Minggu, 05 Juli 2009

Leopold Werner von Ehrenfels

Rekan-rekan pembaca...
Berikut adalah kisah seorang Muallaf Austria, semoga dengan merenungi jejaknya, makin menguatkan pondasi iman kita, terutama bagi kita yang sejak lahir sudah Muslim. Silahkan simak kisahnya berikut ini.........

Islam telah memberikan rasa aman dengan cara tunduk (patuh) pada hukum yang abadi (ketentuan Allah).

Sejak masa kanak-kanak, Leopold Werner von Ehrenfels telah memperlihatkan ketertarikannya terhadap dunia Timur, khususnya dunia Islam. Demikian sepenggal kisah yang disampaikan saudara perempuannya, seorang penyair berkebangsaan Austria, Imma von Bodmershof, dalam sebuah artikel majalah sastra Islam Lahore terbitan tahun 1953, tentang Leopold Werner von Ehrenfels, yang kemudian berganti nama menjadi Baron Omar Rolf von Ehrenfels.

Ketertarikan Rolf, demikian biasa ia disapa, pada dunia Timur kemudian diwujudkan dengan mengunjungi negara-negara Balkan dan Turki manakala ia menginjak usia dewasa. Di setiap negara yang dikunjunginya, Rolf kerap mengikuti shalat berjamaah di masjid-masjid yang disambangi, meski pada saat itu dia masih seorang Nasrani. Apa yang dilakukan Rolf ini mendapat sambutan baik dari kaum Muslimin Turki, Albania, Yunani, dan Yugoslavia.

Sejak saat itu, perhatiannya terhadap Islam semakin bertambah, hingga akhirnya dia menyatakan masuk Islam pada tahun 1927. Setelah resmi memeluk Islam, Guru Besar Antropologi University of Madras ini kemudian memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Baron Omar Rolf von Ehrenfels.

Pada tahun 1932, Rolf mengunjungi anak benua India dan Pakistan. Selama di sana, dia sangat tertarik mempelajari soal-soal kebudayaan dan sejarah yang berhubungan dengan kedudukan wanita dalam Islam. Sekembalinya ke Austria, Rolf mengkhususkan diri dalam mempelajari soal-soal antropologi dari Matrilineal Civilization di India. Apa-apa yang dia pelajari mengenai antropologi Matrilineal Civilization di India, kemudian dia tuangkan dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh The Oxford University Press. Buku ini merupakan buku antropologi pertama yang ditulis oleh Rolf.

Pada waktu Austria diduduki oleh pasukan Nazi Jerman tahun 1938, Rolf memutuskan untuk pergi lagi ke India dan bekerja di Hyderabad atas undangan Sir Akbar Hydari. Selama bermukim di India untuk kali kedua ini, Rolf mempelajari soal-soal antropologi di wilayah India Selatan dengan mendapat bantuan dari Wenner Gern Foundation New York di Assam.

Sejak tahun 1949, ia ditunjuk menjadi kepala bagian Antropologi pada University of Madras. Dan, pada tahun itu juga, Rolf mendapat medali emas SC Roy Golden Medal atas jasa-jasanya dalam bidang Sosial and Cultural Antropology dari Royal Asiatic Society of Bengal.

Di antara sekian banyak karangannya tentang Islam dan ilmu pengetahuan, ada dua jilid buku tentang antropologi India dan dunia, Ilm-ul-Aqwam (Anjuman Taraqqi-Delhi, 1941) dan sebuah risalah tentang suku bangsa Cochin dengan judul Kadar of Cochin (Madras, 1952).

Kebenaran Islam
Menurut Rolf, seperti dikutip dari buku Mengapa Kami Memilih Islam, Islam merupakan agama besar yang sangat berpengaruh atas jiwanya. Setidaknya, kata anak laki-laki satu-satunya dari Baron Christian Ehrenfels, pembangun teori 'Structure Psychology Modern' di Austria, ada delapan alasan yang telah menggugah kesadaran dalam dirinya tentang kebenaran agama Islam.

Ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan berangsur-angsur itu, ungkap Rolf, telah menunjukkan kepadanya bahwa agama-agama besar keluar dari hanya satu sumber. ''Bahwa orang-orang yang membawa kerasulan besar itu hanya membawa ajaran-ajaran Tuhan yang Satu. Dan, bahwa beriman kepada salah satu kerasulan ini berarti mencari iman dalam cinta kasih.''

Bagi Rolf, Islam telah memberikan rasa aman dengan cara tunduk kepada hukum yang abadi. Sedangkan ditinjau dari sudut sejarah, ungkapnya, Islam merupakan agama besar terakhir di atas planet bumi ini. Nabi Muhammad SAW adalah rasul Islam dan mata rantai terakhir dalam rangkaian para rasul, yang membawa risalah-risalah besar.

Islam, tambah Rolf, juga menonjol dalam hal penerimaan dan cara hidup kaum Muslimin oleh penganut agama yang terdahulu. ''Berarti dia melepaskan diri dari agamanya yang dahulu,'' kata dia. Hal ini sama seperti memeluk ajaran-ajaran Buddha, yang berarti melepaskan diri dari ajaran-ajaran Hindu.

Namun, agama-agama yang berbeda-beda itu, menurut dia, sebenarnya hanya buatan manusia, sedangkan kesatuan agama itu dari dan bersifat ketuhanan. ''Ajaran-ajaran Alquran-lah yang menekankan atas prinsip kesatuan ini. Dan, percaya atas kesatuan agama berarti menerima satunya fakta kejiwaan yang umum diterima oleh semua orang, pria dan wanita,'' paparnya.

Hal menonjol lainnya adalah ajaran Islam menekankan jiwa persaudaraan kemanusiaan, yang meliputi semua hamba Allah. Ini berbeda dengan konsep rasialisme atau sukuisme yang berdasarkan perbedaan bahasa, warna kulit, sejarah tradisional, dan lain-lain dogma alami.

Selain itu, menurut Rolf, Islam memberikan kedudukan yang mulia dan hak yang sebesar-besarnya kepada kaum perempuan. Dalam pengertian inilah, Rasulullah SAW bersabda dalam kata-katanya yang tidak bisa dilupakan oleh para pengikutnya, "Surga itu di bawah telapak kaki kaum ibu."

Agama Islam, dinilai Rolf, sangat menghargai hasil karya umat dari agama lain dengan tidak menghancurkannya. Hal tersebut bisa kita lihat dari bangunan Gereja Aya Sophia di Istanbul, Turki, yang dialihfungsikan menjadi masjid manakala tentara Islam berhasil menguasai wilayah tersebut. Penguasa Islam saat itu hanya mengubah desain interior bekas bangunan gereja tersebut, agar mirip dengan Masjid Sultan Ahmad atau Muhammad al-Fatih (Masjid Biru) di Istanbul. Bukti sejarah ini, kata dia, telah menunjukkan bahwa umat Islam pada dasarnya mencintai perdamaian dan kasih sayang terhadap umat dari agama lain. dia/berbagai sumber


Biodata:
Nama : Leopold Werner von Ehrenfels
Nama Islam : Baron Omar Rolf von Ehrenfels
Masuk Islam : 1927
Tempat/Tanggal Lahir: Austria, 28 April 1901
Wafat : 1980

sumber : Republika

MEMILIH PRESIDEN

Sudah lama sekali saya tidak menulis tentang politik, tepatnya semenjak habis Pemilu legislatif beberapa waktu yang lalu. Bukan kehabisan topik atau ide...! Namun keterbatasan waktulah yang jadi penyebabnya.

Menjelang hari Pemungutan Suara Pilpres tanggal 8 Juli mendatang, saya masih agak bimbang. Secara jujur, saya mengatakan bahwa saya bingung mau memilih siapa.. Dulu, saat-saat Pemilu legislatif, saya masih mengagumi SBY sebagai sosok yang masih pantas untuk meneruskan jabatan satu periode lagi. Namun seiring waktu, keraguan pada SBY makin mengental saja. Bukan berarti berkhianat "bathin" untuk memilih Calon yang lain. Namun, saya merasa, dari ketiga pasangan yang ada saat ini tidak ada yang pantas menjadi Presiden Indonesia. Memang kalau ditinjau dari berbagai sisi, SBY sedikit lebih baik ketimbang Calon Presiden yang lain. Apalagi bila dikaitkan dengan Provinsi Aceh.

SBY telah mengambil berbagai kebijakan yang strategis tentang masa depan Aceh, bukan hanya saat menjabat Presiden, namun jauh sebelumnya yaitu saat masih menjadi Menko Polkam dalam Kabinet Megawati. Beliau rajin mengupayakan perdamaian Aceh, walaupun saat itu ybs tidak punya kewenangan lebih karena masih jadi anak buah Bu Mega. Dan seingat saya, kalau tidak salah, pada saat pengambilan keputusan penetapan Darurat Meliter untuk Aceh tanggal 18 Mei 2003, SBY sudah diluar Kabinet. SBY merehabilitasi keputusan Bu Mega tentang Darurat Sipil setelah beliau menjadi Presiden, kemudian meneruskan cara-cara yang bermartabat dalam penyelesaian masalah Aceh di forum internasional.
Memang, MoU Helsinki yang disepakati beberapa bulan setelah tsunami, bukan hanya "milik" SBY. Jusuf Kalla yang sekarang bersaing dengan SBY dalam Pilpres juga punya peran penting. Bersama rekan-rekannya dari Makassar (Bugis Connection), beliau juga sangat berjasa. Pendekatan dengan cara Bugis (seperti yang diceritakan oleh dr.Farid Hussen kemudian hari), merupakan salah satu kunci penting tercapainya kata sepakat dengan para petinggi GAM di luar negeri. Namun, bagaimanapun cara pendekatan yang dilakukan oleh JK dkk tentu tidak akan berhasil bila tidak disetujui oleh SBY, Presiden RI. Jadi dalam hal tercapainya perdamaian di Aceh, peran keduanya sebagai Presiden maupun sebagai Wapres sangat kental.

Bagaimana dengan Bu Mega...? Bagi sebagian orang Aceh tentu tidak akan melupakan pahitnya operasi meliter 6 tahun yang lalu, yang berlangsung di bawah kekuasaannya. Bagaimana harkat dan martabat masyarakat Aceh jatuh ke titik nadir saat operasi meliter berlangsung. Memang di satu sisi, apa yang diputuskannya "dapat" diterima dengan alasan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI. Namun disisi lain, "tidak dapat" diterima karena mempertahankan NKRI tidak harus dengan menerjunkan ratusan ribu pasukan ke Aceh. Buktinya SBY-JK dapat meredam gejolak di Aceh tanpa perang.
Belum lagi bila mengingat, bahwa sebelumnya (maksudnya sebelum DM/DS) Bu Mega pernah berjanji tidak akan ada setetespun darah orang Aceh dalam penyelesaian masalah Aceh.
Bila mengingat sepak terjang Bapaknya, Bung Karno, pasca kemerdekaan, rasanya semakin jelas arah pilihan orang Aceh. Masyarakat Aceh terluka oleh sejarah kepemimpinan dua orang anak beranak tersebut.

Pada kesempatan ini, saya tidak mengajak pembaca untuk meninggalkan Mega dan memilih SBY maupun JK. Opini tentang ketiga Capres itu, terserah masing-masing. Ini hanya pendapat saya. Dan saya sendiri juga belum menentukan pilihan. Seperti yang saya kemukan di atas, saya masih bimbang.

Selain melihat dari sisi perdamaian, tentu ada beberapa indikator lain yang bisa kita pakai untuk menilai ketiganya. Saya tidak ingin mendzalimi, hanya saja beberapa catatan pantas ditulis.

SBY selama berkuasa, jelas banyak membawa kemajuan bagi bangsa ini, bersama JK. Saya tidak sempat lagi menyebutkan satu persatu, kalu anda mengikuti kinerjanya selama 5 tahun, anda pasti sudah mencatatnya sendiri beberapa keberhasilan itu. Hanya saja, kelemahannya juga banyak. Salah satu yang terkait dengan ummat adalah ketidaktegasannya membubarkan Ahmadiyah. Padahal sudah jelas hasil kajian Ulama, termasuk di beberapa negara Islam lainnya, bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan di negara lain dengan tegas dinyatakan bahwa Sesat.
Masalah ummat yang lain adalah "membiarkan" industri pertelivisian di Indonesia menyajikan tayangan "sampah" ke hadapan kita semua pemirsa Indonesia. Kalau pemimpin kita seorang yang tegas dan mengerti dampak dari "Bollywoodisasi" terhadap moral generasi muda kita, tentu akan bertindak tegas. Walaupun KPI adalah lembaga independen, sebagai Kepala Negara, SBY seharusnya wajib mengingatkan KPI, agar lebih berani dalam bertindak.
Dalam hal pemberantasan korupsi, kita memberi apresiasi. Namun perlu dicatat, pemberantasan korupsi masih tebang pilih. Putusan hukuman 4,5 tahun Pengadilan Tipikor terhadap besan SBY, Aulia Pohan tidak bisa mengklarifikasi adanya bahwa tidak ada tebang pilih dalam kasus korupsi. Tentu pembaca masih ingat kasus korupsi yang menimpa Anggota KPU periode lalu, bagaimana Hamid Awaluddin tidak tersentuh hukum, malah kemudian menjadi Menteri dan Dubes. Prof.Dr.Nazaruddin Syamsyuddin sendiri rela hidup dalam pengapnya penjara. Lebih dari itu, beliau "diharuskan" mencoreng semua prestasi dan kehormatan selama mengabdi kepada bangsa, baik sebagai Ketua KPU, maupun sebagai pakar ilmu politik.
Kasus Bank Indonesia juga demikian, Pak Bur, Pak Aulia, Pak Rusli semua jadi terhukum. Pak Anwar Nasution masih tenang-tenang saja sebagai Ketua BPK. Padahal saat itu posisinya sama persis dengan rekan-rekannya yang sudah terhukum.

JK bagaimana ? Sama seperti SBY juga. Kita tidak menutup mata dengan beberapa keberhasilannya. Namun kita juga mencatat, bahwa selama beliau menjadi Wapres, banyak orang Makassar mendapat posisi penting di negeri ini. Selain membawa gerbong Makssar, dia juga membawa gerbong Golkar dalam pemerintahan. Memang secara umum, tidak terlihat kekurangannya selama ini, namun bukan berarti beliau bersih-bersih saja. Semua kritikan terhadap kebijakan Pemerintah sudah terlanjur dialamatkan kepada Presiden, walaupun ada diantara kebijakan-kebijakan itu adalah buah dari JK.
Dan akhir-akhir ini malah JK ikut mengkritik Bosnya, seakan-akan kebijakan yang tidak populer sepenuhnya berasal dari SBY.
Sebagai Muslim, satu-satunya pertimbangan terhadap JK (maupun Wiranto) adalah istrinya telah menutup aurat. Walaupun saya belum mendapat informasi, tentang ketaatan terhadap ajaran agama mereka sehari-hari.

Track record Mega malah lebih parah. Bukan hanya masalah Aceh yang kita catat. Selama memimpin negeri ini 2,5 tahun, tidak ada prestasi yang menonjol yang dicatatnya. Malah menjadi boneka bangsa asing. Kita ingat bagaimana saat itu ia "menjual" BUMN kepada bangsa asing. Penjualan kapal tanker dibawah harga standar kepada Korea, juga merugikan bangsa Indonesia. Perjanjian bagi hasil pertambangan di Papua juga merugikan bangsa ini. Belum lagi soal issue keterlibatan asing dalam "pembuatan" UU Migas tahun 2002. Seperti kita ketahui, UU Migas produk dari DPR periode 1999-2004 yang didominasi oleh PDI Perjuangan. Dan disinyalir keterlibatan pihak asing dalam membiayai lahirnya UU tersebut.

Bagaimana dengan ketiga Cawapres ? Pada kesempatan ini tidak akan saya bahas, mengingat apapun track recordnya, pengambilan keputusan di negeri ini tetap pada Presiden. Jadi menurut saya, peran Wakil Presiden belum terlihat. Kalaupun selama ini JK sudah mulai menunjukkan, bahwa Wapres bukan ban serep, tetapi tetap saja tidak maksimal.

Kesimpulan dari tulisan saya di atas adalah secara umum tidak ada prestasi yang patut dibanggakan oleh Capres kita. SBY, JK dan Mega bukan yang terbaik. Kalaupun harus memilih, saya akan benar-benar menhitung baik-buruknya pilihan saya. Dan masih ada waktu tiga hari lagi untuk memutuskan.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan.