Sabtu, 08 Agustus 2009

WS. RENDRA

Innalillahi wainnailaii raji'un....
WS. Rendra, seorang sastrawan besar negeri ini, telah meninggalkan kita semua dua hari yang lalu.

Saya hanyalah orang kampung, rakyat jelata... tidak punya ikatan apa-apa dengan almarhum, bukan saudaranya bahkan saya tidak pernah berkenalan secara langsung dengannya. Namun kala mendapat kabar bahwa beliau kalah melawan penyakitnya dan telah meenghembuskan nafas terakhir, saya seperti orang kehilangan semangat. Saya sangat sedih, sedih sekali.....

WS. Rendra, walaupun saya tidak terlalu mengagumi sosokmu sebagai manusia, namun namamu telah ada di sanubari saya sejak SMP. Rendra adalah salah satu inspirasi saya dalam memaknai hidup, beberapa karyanya telah saya hafal sejak SMA. Saya senang dengan "perlawanan" nya terhadap kekuasaan, sejak Orde Baru mencengkeram negeri ini. Dia bukan penjilat, laksana beberapa seniman kita lainnya yang menjadi "piaran" Istana, zaman dulu. Rendra punya karakter yang berbeda, walaupun tidak selamanya juga menjadi oposisi bagi penguasa.

Saya tidak banyak mencatat kiprah Rendra disini, karena sepak terjangnya pastilah telah dicatat oleh beribu-ribu anak negeri yang kagum padanya, terutama dalam sepekan ini, setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Yang saya tau beliau adalah orang besar, berbadan besar, berjiwa besar, punya keluarga besar, teater besar (Bengkel Teater) dan punya karya-karya besar (yang menjadi bagian dari perjalanan sejarah sastra bangsa ini).
Dan satu lagi, saya tau, beliau sangat berperan besar bagi kemajuan sastra dan pegiatnya di Aceh. Banyak seniman Aceh yang dekat dengan beliau, salah satunya Fikar.W.Eda, salah seorang penyair nasional yang berasal dari Aceh.
Bukan hanya itu, beliau juga punya ikatan emosionil dengan tanah Aceh, termasuk juga dengan Muhammad Nazar, sang Wakil Gubernur. Kedekatan beliau dengan Aceh, barangkali kita bisa kita cermati melalui beberapa puisinya yang menggambarkan tentang Aceh. Malah sejak muda, kala beliau belum jadi Muallaf, sudah tercipta satu puisi tentang Cut Nyak Dien, pahlawan nasional. Puisi yang lahir taun 1963 tersebut cukup untuk menggambarkan bagaimana kecintaannya pada Serambi Mekkah, terutama kekagumannya pada sang pahlawan.

BALLADA CUT NYAK DIEN

Cut Nyak Dhien adalah harimau
yang tabah dan jelita
yang mengintip di antara rerumpun ilalang
di daerah sepanjang Sungai Woyla
yang mengembara dengan dendam yang mulia.
Menumpas kaphe dan penjajah.

Apabila suara ratib sudah menggema
di seluruh rimba
dan rencong serta pedang daun tebu
telah mulai gemerlapan
memantulkan kembali
cahaya bulan dan bintang-bintang
gemetarlah para kaphe dan penjajah
karena tahu bahwa api di tiap dada rakyat Aceh
takkan bisa dipadamkan!!!

Jogya, 10 Juli 1963.

Bukan hanya itu, setelah beliau "orang besar" pun, tidak melewatkan kesempatan untuk berpentas di Aceh. Menurut catatan Fikar W.Eda yang dimuat Harian Serambi, Rendra pertama kali ke Aceh tahun 1970, atas undangan Pemerintah Aceh saat itu. (tahun ini, Wagub Aceh, Muhammad Nazar yang merupakan salah seorang yang dekat dengannya malah belum lahir). Aceh saat itu seperti melawan Jakarta, karena Rendra adalah salah seorang yang menjadi "lawan" penguasa, dulu.
Catatan lainnya adalah "Universitas Syiah Kuala, Guru Kami" yang kemudian digubah menjadi "lagu kebangsaan" Unsyiah yaitu Hymne Universitas Syiah Kuala. Yang menggubahnya aalah Mukhtar Embut. (saya sendiri tidak hafal, karena saya bukan alumni Unsyiah).

Kemudian pada periode selanjutnya, kecintaan Rendra terhadap Aceh tidak berkurang. Penguasa daerah boleh berganti, generasi boleh berubah, namun Rendra tetaplah seorang yang peduli pada Aceh, termasuk ketika tsunami datang meluluhlantakkan negeri endatu dan membawa serta beberapa penyair Aceh dalam pusarannya. Salah satu karyanya yang menggambarkan tsunami adalah "Dimana kamu, Dekna.."

Rendra, betapapun aku tidak mengenalmu secara dekat, namun engkau adalah inspirator saya. Puisi dan sajakmu, memenuhi perbendaharaan saya. Kepulanganmu jelas membuat bangsa Indonesia sedih, termasuk saya. Namun apa hendak dikata, engkau adalah juga manusia biasa. Lahir, hidup kemudian mati. Semua manusia adalah sama, setelah hidup tentu akan mati, tergantung janji masing-masing dengan Allah SWT.
Yang berbeda adalah amalan masing-masing.

Ekspresi saya pada Rendra, saya tulis pada selembar kertas buram, mudah-mudahan akan membuat selalu teringat padamu.

SAJAK LARA UNTUK RENDRA

"ada yang datang, ada yang pergi...."
begitu katamu ketika gelombang raya
membawa serta dan menghanyutkan
beberapa pengisi kolom budaya
koran terkenal di tanoh endatu, lima tahun lalu...
(pada sala seorang teman saya yang menjadi guide-mu ke pusara korban tsunami)

kami tau...
saat itu, bukan engkau tak peduli
dan tak menangisi beberapa kawan
isterinya menjadi janda, anaknya menjadi yatim
karena gelombang raya itu...
dan kami tau...
malah engkau sangat peduli
dan lahirlah "Dimana kamu, Dekna..."

"ada yang datang, ada yang pergi..."
aku yakin kalimat singkatmu itu
bukanlah pidato kematian, seperti yang sering aku dengar
dari para teungku saat melepaskan seseorang
menemui Sang Khalik...
engkau hanya sampaikan fakta hamba Tuhan,
bahwa ada kehidupan, ada kematian

"ada yang datang, ada yang pergi..."
itulah siklus kehidupan
manusia adalah pelakon, yang harus menjalani episode demi episode
skenarionya ada pada Sang Penguasa Alam
dan kini....
giliranmu tuntaskan episode kehidupan
dan sonsong kematian
yang siapapun hamba tak bisa
menundanya sedetikpun

Indonesia belangsungkawa
kepergianmu laksana terbakarnya beribu-ribu kamus
Aceh berduka dan menjadi yatim,
namun semangatmu untuk kami
tetap terpatri

"Dimana kamu, Dekna..." akan kami jaga.

Samadua, Agustus 2009.
Karya ; Mukhlis Aminullah, sebagai ungkapan kehilangan WS.Rendra

Senin, 03 Agustus 2009

JADILAH JIWA YANG IKHLAS

Apakah Anda termasuk orang yang senang membantu orang lain ? Walaupun tidak Anda jawab langsung pada saya, tentu dalam hati Anda masing-masing pasti ada jawaban. Kita pasti pernah menolong orang lain, begitu juga sebaliknya, kita pernah ditolong atau dibantu oleh orang lain. Hal itu merupakan suatu hal yang lumrah terjadi dalam hidup ini, karena kita tidak bisa hidup sendiri. Kita saling membutuhkan. Orang kaya, tidak bisa meneruskan atau melanjutkan usahanya tanpa si miskin yang menjadi buruh atau tenaga kerjanya. Begitu juga si miskin, membutuhkan si kaya sebagai orang memberinya pekerjaan. Saling ketergantungan dan saling memberi/membantu adalah fitrah manusia. Hanya saja, manusia selalu merasa dirinya paling hebat, bisa hidup tanpa orang lain. Baru memberi sedikit, telah merasa memberi banyak. Baru menolong orang sekedar saja, sudah merasa jadi dewa penolong.
Itulah sifat manusia, tidak ikhlas. Semakin kita sering menganggap diri penuh jasa dan penuh kebaikan pada orang lain, apalagi menginginkan orang lain tahu akan jasa dan kebaikan diri kita, lalu berharap agar orang lain menghargai, memuji, dan membalasnya maka semua ini berarti kita sedang membangun penjara untuk diri sendiri dan sedang mempersiapkan diri mengarungi samudera kekecewaan dan sakit hati.

Ketahuilah bahwa semakin banyak kita berharap sesuatu dari selain Allah SWT, maka semakin banyak kita akan mengalami kekecewaan. Karena, tiada sesuatu apapun yang dapat terjadi tanpa ijin Allah. Sesudah mati-matian berharap dihargai makhluk dan Allah tidak menggerakkan orang untuk menghargai, maka hati ini akan terluka dan terkecewakan karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk. Belum lagi kerugian di akhirat karena amal yang dilakukan berarti tidak tulus dan tidak ikhlas, yaitu beramal bukan karena Allah.

Selayaknya kita menyadari bahwa yang namanya jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain, sesungguhnya bukanlah kita berjasa melainkan Allah-lah yang berbuat, dan kita dipilih menjadi jalan kebaikan Allah itu berwujud. Sesungguhnya terpilih menjadi jalan saja sudah lebih dari cukup karena andaikata Allah menghendaki kebaikan itu terwujud melalui orang lain maka kita tidak akan mendapat ganjarannya.

Jadi, ketika ada seseorang yang sakit, lalu sembuh berkat usaha seorang dokter. Maka, seberulnya bukan dokter yang menyembuhkan pasien tersebut, melainkan Allah-lah yang menyembuhkan, dan sang dokter dipilih menjadi jalan. Seharusnya dokter sangat berterima kasih kepada sang pasien karena selain telah menjadi ladang pahala untuk mengamalkan ilmunya, juga telah menjadi jalan rizki dari Allah baginya. Namun, andaikata sang dokter menjadi merasa hebat karena jasanya, serta sangat menuntut penghormatan dan balas jasa yang berlebihan maka selain memperlihatkan kebodohan dan kekurangan imannya juga semakin tampak rendah mutu kepribadiannya (seperti yang kita maklumi orang yang tulus dan rendah hati selalu bernilai tinggi dan penuh pesona). Selain itu, di akhirat nanti niscaya akan termasuk orang yang merugi karena tidak beroleh pahala ganjaran.

Juga, tidak selayaknya seorang ibu menceritakan jasanya mulai dari mengandung, melahirkan, mendidik, membiayai, dan lain-lain semata-mata untuk membuat sang anak merasa berhutang budi. Apalagi jika dilakukan secara emosional dan proporsional kepada anak-anaknya, karena hal tersebut tidak menolong mengangkat wibawa sang ibu bahkan bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya. Karena sesungguhnya sang anak sama sekali tidak memesan untuk dilahirkan oleh ibu, juga semua yang ibunya lakukan itu adalah sudah menjadi kewajiban seorang ibu.

Percayalah bahwa kemuliaan dan kehormatan serta kewibawaan aeorang ibu/bapak justru akan bersinar-sinar seiring dengan ketulusan ibu menjalani tugas ini dengan baik, Insya Allah. Allah-lah yang akan menghujamkan rasa cinta di hati anak-anak dan menuntunnya untuk sanggup berbalas budi.

Seorang guru juga harus bisa menahan diri dari ujub dan merasa berjasa kepada murid-muridnya. Karena memang kewajiban guru untuk mengajar dengan baik dan tulus. Dan memang itulah rizki bagi seseorang yang ditakdirkan menjadi guru. Karena setiap kebaikan yang dilakukan muridnya berkah dari tuntunan sang guru akan menjadi ganjaran tiada terputus dan dapat menjadi bekal penting untuk akhirat. Kita boleh bercerita tentang suka duka dan keutamaan mengajar dengan niat bersyukur bukan ujub dan takabur.

Perlu lebih hati-hati menjaga lintasan hati dan lebih menahan diri andaikata ada salah seorang murid kita yang sukses, jadi orang besar. Biasanya akan sangat gatal untuk mengumumkan kepada siapapun tentang jasanya sebagai gurunya plus kadang dengan bumbu penyedap cerita yang kalau tidak pada tempatnya akan menggelincirkan diri dalam riya dan dosa.

Andaikata ada sebuah mobil yang mogok lalu kita membantu mendorongnya sehingga mesinnya hidup dan bisa jalan dengan baik. Namun ternyata sang supir sama sekali tidak berterima kasih. Jangankan membalas jasa, bahkan menengok ke arah kita pun tidak sama sekali.. andaikata kita merasa kecewa dan dirugikan lalu dilanjutkan dengan acara menggerutu, menyumpahi, lalu menyesali diri plus memaki sang supir. Maka lengkaplah kerugiannya lahir maupun batin. Dan tentu saja amal pun jadi tidak berpahala dalam pandangan Allah karena tidak ikhlas, yaitu hanya berharap balasan dari makhluk.

Seharusnya yang kita yakini sebagai rizki dan keberuntungan kita adalah takdir diri ini diijinkan Allah bisa mendorong mobil. Silahkan bayangkan andaikata ada mobil yang mogok dan kita tidak mengetahuinya atau kita sedang sakit tidak berdaya, niscaya kita tidak mendapat kesempatan beramal dengan mendorong mobil. Atau diri ini sedang sehat perkasa tapi mobil tidak ada yang mogok, lalu kita akan mendorong apa?

Takdir mendorong mobil adalah investasi besar, yakni kalau dilaksanakan penuh dengan ketulusan niscaya Allah yang Maha Melihat akan membalasnya dengan balasan yang mengesankan. Bukankah kita tidak tahu kapan kita akan mendapatkan kesulitan di perjalanan, maka takdir beramal adalah investasi.

Mari kita bersungguh-sungguh untuk terus berbuat amal kebajikan sebanyak mungkin dan sesegera mungkin. Setelah itu mari kita lupakan seakan kita tidak pernah melakukannya, cukuplah Allah yang Maha Melihat saja yang mengetahuinya. Allah SWT pasti menyaksikannya dengan sempurna dan membalasnya dengan balasan yang sangat tepat baik waktu, bentuk, ataupun momentumnya. Salah satu ciri orang yang ikhlas adalah senang menyembunyikan amalannya bagai menyembunyikan aib-aibnya.

Mudah-mudahan kita menjadi orang yang ikhlas, untuk diri sendiri maupun membantu orang lain. Insya Allah kita akan jadi hamba Allah SWT yang penuh rahmat.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan.

PERJALANAN MELINTASI KUBURAN ANEUK MANYAK


Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan diri pulang kampung ke Bireuen, menjenguk keluarga. Setelah saya tinggalkan beberapa minggu, karena harus melaksanakan tugas di Samadua, kepulangan kali ini tentu saja membawa selaksa kerinduan pada anak-anak, isteri dan orangtua serta adik-adik tercinta. Saya membayangkan, seraut wajah teduh perempuan ”penjaga rumah”, akan menyambut saya dengan cinta...... Saya tidak melupakan hangatnya pelukan dua gadis kecil ketika saya pulang pertama kali, bulan lalu. Saya membayangkan, sambutan yang sama akan menunggu di pintu rumah.
Tapi untuk itu saya harus menempuh ratusan kilometer, jalan berkelok, berliku, curam dan sempit. Itulah jalan peninggalan penjajah Belanda yang pada awalnya adalah jalan setapak. Konon, jalan tersebut dibuat untuk mempersingkat jarak tempuh antara Meulaboh dengan Pidie. Sebelumnya, untuk menuju Meulaboh dari Pidie, atau sebaliknya, harus melalui Banda Aceh, pada masa itu masih bernama Koetaradja.

Ya, untuk sampai ke Bireuen, sekarang bisa melewati puncak Geumpang menuju kawasan Pidie di utara. Kalau saya berangkat dari Samadua, tentu saya harus melewati tiga Kabupaten sebelum ”mendaki” gunung menuju Beureunun, kemudian melanjutkan perjalanan ke kampung halaman di Kota Juang tercinta, juga melewati dua Kabupaten lagi.

Perjalanan sejauh itu sangat melelahkan, namun saya menikmatinya dengan beberapa alasan. Pertama, saya yakin bahwa kepulangan saya akan disambut sukacita oleh keluarga, terutama isteri dan anak-anak. Sepasang mata indah, akan membawa saya tenggelam pada seribu danau. Tatapan rindu memancarkan aura keteduhan, yang bisa membuang gelisah, berhari-hari dan berminggu-minggu sendiri di Samadua.
Kedua, saya adalah orang yang suka ”berpetualang”. Perjalanan, jauh atau dekat, selalu saya nikmati. Setiap jengkal aspal dan ribuan meter tanah Tuhan yang yang saya lewati, beberapa diantaranya saya catat dalam memori yang terdalam. Ketika melewati gunung demi gunung, memecah belah kesunyian Tutut, Geumpang, Mane dan Tangse saya faham dengan banyaknya eksplorasi alam milik Tuhan, yang dilakukan oleh tangan-tangan jahil manusia.

Pada kesempatan kali ini saya tidak akan menulis tentang terbakarnya hutan Tangse, walaupun saya prihatin dengan kejadian itu. Biarlah insan pers dan aktivis lingkungan yang akan menyampaikan hal itu untuk masyarakat. Saya hanya ingin menulis ulasan tentang ”Kuburan Aneuk Manyak”, pada kelanjutan tulisan ini. Masalah kerinduan, sudah saya hantarkan pada awal tulisan ini. Sengaja, dalam perjalanan kali ini, saya luangkan waktu untuk singgah di kuburan tersebut untuk mengetahui sejarahnya, sekaligus sambil beristirahat di warung yang ada disekitar, sebagai penghilang rasa capai dan membunuh rasa lelah.

”Kuburan Aneuk Manyak” adalah legenda. Dan saya yakin, sebagian kecil masyarakat sudah pernah mengunjungi atau melintasi kuburan tersebut yang letaknya persis di pinggir jalan negara yang menghubungkan Meulaboh dengan Beureunun, berada dalam wilayah Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat.
Dari tulisan yang ditempelkan pada kuburan dan penjelasan singkat dari Majelis Adat Geumpang, terurai jelas sebuah kisah singkat tentang keberadaan kuburan tersebut. Seorang pemuda dari Meulaboh yang bernama Teungku Marhaban menikahi gadis asal Geumpang yang bernama Maisarah. Perkawinan itu dikaruniai seorang putera yang sangat tampan, menjadi buah hati yang mengisi hari-hari bahagia keluarga mereka. Sayang, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama, pada usia perkawinan menginjak 5 (lima) tahun, Maisarah meninggal dunia. Tinggallah Teungku Marhaban menduda, sambil mendidik anak semata wayangnya yang berusia 4 (empat) tahun.

Beberapa saat setelah kematian isterinya itu, Teungku Marhaban masih menetap di Geumpang, hingga kemudian beliau berniat untuk pulang ke Meulaboh. Untuk mencapai Meulaboh, harus melalui jalan setapak yang menghubungkan Geumpang ke Sungai Mas, cikal bakal jalan yang kita gunakan sekarang. Sejak dahulu, jalan ini sudah ramai digunakan oleh pejalan kaki, baik oleh serdadu Belanda di saat berpatroli maupun oleh pejuang Aceh yang bergerilya mencari informasi antara Pidie dan Meulaboh.
Memenuhi maksudnya untuk menetap di Meulaboh, beliau menjual seluruh harta benda, sehingga ia membawa uang dalam jumlah yang banyak, termasuk kepingan uang emas. Kabar kepulangan tersebut diberitahukan kepada seluruh kerabatnya. Salah seorang temannya secara sengaja mendatangi beliau untuk menanyakan kapan persisnya kepulangan tersebut. Tanpa menaruh rasa curiga, Teungku Marhaban pun membeberkan tanggal dan hari keberangkatannya ke Meulaboh.

Hari berganti, ayah dan anak piatu yang ditemani seorang sahabatnya itu melenggang pulang ke tanah kelahirannya. Dengan tertatih menyusuri jalanan yang terjal, bebatuan, hingga semak belukar yang menjadi dinding langkahnya, tibalah ketiga si pengembara di Gampong Bangkeh. Tepatnya di rumah geuchik setempat, yang kala itu dijabat oleh Keuchik Daud.

Dengan penuh rasa hormat, Teungku Marhaban memohon untuk bermalam di rumah orang yang paling disegani oleh masyarakat itu. Keesokan harinya, mereka bertiga kembali pamit untuk melanjutkan perjalanan semula, dengan menenteng “bu kulah” (nasi bungkus pakai daun pisang). Namun, entah bagaimana kelanjutannya, sahabat yang setia menemani itu sekitar dua hari berselang, tiba-tiba bergegas kembali pulang ke Gampông Bangkeh, sekaligus untuk kedua kalinya berjumpa dengan Keuchik Daud. Mereka sempat berbincang dengan warga setempat.

Sang sahabat tadi mengaku tak dapat melanjutkan perjalanan menemani Teungku Marhaban, karena terserang demam tinggi. Dia mengatakan khawatir penyakit yang dideritanya akan bertambah parah hingga diputuskan hari itu juga meninggalkan Gampong Bangkeh. Selanjutnya, dia meyebutkan perlu berobat ke Pidie.
Keesokan harinya, kawasan Geumpang yang dilalui Teungku Marhaban dan anaknya didatangi segerombolan serdadu Belanda. Setiba di Gampong Bangkeh, mereka menanyakan kepada Keuchik setempat, apakah dalam beberapa hari terakhir ini ada masyarakat yang melintas di jalan tersebut. Pasalnya, serdadu Belanda itu menemukan dua mayat terbujur kaku, tergeletak di kawasan Neungoh Ukheue Kayee (Pendakian Akar Kayu), yang merupakan korban penganiayaan. Tubuh kedua mayat tersebut tercabik-cabik dengan kondisi mengenaskan.

Keuchik Daud, atas perintah Ulee Balang, langsung memerintahkan masyarakat Bangkeh mengecek kebenaran berita tersebut. Setelah didalami dan ditelusuri dengan sesakma, ternyata dua mayat dimaksud adalah Teungku Marhaban dan anaknya yang berusia 4 tahun. “Lehernya digorok, tubuhnya tercabik-cabik terkena sayatan senjata tajam. Keduanya dikebumikan dalam satu lobang, mengingat sudah membusuk dan tragis sekali nasibnya. Ini Jelas-jelas akibat penganiayaan,” ungkap warga kala itu kepada Keuchik Daud.

Keterangan tersebut dilaporkan pada Ulee Balang untuk selanjutnya dilakukan penyelidikan. Hasil informasi yang digali dan dikumpulkan dari beberapa warga yang melihat terakhir kalinya almarhum, disimpulkan bahwa yang melakukan pembunuhan adalah sahabat Teungku Marhaban sendiri.
Di bawah perintah Ulee Balang, kemudian sahabat yang menemani Teungku Marhaban akhirnya ditangkap. Hasil interogasi aparat gampông setempat, orang tersebut mengakui telah membunuh Teungku Marhaban dan anaknya untuk memperoleh harta benda yang dibawa saudagar itu. Tersangka pun dijatuhi hukuman berdasarkan hukum adat kala itu.

Untuk mengenang sejarah itu, masyarakat setempat pun akhirnya menamakan kawasan tersebut dengan naman Dusun Kubu Aneuk Manyak, masuk ke wilayah Gampong Tungkop, Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat. Bahkan, di samping makam dibangun sebuah musholla oleh Bank BPD Aceh yang diberi nama Al-Muhajirin, sebagai tempat beribadah bagi para pengguna jalan yang singgah di sana.

Demikianlah sekilas cerita ”Kuburan Aneuk Manyak” yang menyertai kepulangan saya kali ini, mudah-mudahan menarik minat Anda yang melintas untuk singgah sejenak di sana. Saya harus melanjutkan "perjalanan" menemui beberapa bidadari saya, yang sudah menunggu.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan.