Sabtu, 18 Juli 2009

IBU


Dalam seminggu terakhir saya agak kurang mood menulis. Agak susah untuk memulainya, mau menulis tentang apa… Baru tadi malam saya berfikir ; kenapa saya tidak menulis tentang Ibu saya, toh selama ini saya tidak pernah menulis tentang beliau.

Ibu saya bernama Aisyah Umar, sekarang berumur 57 tahun. Beliau merupakan anak perempuan paling bungsu dari keluarga besar Kakek saya, T.Umar Muda Husein, menamatkan PGA (Pendidikan Guru Agama) 6 Th di Gandapura tahun 1970.
Pada masa mudanya beliau sempat menjadi guru agama pada sebuah SD di Leubu, Kecamatan Makmur, lebih kurang 8 tahun, sebelum berhenti karena ayah saya menginginkan beliau hanya jadi guru anak-anak di rumah. Memori saya masih menyimpan dengan baik sosok Ibu saya sebagai guru agama di sekolah, karena saya juga bersekolah di tempat itu. Sebagai guru di sekolah, beliau juga sangat lembut, sama seperti mendidik kami, anak-anaknya, di rumah. Walaupun saat itu saya masih kecil, namun saya tau, sebenarnya beliau sangat keberatan meninggalkan profesinya itu. Namun, sebagai seorang isteri, beliau akhirnya manut pada kehendak suaminya, ayah saya. Toh menjadi ibu rumah tangga sejati, juga merupakan profesi yang tiada ternilai nikmatnya. Memang bagi sebagian orang, sering menganggap sebelah mata “menjadi ibu rumah tangga”, namun tidak demikian dengan Ibu saya.

Perjalanan “karir” beliau selanjutnya adalah mendidik kami, anak-anaknya yang berjumlah 5 (lima) di rumah. Pendidikan agama ditanamkan kepada kami dengan ketat. Pagi hari saya sekolah, dilanjutkkan dengan mengaji pada siang/petang di dayah dan malam hari di rumah. Beliau adalah sosok yang sangat lembut, seingat saya, belum pernah sekalipun beliau memarahi saya. Kalau saya berbuat kesalahan, paling Ayah saya yang menghukum, bukan Ibu.

Keluarga kami adalah tipe keluarga sederhana. Ayah merupakan seorang PNS. Sebagai PNS golongan rendahan, tentu saja kehidupan ekonomi keluarga sangat pas-pasan. Untuk menambah penghasilan keluarga, Ibu membantu ayah menerima jahitan. Walau bukan penjahit profesional, namun kegiatan itu sangat membantu ekonomi keluarga. Selain menerima jahitan dari orang lain, Ibu saya juga menjahit sendiri baju anak-anaknya. Kami merasakan sekali sentuhan Ibu, ketika kami memakai baju produk sendiri. Baju sekolah saya dari SD sampai SMA, semua buah tangan beliau. Begitupun dengan baju adik-adik saya (kecuali baju adik paling bungsu barangkali, karena beliau tidak sanggup lagi menjahit). Khusus bagi saya sendiri, baju-baju itu masih tersimpan rapi hingga sekarang di lemari tua, sebagai kenang-kenangan.

Untuk menambah wawasan sebagai IRT, secara rutin ayah saya membelikan berbagai macam majalah untuk Ibu. Selain itu, beliau juga aktif dalam organisasi KB Gampong, PKK, Koperasi gampong dan kegiatan-kegiatah kaum Ibu lainnya. Sehingga eksistensi dan wawasan beliau sebagai wanita tidak ketinggalan dari yang lainnya. Setidaknya untuk ukuran kaum Ibu zaman itu, tahun 70-an sampai 80-an.

Waktu terus berlalu, kehidupan keluarga kami normal-normal saja. Tidak ada konflik keluarga yang berarti. Kalaupun ada perbedaan pendapat atau selisih paham, terutama antara Ibu dan Ayah, hanya merupakan bumbu kehidupan. Keluarga siapa saja pernah mengalaminya.

Selama 23 tahun, keluarga kami hanya di isi 4 orang anggota yang terdiri dari saya dan tiga adik perempuan. Tahun 1997, Allah memberi cahaya mata yang lain bagi kami sekeluarga. Pada usia yang sebenarnya agak rawan, 44 tahun, Ibu saya melahirkan seorang bayi laki-laki yang montok. Dan saat ini, bayi tersebut sudah tumbuh jadi remaja tanggung, 13 tahun. Namanya Asyrifal Mirza. Saya ingat sosoknya hampir sama dengan saya, ketika remaja.

Tahun 2000, ketika saya masih merantau di Jambi, kabar kurang enak saya terima dari adik saya, Tuty Liana. Dia mengabarkan bahwa hasil tes darah di laboratarium, menunjukkan Ibu saya menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) atau kencing manis. Saya seperti tersambar petir menerima kabar itu. Saya membayangkan, kehidupan Ibu yang sangat saya cintai akan diisi dengan meminum obat setiap saatnya. DM merupakan penyakit kronis. Dan sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut agar si penderita akan sehat seperti sedia kala. Yang ada hanyalah obat untuk mengurangi kadar gula dalam darah, itupun harus diimbangi dengan pola makan yang teratur.

Kembali ke pokok persoalan. Bahwa hari-hari selanjutnya, kesehatan Ibu makin menurun, walaupun sampai tahun 2004 beliau tampak sehat dan gemuk. Memasuki tahun 2005 sudah mulai tampak penyakit DM memang menggerogoti tubuhnya, beliau semakin kurus. Ayah saya masih sangat setia mengobati penyakit DM yang diderita Ibu, walaupun bukan dengan obat yang mahal.
Ibu membalas kesetiaan Ayah dengan menjaga pola makannya sendiri, walau sesekali dilanggarnya juga. Beliau masih bersemangat melanjutkan kehidupan dengan mendaftar sebagai Calon jemaah haji, yang entah kapan berangkatnya. Hari-hari diisi dengan menekuni agama di rumah, walaupun pekerjaan rumah tetap dilakukan juga. Rumah kami tidak terbiasa dilayani pembantu.

Sekitar tiga minggu yang lalu, beliau ikut ke Samadua, bersama isteri dan anak-anak saya. Selain menyambangi saya, Ibu juga menggunakan kesempatan untuk berlibur, sama seperti isteri dan anak-anak saya. Jarak antara Bireuen – Samadua sebenarnya lumayan jauh, butuh waktu 12 jam perjalanan darat. Sangat riskan menempuh perjalanan jauh bagi orang yang kurang sehat seperti Ibu. Saya sempat melarang dengan halus agar beliau tidak ikut, tetapi beliau bersikeras untuk menemani menantu dan cucu-cucunya.
Alhamdulillah, dengan semangatnya, malah beliau sangat menikmati kebersamaan dengan kami di Aceh Selatan. Terbukti bobot tubuhnya sedikit bertambah. Dan itu merupakan kebahagiaan bagi saya, walau tidak saya ungkapkan padanya.
Sesungguhnya saya sangat menyayanginya dan selalu berharap dapat melakukan yang terbaik bagi Ibu, sebagaimana diperintahkan Allah SWT melalui firmanNya:

"Dan Kami perintahkan kepada manusia kepada dua orang ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu." (QS. Lukman: 14)

Saya menyadari, sebagai anak belumlah maksimal berbakti kepada orangtua, terutama Ibu yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan saya. Belum lagi bila saya mengingat nasehat-nasehatnya, yang sampai sekarangpun, masih sering disampaikan. Itulah Ibu saya, sosok yang tak tergantikan.

Ibu, aku selalu berdo'a semoga engkau diberi kesehatan, sehingga dapat menunaikan dan melanjutkan tugas yang diberikan Allah SWT kepadamu. Semoga Allah memngampuni dosa-dosamu. Dan maafkan bila aku belum maksimal berbakti kepadamu. Aku selalu bertekad.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan

BAHAYA RACUN ORIENTALIS

Diabolis adalah iblis dalam bahasa Yunani kuno. Menurut A Jeffery dalam bukunya the Foreign Vocabulary of the Qur'an, istilah diabolisme berarti pemikiran, watak dan
perilaku ala iblis ataupun pengabdian padanya. Dalam al Qur'an dinyatakan, iblis termasuk bangsa jin (18:50), yang diciptakan dari api (15:27). Inilah penggalan alenia pertama artikel berjudul “Diabolisme Intelektual” karya Dr Syamsuddin Arief MA.

Sebagaimana diketahui, iblis dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Allah SWT untuk bersujud pada Adam. Apakah iblis atheis? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan Allah. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya 100%. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut kafir? Di sinilah persoalannya.

Kenal dan tahu saja, tidak cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah saw, seperti orangtua mengenali anak kandungnya sendiri (ya'rifunahu kama ya'rifuna abna'ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam.
Jelaslah bahwa pengetahuan, kepercayaan dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan. Harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan melaksanakan perintah. "Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission," tegas Profesor Naquib al-Attas.
Kesalahan iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang, aba wa istakbara (QS 2:34, 15:31, 20:116); menganggap dirinya hebat, istakbara (QS 2:34, 38:73, 38:75); dan melawan perintah Tuhan, fasaqa an amri rabbihi (QS 18:50). Dalam hal ini, Iblis tak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya.

Iblis adalah ”prototype intelektual keblinger”. Sebagaimana dikisahkan dalam al Qur'an, sejurus setelah ia divonis, iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara.
Pertanyaannya, apakah kaum orientalis yang melakukan distorsi ajaran Islam merupakan bagian dari Diabolisme Intelektual? Untuk menjawab ini, sekaligus mengurai sepak terjang kaum orientalis, berikut kita ikuti wawancawra wartawan Sabili dengan Dr Syamsuddin Arief MA. Pakar orientalis yang sedang menempuh program doktor keduanya di Universitas Frankfurt, Jerman.

Apakah semua keruwetan yang terjadi di dunia Islam disebabkan oleh orientalis?

Memang orientalis punya andil dalam merusak dan menimbulkan keruwetan dalam dunia Islam. Namun berapa prosentasenya kita tidak tahu secara pasti. Dalam surat at Taubah dijelaskan bahwa orang-orang yang beriman dan orang-orang munafik antara sebagian dengan sebagian yang lain saling tolong-menolong. Jadi, para orientalis juga saling bahu membahu dalam merusak dunia Islam.

Bagaimanakah perkembangan dan dinamika orientalisme saat ini?

Saya melihat orientalisme bukan sebuah gerakan. Dalam konferensi-konferensi dan pertemuan yang biasa mereka lakukan. Mereka memang memiliki jaringan melalui beberapa organisasi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) namun sifatnya informal karena lintas negara. Yang menyatukan mereka adalah human interest yakni mereka mempunyai minat dan ketertarikan yang sama dalam dunia internasional.
Orientalis Barat kebanyakan adalah keturunan Yahudi. Orang Yahudi menganggap dalam stratifikasi masyarakatnya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang paling berilmu. Seperti ilmuwan, saintis apalagi yang plus ahli agama. Hampir kebanyakan kaum Yahudi mempunyai cita-cita untuk menjadi ilmuwan terutama menjadi ilmuwan yang ahli agama yang biasa disebut ulama Bani Israil.

Bagaimanakah sikap orientalis terhadap al-Qur’an?

Orientalis sejak dahulu hingga sekarang mengkaji al-Qur’an untuk mencari kelemahan, mereka tidak percaya bahwa al-Qur’an adalah wahyu dan menganggapnya buatan Muhammad saw. Sebab apabila mereka mengakui bahwa Muhammad adalah nabi maka gugurlah agama Yahudi.
Al-Qur’an merupakan target utama serangan misionaris dan orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah nabi saw. Mereka mempertanyakan status kenabian beliau, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan cerita fiktif belaka. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen dan lain-lain.

Orientalis lebih tertarik mengkaji apa?

Yang pertama tentu mempelajari al-Qur’an. Mereka mengatakan ini merupakan suatu pendekatan baru dalam mempelajari al-Qur’an dengan metode linguistik, apa adanya tanpa perlu mengkaji asal-usulnya, bahkan mereka mengatakan pendekatan lama mengandung polemik.
Memang benar bahwa corpus kesarjanaan Barat mengenai al-Qur’an cukup beragam. Tidak semua orientalis hendak menghancurkan Islam dengan menebarkan keraguan terhadap al-Qur’an dan hadist. Ada juga orientalis yang konon bermaksud ‘baik’ dan tampak simpati kepada Islam yang disebut counter examples. Di bidang hukum Islam mereka sangat mempunyai kepentingan karena mereka tahu orang-orang Islam semakin semangat mempelajari dan menerapkan ekonomi Islam.

Bagaimanakah pengaruh orientalis di balik gerakan anti-hadits?

Serangan orientalis terhadap hadist dilancarkan secara bertahap, terencana dan bersama-sama. Ada yang menyerang matan-nya seperti Sprenger, Muir dan Goldziher. Menyerang isnad-nya seperti Horovitz, Schacht dan Juynboll.
Serangan mereka diarahkan ke semua kategori; sebagian menyerang hadist sejarah yang berhubungan dengan sirah. Misalnya Kister, Scholler, Motzki. Sebagian yang lain menggugat hadist hukum atau fiqih seperti Shacht, Powers dan Gilliot.
Gugatan para orientalis dan misionaris Yahudi dan Kristen telah menimbulkan dampak yang cukup besar. Melalui tulisannya yang diterbitkan dan dibaca luas, mereka telah berhasil mempengaruhi dan meracuni pemikiran sebagian umat Islam. Muncullah gerakan anti-hadist di India, Pakistan, Mesir dan Asia Tenggara. Pada tahun 1906 sebuah gerakan yang menamakan dirinya Ahli al-Qur’an muncul di bagian barat Punjab, Lahore, dan Amritsar. Pimpinannya Abdullah Chakrawali dan Khwaja Ahmad Din, mereka menolak hadist secara keseluruhan.
Dalam propagandanya, gerakan ini mengklaim bahwa al-Qur’an saja sudah cukup untuk menjelaskan semua perkara agama. Akibatnya mereka menyimpulkan shalat hanya empat kali sehari, tanpa adzan dan iqamah, tanpa takbiratul ihram. Selain itu mereka menganggap tidak ada shalat ‘Id dan shalat jenazah.

Apakah orientalis sekarang gencar melakukan aktivitasnya melalui LSM?

Memang institusi penting bagi mereka untuk menjalankan aktivitasnya karena mempunyai dampak yang luas. Tentunya dengan restu dan dukungan dari pemerintah. Mereka mempunyai dana yang kuat dan fasilitas yang memadai untuk melancarkan aksinya. Selain itu sebagian mereka dengan sebagian yang lain saling bantu membantu dalam menebarkan racun orientalisme.

Bagaimanakah mereka membuat kaderisasi?

Itu memang strategi mereka yang paling mudah. Sebagaimana yang dilakukan Inggris di daerah jajahannya. Misalnya di Indonesia mereka melakukan kaderisasi di Manado, Sumatera Barat dan Salatiga. Oleh karena itu tokoh-tokoh nasional pada waktu itu berasal dari kota-kota tersebut. Tidak semua orientalis melakukan aktivitasnya dengan disamarkan, ada juga yang terangan-terangan.

Apa saja motivasi dan topik kajian orientalis?

Kajian teologi Islam oleh para orientalis Barat telah dimulai sejak awal abad ke-19 Masehi, tidak lama setelah bangsa-bangsa Eropa menaklukan hampir seluruh dunia Islam. Berbekal manuskrip karya para ulama dan ilmuwan Islam yang diboyong ke Eropa, mereka mulai mempelajari dan mengkaji satu per satu khazanah intelektual Islam.
Mereka meyakini kebenaran kata-kata Sir Francis Bacon dalam risalahnya ‘de haeresibus’ tahun 1597 bahwa ilmu adalah kekuatan. Hegemoni militer, politik dan ekonomi akan tumbang jika tidak didukung oleh pengetahuan. Mereka yakin untuk menaklukan dunia Islam mereka harus mengetahui Islam dari berbagai aspeknya dari orang Islam sendiri.

Apa dampak orientalis bagi dunia Islam?

Secara positif mereka banyak menyadarkan kita akan pentingnya membaca sejarah para ulama-ulama Islam kita. Mereka mengangkut manuskrip kita keluar negeri yang merupakan sejarah keilmuwan kita untuk dipelajari dan diaplikasikan sehingga mereka lebih maju dari umat Islam.
Di Irak setelah invasi Amerika, benda dan manuskrip Islam yang ada di Irak banyak diboyong keluar oleh AS. Memang di AS memiliki teknologi yang lebih canggih untuk menjaga manuskrip. Secara negatif mereka mendudukan diri mereka sebagi otoritas dalam berpendapat dan mengambil keputusan. Pendapat dan pemikiran merekalah yang harus didengar dan dipakai.

Apakah benar mereka memasuki dunia pendidikan?

Kebanyakan para pelajar Muslim yang dikirim belajar atau studi ke luar negeri setelah kembali ke Indonesia pikirannya teracuni oleh pemikiran orientalis. Kemudian mereka memiliki posisi yang strategis sepulangnya ke negara asalnya, misalnya menjadi leader dalam dunia pendidikan dan memasuki dunia birokrat. Oleh karena itu mereka mengambil para dosen-dosen dari universitas bahkan kampus-kampus Islam untuk melakukan studi di negaranya agar dapat mewarnai pemikirannya.

Apakah liberalisasi yang telah merebak ke berbagai bidang adalah kerjaan orientalis?

Ya memang. Itu faktor eksternal hasil dari kerja orientalis. Para ahli sejarah umumnya sepakat bahwa Eropa telah mengalami sekularisasi sejak 250 tahun terakhir. Yang masih mereka perdebatkan hanyalah soal bagaimana dan mengapa proses itu terjadi.
Pengaruh liberalisasi lebih gencar terjadi setelah kembalinya dosen-dosen yang belajar ke luar negeri misalnya dari kampus Mc Gill di Kanada. Meskipun demikian orang-orang UIN membantah bahwa yang terjadi itu sangat kecil. Padahal racun orientalis sangat berbahaya walaupun kecil.

Maraknya aliran sesat apakah pekerjaan orientalis?

Secara tidak langsung, iya. Sebab orientalis lebih suka mengetengahkan yang dipinggir, membesarkan yang kecil dan meminggirkan yang di tengah. Misalnya aliran Syiah dan Ahmadiyah, yang kita anggap salah, oleh mereka dikaburkan sehingga seolah-oleh dianggap benar
Musailamah al-Kadzab, mereka mengatakan dari mana kita tahu ia nabi palsu. Mereka beranggapan Nabi Muhammad jadi nabi karena punya kekuatan, kekuasaan dan punya dukungan yang banyak. Musailamah kalah karena tidak punya dukungan.

Apakah orientalis bisa disamakan dengan Diabolisme Intelektual?

Sepanjang pemikiran dan penelitiannya bertentangan dengan kebenaran hakiki dari Ilahi Rabbi, bisa dikatakan sama.

Bagaimana cara mengidentifikasi ilmuwan seperti ini?

Tak sulit mengidentifikasinya, karena ciri-cirinya telah diterangkan dalam al-Qur'an. Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, tapi tak pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Firaun berikut hulu-balangnya, zulman wa 'uluwwan, meski hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum). Mereka selalu mencari argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Yang penting baginya bukan kebenaran tapi pembenaran. Dalam tradisi keilmuwan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut al-'inadiyyah.
Kedua, bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arogan). Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi saw, "Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (Al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas)." (HR Imam Muslim No147) Orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan al-Qur'an atau hadis Nabi saw dianggap dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan lainnya. Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik, skeptis, menghujat al-Qur'an dan Hadits, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis.
Ketiga, bermuka dua dan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang beriman bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha'). Intelektual semacam ini diancam Allah dalam al Qur'an: "Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya." (7:146)
Keempat, mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang bathil dipoles dan dikemas sehingga nampak seolah-olah haq. Sebaliknya, yang haq digunting dan dipreteli sehingga kelihatan seperti bathil. Atau dicampur-aduk keduanya sehingga tak jelas lagi beda antara yang benar dan salah. Strategi ini memang sangat efektif membuat orang lain bingung dan terkecoh.
Contohnya, seperti yang dilakukan oleh pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka mengutip ayat-ayat al Qur'an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi pemikiran liarnya. Untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bil-ma'tsur dari ayat-ayat tersebut.

Berarti sama seperti yang dilakukan kaum orientalis Barat?

Hal ini dilakukan oleh orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al Qur'an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada. Ini tak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur'an 3:71, "Ya ahlal-kitab lima talbisunal-haqq bil-bathil wa taktumul-haqq wa antum ta'lamun?" Yang mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zahirnya Muslim.
Al Qur'an telah mensinyalir: "Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka," (22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa "Sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik," (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab. Wallahua'lam.

Bagaimana cara melawan dan menghadang sepak terjang mereka saat ini?

Kalau kita melihat serpak terjang mereka yang begitu luar biasa, kita bisa berputus asa. Namun al-Qur’an melarang kita berputus apa, memang tidak mesti instan bisa kita selesaikan. Tentunya harus kita lakukan secara berjamaah diberbagai bidang baik di bidang pendidikan (perguruan tinggi), ekonomi dan lembaga swadaya masyarakat yang islami.
Kita harus berani tampil beda untuk melakukan peningkatan di bidang pendidikan agar tidak perlu lagi mengirim para dosen dan guru untuk studi ke luar negeri. Oksidentalisme itu tidak bisa basa-basi. Itu sebenarnya sudah dilakukan sejak lama untuk mengimbangi pemikiran orientalis seperti yang dilakukan di Jerman, membuka jurusan S1 untuk mempelajari sejarah, budaya dan seluk beluk dunia Barat. Sehingga setelah itu mereka bisa masuk dalam dunia pendidikan dan perusahaan milik orientalis untuk menjadi penyeimbang.

sumber : wawancara wartawan SABILI dengan
Dr Syamsuddin Arief MA
Dosen Islamic International University Malaysia

Rabu, 15 Juli 2009

PENDIDIKAN MAZAYA


Pendidikan anak. Dua kata yang selalu membuat saya berfikir keras, bila tiba-tiba saya mengingatnya. Bukan apa-apa, saya hanya merasa hal itu merupakan suatu pekerjaan yang maha berat bagi kami sekeluarga. Zaman sudah berubah. Mendidik anak membutuhkan tenaga ektra. Bisa dibayangkan, perbandingannya, antara tiga puluh tahun yang lalu dengan saat ini. Bagaimana ketika saya kecil orangtua saya menerapkan disiplin yang tinggi bagi anak-anaknya. Kami sekeluarga mengikuti aturan tersebut dengan ikhlas. Sejak kecil kami (saya dan adik-adik) sudah ditanamkan nilai-nilai agama. Pagi sekolah, siang mengaji di dayah, malam mengaji di rumah.
Saat ini...? Dunia sudah berbeda. Walaupun saya dan isteri masih bisa mengajarkan pelajaran agama di rumah, juga mengaji di balai pengajian, namun saya rasa itu belum cukup. Tantangan dari lingkungan yang serba modern, mau tidak mau kami harus menambah kuantitas dan kualitas pelajaran agar mereka, anak-anak saya, dapat berjalan sesuai dengan rel yang digariskan.

Anak saya yang sulung, Ananda Fildza Alifa, tahun ini sudah duduk di kelas 4 MIN Pulo Kiton, Kota Juang. Berprestasi lumayan bagus, walau bukan rangking terbaik. Anak saya yang kedua, Ananda Zhafira Mazaya, tahun ini mulai masuk TK. Mengingat pentingnya pendidikan usia pra sekolah, saya mempercayakan pendidikan formalnya pada TK Azkiyya, yang dikelola oleh rekan-rekan akhwat kader PKS Bireuen. Sementara pendidikan di rumah tetap tugas kami. Dan mengingat saya bertugas jauh dari keluarga, untuk sementara, isteri saya menjadi single parent. Saya tetap memantau setiap hari melalui sarana handphone.

Saya sangat menggaris bawahi pendidikan pra sekolah atau pendidikan anak usia dini. Karena pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar pertumbuhan dan perkembangan si anak. Baik pertumbuhan fisik, daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, sosio emosional, bahasa dan komunikasi.

Ketika si sulung, Fildza masih usia 3-6 tahun, kami sangat memperhatikan soal itu. Dia kami percayakan masuk TK Raudhatul Anfal, yang lumayan bagus untuk ukuran kota Bireuen, saat itu. Begitupun terhadap adiknya, Mazaya, sekarang. Selain menempuh pendidikan formal di TK Azkiyya, di rumahpun pendidikannya kami prioritaskan. Sekedar mengulang info saja, untuk memaksimalkan pendidikan di rumah, kami singkirkan kotak ajaib yang sangat merusak generasi. Ya...kami tidak punya siaran TV. Jadinya seperti rumah tahun 70-an, ketika TV hanya ada di balai desa kampung.

Terkait dengan pendidikan Mazaya, beberapa waktu yang lalu saya usahakan untuk mengantarnya masuk sekolah hari pertama, sekaligus memantau dari dekat model pendidikan usia dini yang diselenggarakan oleh TK Azkiyya, Bireuen. Sebenarnya saya ingin tiap hari menjadi "guide" bagi Mazaya, tapi karena saya harus segera kembali ke Samadua, terpaksa hari-hari berikutnya lakon itu jadi tugas mamaknya .
Pada kesempatan ini, saya abadikan moment saat dia hari pertama sekolah. Mudah-mudahan jadi kenang-kenangan yang berarti.
Terima kasih atas waktu sehari yang sangat berharga saya di Kota Juang.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan.

SEKILAS TENTANG "SANDIWARA LANGIT"

Bagi teman-teman yang pernah membaca tulisan saya sebelumnya, mungkin tidak perlu saya sampaikan lagi bahwa saya adalah salah seorang penggemar Sastra, terutama Sajak, Puisi dan Cerpen. Saya juga gemar membaca, apa saja, terutama terkait dengan politik, hukum, agama dan sebagainya.

Saya sudah hampir enam minggu bertugas di Aceh Selatan. Sebelum berangkat dari Kota Juang, saya membungkus rapi beberapa buku baru, yang belum sempat saya. Diantaranya beberapa buku tentang Obama, Presiden Amerika. Yang lainnya adalah “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” karya Hendro Sobroto yang menceritakan kisah dan posisi Sintong Panjaitan dalam berbagai kejadian penting di negeri ini. Buku lain adalah “Sandiwara Langit” karya Abu Umar Basyier, novel religius. Judulnya ringkas, namun membuat hasrat hati untuk membacanya makin menggebu. Saya pikir isinya pasti menarik………. Sehingga saya mendahulukan novel ini untuk dibaca ketimbang buku-buku yang lain.

Dan benar saja! Ketika mulai membaca lembar demi lembar, saya seperti menonton sebuah film atau drama, dimana seakan-akan alur cerita dan sosok pemerannya terbayang dengan jelas dimata saya. Seberapa hebat sih ceritanya…..? Kenapa saya seperti nonton film. Saya anjurkan Anda membacanya, bisa dengan meminjam (lebih baik membeli)……

Namun sebelumnya, pada kesempatan ini saya akan menguraikan sedikit beberapa sinopsis singkat dari paragraf-paragraf penting yang terdapat dalam bab-bab buku ini.
Adalah Rizqaan, tokoh utama dalam buku ini, salah satu contoh, dari segelintir umat manusia yang secara apik dianugerahi kekuatan dalam menjalani semua takdirnya, yang teramat berat dan sakit menyayat hati. Tokoh penting lainnya adalah Halimah, isteri Rizqaan yang merupakan seorang hamba Allah yang begitu taat pada Tuhannya maupun suaminya.

“Aku mengagumi seorang mukmin. Bila memperolah kebaikan dia memuji Allah dan bersyukur. Bila ditimpa musibah dia memuji Allah dan bersabar. Seorang mukmin diberi pahala dalam segala hal walaupun dalam sesuap makanan yang diangkatnya ke mulut istrinya.” (Riwayat Ahmad dan Abu dawud)

Ia adalah pemuda shalih, yang berjuang keras menyelamatkan diri dari fitnah membujang, dengan segera menikah dengan segala keterbatasan yang ada. Modal belum ada, pekerjaan pun tak punya. Dan Halimah, pemudi yang juga shalihah, putri Pak Rozaq, seorang pengusaha kaya raya menjadi pilihannya. Meski dari keluarga apa adanya, sebagai muslim idealis, ia tak gentar menemui keluarga Halimah, untuk maju meminang. Terkesan nekat, tetapi begitulah, selama itu adalah kebenaran yang diyakin, pantang bagi Rizqaan untuk bersurut langkah.
Keunikan kisah ini, dimulai ketika Pak Rozaq mau menikahkan mereka, namun dengan satu syarat. Bila dalam sepuluh tahun ia tidak bisa sukses dan membahagiakan Halimah, maka ia harus menceraikannya.

Hidup memang benar-benar penuh hal tak terduga, yang kadang begitu sulit dipercaya. Yang tak jarang memaksa kita untuk menerima realita, bahwa itu memang benar terjadi adanya. Selama sepuluh tahun itu, mereka makin menemukan cinta sejati, cinta hanya karena dan kepada Allah semata. Makin kuat, mengakar dan menghebat, lebih dari apa yang mereka bayangkan sebelumnya. Mengokohkan jiwa mereka dan menhadapi segala badai yang menerpa, dari kematian ayah Rizqaan dalam kebakaran pabrik, yang juga membangkrutkan usahanya, hingga berujung pada perceraian yang dipaksakan, demi menepati perjanjian. Atau kisah kematian Halimah yang begitu dramatis, sampai kebesaran hati Rizqaan memaafkan ‘dalang’ penyebab kebakaran sekaligus kematian ayahnya.

Pada bab berikutnya, digambarkan latar belakang kehidupan pemuda shalih bernama Rizqaan ini dan juga pemudi shalihah bernama Halimah, yang nampaknya mempunyai beberapa kesamaan dan idealisme yang membuat mereka cocok satu sama lain. Rizqaan adalah seorang penuntut ilmu yang gigih yang langka dimana dikala kalangan pemuda yang lainnya larut dalam kehidupan dunia muda dengan beragam fenomenanya. Halimah adalah sosok muslimah yang teguh menjalani fitrahnya menjadi seorang muslimah kaffah dilingkungan keluarga yang jauh dari nilai agama.

Dan bab-bab selanjutnya adalah torehan tinta dari perjalanan panjang dan melelahkan dari babak-babak kehidupan dua orang muda-mudi dalam mengayuh dayung sebuah biduk kecil bernama rumah tangga yang mereka bangun dengan dasar ketaqwaan kepada Rabb mereka. Bermacam ujian dan cobaan yang digambarkan, namun senantiasa dihadapi oleh mereka dengan suatu sikap yang sudah selayaknya dimiliki oleh seorang muslim. Juga sampai pada masa-masa cobaan yang mereka sudah bukan dalam bentuk kesulitan namun justru suatu nikmat yang bisa saja menjerumuskan mereka ke jurang kenistaan.
Rizqaan memulai perjuangannya memberi nafkah kepada istrinya dengan mencoba berdagang menjajakan roti dari suatu pabrik dari sedikit modal yang dimilikinya. Kedua insan ini memulai hidup dalam keprihatinan, namun mereka tetap sabar dan yakin akan ketentuan yang diberikan Allah kepada mereka. Dari mulai diceritakan saat-saat mereka hanya makan nasi putih dengan garam dan bawang goreng, dan bermacam cobaan lainnya. Berkat kegigihan dan kejujuran Rizqaan dalam berdagang, juga kesabaran Halimah istrinya untuk menerima keadaan mereka dan keuletannya me-manage keuangan rumah tangga. Pelan tapi pasti kehidupan keduanya berangsur membaik. Rizqaan menjadi penjual roti keliling yang sukses, berkat kejujurannya dan teguhnya memegang prinsip agamanya untuk tidak berdekatan dengan segala hal yang berbau haram maupun syubhat yang melingkupi bidang pekerjaannya. Rizqaan adalah tipe pekerja keras, namun ia bukanlah hamba dunia. Ia bekerja keras untuk mendapatkan dunia, namun ia berniat menundukkan dunia itu agar menjadi ladang akhirat baginya. Kehidupan ruhaninya yang dulu pun tak menjadi rusak dikarenakan kesibukannya mencari harta, bahkan Rizqaan yang hanya lulusan SMA ini telah menjelma menjadi sosok yang layak menyandang gelar Al-Ustadz.

Kebahagiaan keduanya lengkap tatkala mereka mendapatkan keturunan dari Allah. Bisnis Rizqaan semakin maju, hingga kini Rizqaan sudah bukan lagi penjaja roti keliling tapi sudah menjadi seorang pengusaha roti yang mempekerjakan beberapa karyawan. Omzetnya pun bukan lagi puluhan ribu seperti ketika awal-awal ia merintis usahanya, namun sudah menjadi puluhan juta. Kerikil-kerikil tajam sudah barang tentu menjadi selingan dalam kehidupannya.

Pada bulan keenam tahun kesepuluh pernikahan mereka adalah puncak kebahagiaan yang mereka rasakan, tidak ada lagi kesusahan dalam hidup mereka. Rizqaan sudah menjadi seorang pengusaha sukses. Rumah mereka bukanlah rumah petak kontrakan ala kadarnya, namun sudah menjadi rumah mewah dengan pabrik roti di belakangnya. Akhirnya memasuki bulan kesebelas kehidupan yang mereka jalani terasa begitu lambat ketika mereka berusaha untuk mempertahankan kehidupan mereka dan menunggu hingga saat tiba bagi Rizqaan untuk membuktikan janjinya kepada mertuanya. Hingga suatu malam tiba, dimana malam itu pada bulan kedua belas dan hari “H” tinggal hanya dua hari lagi terjadi musibah besar yang memporak-porandakan kehidupan yang selama ini mereka bangun dengan susah payah. Kebakaran melanda pabrik dan rumah mereka, menjadikan mereka bukan hanya kehilangan harta benda tetapi juga kehilangan ayah Rizqaan, yang terperangkap dalam kamar sehingga meninggal dunia. Belakangan di akhir cerita diceritakan, bahwa kebakaran tersebut merupakan ulah dari saudara jahat Halimah yang bernama Asyraf agar ayahnya memenangkan perjanjian dan Halimah menikah dengan lelaki lain yang lebih kaya.

Baru beberapa dua hari berselang dari musibah kebakaran tersebut, musibah lain datang menyapa. Hari itu adalah hari final dari perjanjian yang diucapkan Rizqaan saat akad nikah sepuluh tahun yang lalu. Sang mertua (Bapak Halimah) dengan kejamnya menagih janji dari Rizqaan dan menyatakan bahwa Rizqaan tidak dapat memenuhi janjinya, karena saat ini Rizqaan telah menjadi seorang yang bangkrut. Akhirnya dalam pergulatan batin yang hebat sebagai seorang muslim dan muslimah yang menaati Allah dan Rasulnya. Mau tak mau mereka harus menepati janji mereka.
Pada bab-bab selanjutnya dikisahkan bagaimana Rizqaan merintis kembali usahanya yang telah hancur dengan sekuat tenaga dan ketabahannya menghadapi cobaan. Juga dikisahkan bagaimana kehidupan Halimah selanjutnya selepas menyandang predikat sebagai seorang janda yang sangat tidak dia harapkan. Tak lupa bagaimana rintihan putra mereka Nabhaan yang saat itu berusia delapan tahun ketika menanyakan kenapa kehidupannya tidak bisa bahagia seperti dulu lagi.

Sampai pada suatu saat, ketika ada seorang duda kaya raya anak seorang pejabat yang mengutarakan keinginan untuk menikahi Halimah. Dikisahkan inilah sebab mengapa Asyraf, abang Halimah, melakukan perbuatan keji merusak kehidupan rumah tangga Rizqaan dan Halimah. Namun entah apa yang dibicarakan oleh Halimah, duda tersebut dan ayahnya, ketika mereka berniat melamar Halimah, sehingga menjadikan mereka mengurungkan niat untuk melamarnya. Saat diceraikan oleh Rizqaan, Halimah sedang mengandung anak kedua mereka, dan saat menjadi janda kondisi kesehatan Halimah menjadi memburuk dan ternyata Halimah telah divonis menderita leukimia (kanker darah) dengan diagnosa bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Hari-hari berlalu sampai suatu ketika Ayah Halimah menyadari bahwa Halimah tidak akan bisa menikah dengan lelaki lain selain Rizqaan.

Suatu ketika Halimah dan kedua orang tuanya berkunjung ke rumah Rizqaan yang kini telah mapan kembali. Perangai orangtua Halimah, terutama ayahnya sudah berubah, berbanding terbalik dengan saat-saat sebelumnya. Pada saat itu juga Ayah Halimah menyampaikan usulan agar Rizqaan dan Halimah bersatu kembali. Rizqaan tentu tidak menunggu lama untuk mengambil keputusan, sehingga saat itu juga bersedia dinikahkan kembali. Halimah adalah jantung hatinya, walaupun sebelumnya Halimah sudah menceritakan bahwa dia menderita leukemia, dengan hasil diagnosa dokter bahwa usianya sekitar 4 bulan lagi.

Kebahagiaan mereka berlanjut, sampai suatu ketika datang berita bahwa abang sulung Halimah, Asyraf menjadi buronan polisi dikarenakan kasus narkoba dan juga menjadi dalang penyebab kebakaran gudang dan rumah Rizqaan, yang turut menewaskan ayah Rizqaan. Karuan berita itu membuat kegembiraan mereka semua hilang. Ayah Halimah yang kini menjelma menjadi orang baik hati marah besar kepada anaknya tersebut.
Pada saat bersamaan, Halimah jatuh pingsan dan sakit. Leukimianya kian parah. Ketika ia sempat siuman, dia menanyakan pada Rizqaan tentang keikhlasan bila suatu waktu harus “berpisah” dengannya. Sebagai hamba Allah, Rizqaan tentu saja ikhlas. Dan akhirnya janji Halimah dengan Allah SWT tidak bergeser sedetikpun. Dia menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan suaminya setelah sebelumnya sempat mengucapkan syahadat beberapa kali.

Itulah sepenggal kisah novel religius “Sandiwara Langit” yang memberi banyak hikmah bagi kita semua. Bukan saja bagi kita seorang Muslim, tetapi juga dijadikan sarana dakwah kepada orang-orang yang belum mengenal Islam dengan sekelumit kaidah-kaidah syariyah di dalamnya.

Istimewa buku ini adalah pemaparan kembali dari kisah nyata benar-benar terjadi, untuk bersama kita petik hikmahnya. Makin memikat, saat penyusun kisah, Ustadz Abu Umar Basyier Al-maedany, juga menyisipkan dalil-dalil Al Qur’an dan Assunnah untuk makin memperkuat bahasan.

Mudah-mudahan sedikit pemaparan dari saya membuat “penasaran” rekan-rekan untuk membaca sendiri kalimat demi kalimat dalam novel tersebut. Saya akan melanjutkan membaca buku yang lain. Mudah-mudahan ada waktu senggang disela-sela banyaknya pekerjaan.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan.