalnya pembantu rumahtangga) juga disayangi seperti keluarga sendiri, tidak direndahkan dan dianggap sebagai orang suruhan belaka.

Di lingkungan yang lebih besar di luar rumah, di antara tetangga, anggota-anggota keluarga sakinah memperlihatkan sikap dan sifat yang sama, bersikap santun kepada tetangga, tukang jualan, tukang sampah, penunggu warung, dan siapa saja yang ada di lingkungannya. Anak-anak keluarga sakinah akan dikenali dari akhlaknya yang santun, menghormati yang tua, menyayangi yang kecil, tidak suka mengganggu atau merugikan orang lain, jujur ketika berjual beli dan bertutur-kata. Siapapun yang melihat mereka akan berharap anak mereka-pun bersikap serupa, karena kesantunan dan kebaikan akhlak mereka. Anak-anak seperti ini akan menjadi cahaya mata bagi orang tua mereka, bahkan juga bagi lingkungannya. Siapapun akan bangga memiliki warga seperti mereka. Singkatnya mereka berusaha meneladani Rasulullah saw dalam hal yang Allah isyaratkan di dalam firman-Nya:

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (21:107)

Keluarga Yang Egaliter

Keluarga sakinah selalu berusaha mewujudkan suasana “sama tinggi sama rendah” di dalam rumah. Setiap anggota keluarga tidak hanya dikenalkan kewajiban yang harus dipenuhinya, melainkan juga diberitahu akan hak-hak yang dimilikinya. Baik ayah, suami, ibu, isteri maupun anak-anak bahkan pembantu menyadari bahwa ia memiliki hak-hak yang perlu dijaga dan dipenuhi. Dan fihak pertama yang harus memastikan bahwa hak-hak ini terpenuhi adalah kepala keluarga. Bukanlah sebuah miniatur masyarakat Islami atau madani bila yang memperoleh pemenuhan hak hanya sang ayah atau suami sedangkan anak dan isteri hanya punya daftar kewajiban. Misalnya dalam hal saling menasehati. Bukan hanya ayah kepada anak atau ibu kepada anak atau suami kepada isteri terdapat hak menasehati. Melainkan sebaliknya hendaknya dipastikan bahwa anakpun boleh dan dijamin memberikan nasehat kepada orang-tua atau isteri menasehati suami. Inilah miniatur masyarakat Islami dan madani. Ketika Umar bin Khattab berdiri di depan ummat pada hari dilantiknya menjadi khalifah, maka bangunlah seorang lelaki mengangkat pedangnya tinggi-tinggi seraya berujar: “Hai Amirul mu’minin, seandainya perjalanan kepemimpinanmu melenceng dari garis ketentuan Allah dan RasulNya, niscaya pedangku ini akan meluruskanmu.” Maka dengan tawadhu/ rendah hatinya Umar menjawab: “Alhamdulillah ada seorang lelaki ditengah ummat yang Umar pimpin akan meluruskanku tatkala aku menyimpang.” Dan pada saat itu tidak ada seorangpun yang menuduh lelaki tersebut sebagai tidak percaya atau tidak tsiqoh akan kepemimpinan Amirul mu’minin Umar bin Khattab ra. Justeru ke-tsiqoh-annya kepada Umar menyebabkan lelaki tersebut begitu leluasanya menyampaikan aspirasi secara asli dan apa adanya. Hal ini menunjukkan betapa egaliternya suasana masyarakat Islam kala itu. Dan setiap warga menjadi seperti itu karena lahir dari keluarga-keluarga yang memang sejak dini menanamkan nilai-nilai egaliter di rumah masing-masing.

Wallahu a’laam

Siti Aisyah Nurmi, majalah Eramuslim.

CATATAN ULANG TAHUN

Apa arti angka 36 bagi anda...?
Tidak perlu anda jawab, karena ini buka kuis mata kuliah di kampus. Dan yang pasti adalah beragam jawaban yang akan muncul, tergantung pada diri anda masing-masing. Bisa saja angka 36 tidak berarti apa-apa bagi anda......
Nah, bagi saya angka 36 itu penting, terutama hari kemarin.... Bagaimana kisahnya..?
Jum'at, tanggal 1 Juni 1973 orangtua saya memulai sebuah catatan penting dalam mengarungi kehidupan. Saya adalah putra pertama dari pasangan Bpk Aminullah Amin dengan Ibunda Aisyah Umar. Dari merekalah saya mengetahui angka 36 itu dimulai. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun terus berlalu sampai saya harus mencatat sendiri angka-angka itu.... Beruntung, setelah saya berkeluarga, isteri dan anak-anak saya tak lupa mencatat perubahan angka-angka itu. Walaupun hanya setahun sekali.....

Setiap tahun ketika saya harus melewati tanggal 1 Juni, saya mendapat hadiah yang berbeda dari isteri dan anak-anak saya. Namun, satu hal yang tidak berbeda adalah saya selalu merenungi pertambahan usia itu dan memaknainya dengan rasa syukur kepada Allah SWT. Tidak dengan pesta ataupun tiup lilin gaya Amerika, namun cukup dengan sujud syukur sebagai tanda berterima kasih pada Sang penguasa semesta alam.

Bagaimana dengan hadiah tahun ini....? Ini dia ceritanya.
Saya pulang dari Banda Aceh mengikuti pelatihan Calon Fasilitator hari Minggu siang. Tiba dirumah sudah jam 21.30 wib menjelang penggantian hari. Saya disambut dengan pelukan hangat dua anak saya sambil mengucapkan selamat ulang tahun.... Betapa terharunya moment itu. Rasa capai setelah menempuh perjalanan dari Banda Aceh, hilang seketika.....
Apalagi ruang tamu rumah kami yang sempit sudah dihiasi dengan bunga kertas karya mereka. Sederhana, namun punya makna mendalam..... (Terima kasih anak-anak, ayah sayang banget sama kalian).

Hadiah dari ibunya anak-anak apa? Sengaja dari tadi belum saya sebutkan, karena ingin saya tulis pada akhir cerita ini.....

Ibunya Fildza & Mazaya memberi hadiah kejutan yang luar biasa. Bukan dompet, bukan celana, bukan tali pinggang maupun dalam bentuk barang-barang lainnya. Sesuatu yang luar biasa adalah ketika menjelang penggantian menit menuju 00.00 wib malam tanggal 1 Juni 2009 adalah saat dia memberikan sebuah hasil tes kehamilan yang menunjukkan Positive. Wow......
Sungguh saya sangat berbahagia. Saya membayangkan, seakan-akan dia sudah lahir saja. Seorang bayi kecil, laki-laki atau perempuan, tidak masalah. Yang saya bayangkan adalah pipinya pasti berisi seperti kedua kakaknya.

Sejak kemarin, saya terus menghitung waktu..... menghitung berapa ya kira-kira sisa usia saya.. ataupun berapa lama lagi si bayi mungil saya bakal lahir.... Mari kita nantikan, karena sebagai hamba, kita hanya bisa berharap diberi umur panjang, diberi anak-anak yang sehat, diberi isteri shalihah, diberi rezeki yang halal, dan sebagainya.
Terima kasih, Tuhan. Semoga rahmat-Mu terus berlanjut ya Allah..........

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Bireuen, Aceh.

''DUNIA BARU''

Lebih kurang, sudah seminggu saya tidak sempat menulis maupun sekedar mengunjungi blog ini. Saya benar-benar sangat sibuk dikarenakan harus mengikuti Pelatihan sebagai Calon Fasilitator pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) di Hotel Cakra Donya Banda Aceh, selama seminggu, mulai 25 s/d 31 Mei 2009.

Setelah pelatihan dan dinyatakan lulus, secara resmi saya sudah bisa dikatakan sebagai seorang Fasilitator Kecamatan. Tugas-tugas pemberdayaan sudah menunggu saya. Apa saya bisa....? Pertanyaan yang sulit dijawab. Namun dalam hati yang paling dalam saya optimis akan bisa melakukannya. Toh saya juga pernah bekerja pada berbagai bidang yang berhubungan dengan masyarakat, termasuk selama 5 tahun terakhir menjadi Anggota KPU Bireuen dan aktif sebagai Ketua LSM LEPOE-MAT Bireuen. Hanya saja, mulai saat ini saya harus benar-benar konsentrasi mencurahkan pikiran dan tenaga saya demi suksesnya program ini. Saya harus mencoba ''mengalihkan'' sebagian jiwa saya yang selama ini sangat ''on'' dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan politik. Mudah-mudahan tidak mengalami kesulitan berarti, karena saya memang tidak bergabung dengan salah satu Partai Politik, baik sebagai anggota biasa maupun sebagai pengurus.

Sekedar curhat, bahwa sejak saya mengakhiri masa jabatan sebagai anggota KPU Bireuen beberapa waktu yang lalu, saya mengalami kesulitan untuk keluar dari bayang-bayang dunia yang telah ''mengangkat'' saya yaitu sebagai abdi demokrasi. Saya sempat menjadi calon anggota Panwaslu Bireuen, sebelum mengundurkan diri pada akhir Januari 2009. Saat itu saya memang harus memutuskan, apakah lanjut dalam dunia saya atau hijrah ke dunia lain yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya, yaitu sebagai Fasilitator PNPM.
Ketika akhirnya saya memutuskan memilih PNPM, pada awalnya saya harus ''mengorbankan'' perasaan dan jiwa saya. Mengapa ? Ada beberapa sebab, tentunya. Pertama, saya kehilangan kesempatan mengabdikan diri dalam proses Pemilu di Bireuen. Saya yakin, dengan pengalaman yang saya miliki, seharusnya bisa membantu proses Pemilu berjalan lebih baik. Kedua, selama 4 bulan, sejak akhir Januari s/d akhir Mei saya harus bersabar menunggu pelatihan dan penempatan sebagai kader pemberdayaan masyarakat. Saya sempat berpikir untuk mundur, kalau tidak dipanggil ikut pelatihan, minggu lalu.

Saat ini saya adalah salah seorang kader pemberdayaan masyarakat, yang tentu saja menjadi harapan bagi terangkatnya harkat dan martabat masyarakat pedesaan menjadi masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Saya harus bisa membuang ''ego'' saya agar bisa berhasil. Artinya begini, saat ini saya tidak bisa hanya ''memelototi'' dunia demokrasi. Kalaupun saya tidak meninggalkan secara total, namun cukuplah bila hanya saya jadikan prioritas kedua. Sekarang, saya bertekad memasuki dunia baru, yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dalam beberapa hari ini saya mempersiapkan segala sesuatu sebelum meninggalkan keluarga menuju Samadua, Aceh Selatan.
Kiprah saya dinantikan.

Mukhlis Aminullah, kader pemberdayaan masyarakat.