Sabtu, 05 September 2009

TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL FATIHAH

Tidak ada surat dalam Al-Quran yang lebih terkenal daripada Surat Al-Fatihah. Hampir tidak ada Muslim yang tidak hafal surat ini, karena ia merupakan bacaan wajib dalam shalat. Surat ini dinamakan Ummul-Quran (induk Al-Quran), Sab'ul-Matsani (tujuh yang diulang-ulang), Fatihatul-Kitab (Pembukaan Kitab Al-Quran) dan Al-Hamdu (Pujian).

Sayangnya kepopuleran surat itu tidak dibarengi oleh pemahaman yang mendalam terhadap pesan hakiki yang terdapat dalam surat itu. Padahal sebagai intisari Al-Quran, Al-Fatihah mengandung makna dan keutamaan yang luar biasa. Ini terbukti dari adanya nash-nash yang secara khusus membicarakan tentang surat ini.

Imam Muslim dan Nasa'i meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa suatu ketika pintu langit terbuka. Kemudian turun malaikat yang menemui Nabi Muhammad Saw dan mengatakan, "Gembirakanlah ummatmu dengan dua cahaya. Sungguh, keduanya hanya diberikan kepadamu dan tidak diberikan kepada Nabi sebelummu, yaitu Fatihatul Kitab dan beberapa ayat terakhir Surat Al-Baqarah."

Demikian besarnya keutamaan Surat Al-Fatihan sehingga sejumlah mufassir (ulama ahli tafsir) sampai harus menafsirkan surat pendek itu dalam berjilid-jilid kitab. Ibnul Qoyyim Al-Jauzy misalnya, tafsirannya terhadap ayat ke-5 Al-Fatihah begitu panjang hingga menjadi satu buku tebal bernama "Madarijus-Salikin".

Tiga Golongan

Di antara sekian banyak keutamaan Surat Al-Fatihah adalah petunjuk tentang penggolongan manusia. Pada dua ayat terakhir surat Al-Fatihah, sebagaimana tertera pada bagian atas tulisan ini membagi manusia dalam tiga kelompok, yakni: pertama, orang-orang yang diberi nikmat (alladzina an'amta 'alaihim). Kedua, orang-orang yang dimurkai (al-maghdhub). Dan ketiga, orang yang sesat (adh-dhallin).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, yang dimaksud dengan golongan pertama atau orang-orang yang diberi nikmat adalah para malaikat, nabi-nabi, shiddiqin (orang-orang yang benar dan tidak menyimpang dari jalan Allah), para syuhada (orang yang mati syahid) dan orang-orang shalih. Mereka adalah orang-orang yang menjalankan Islam dan syariatnya secara integral (kaffah) dan konsisten (istiqomah), yang karena itu mereka merasakan kebahagian sejati di dunia dan akhirat..

Mereka memiliki ciri-ciri pokok. Yakni, aqidah mereka kokoh dan bersih dari syirik. Karena itu kecintaan mereka kepada Allah begitu dahsyat. Indikasinya terlihat dari komitmen mereka yang tinggi untuk berpegang teguh pada syariat Allah dan berjihad dengan mengorbankan segala apa yang ada pada diri mereka (harta, nyawa, waktu dan lain-lain) untuk menegakkan syariat itu.

Dari sisi ibadah, mereka adalah orang-orang yang rajin, tekun dan khusyu'. Mereka sangat lahap menyantap berbagai ibadah wajib maupun sunnah. Meski begitu, praktek ibadah mereka bersih dari bid'ah (ibadah yang tidak diajarkan Nabi).

Sebagai konsekuensi aqidah yang bersih dan dan ibadah yang baik itu, akhlak mereka senantiasa terpuji dan mulia. Setiap kiprah dan tindak-tanduk mereka pekat dengan nuansa rahmatan lil 'alamin (menebarkan rahmat bagi alam semesta) dan bermanfaat bagi setiap orang. Mereka inilah yang pada bagian awal surat Al-Baqarah digolongkan sebagai orang mukmin, yang beriman dengan sebenar-benarnya.

Sementara golongan kedua, golongan yang dimurkai (al-maghdhub), berdasarkan kajian dalam Al-Quran dan Sunnah adalah mereka yang jelas-jelas berada di luar tuntunan Islam. Mereka mengikat diri dengan selain Allah. Keyakinan-keyakinan lebih banyak didominasi logika hawa nafsu dan seluruh aktivitas hidup mereka hanya ditujukan semata-mata untuk mengejar kepentingan duniawi.

Wajar kalau perilaku hidup mereka rusak dan merusakkan orang lain serta lingkungan. Kalaupun ada yang tampak bermoral, itu bukan didasarkan atas tuntunan syariat Allah, tapi sekedar memenuhi kelaziman sosial. Mereka inilah yang dalam Al-Baqarah disebut kafir, menolak kebenaran Islam.

Adapun golongan ketiga, golongan sesat (adh-dhallin) adalah orang-orang yang mengaku Muslim, tapi akidah mereka rusak. Misalnya, mereka menjalankan ajaran Islam tapi mereka juga masih percaya kepada berbagai tahkayul dan dukun/ paranormal serta bersekutu dengan jin. Ibadah mereka juga tidak sempurna, kurang tekun dan rajin serta kering dari kekhusyu'an. Ada yang rajin, tapi dipenuhi bid'ah.

Akhlak mereka jauh dari nilai-nilai mulia seperti yang dicontohkan Rasulullah. Sebaliknya, gaya hidup mereka jahiliyyah (bodoh, rusak), mengikuti selera nafsu dan pola hidup orang kafir. Mereka inilah yang dalam Al-Baqarah disebut munafiq.

Yahudi-Nasrani

Ibnu Katsir juga menyebutkan sejumlah riwayat yang menerangkan bahwa golongan kedua adalah ummat Yahudi, sedangkan golongan ketiga adalah ummat Nasrani. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari 'Ady bin Hatim, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya mereka yang dimurkai adalah orang Yahudi dan mereka yang sesat adalah orang Nasrani."

Kemurkaan memang diberikan kepada orang Yahudi sebagaimana dipertegas oleh Allah dalam Al-Quran: "Katakanlah: Apakah akan aku beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah…" (Surat Al-Maidah: 60)

Sedangkan kesesatan disematkan kepada orang Nasrani sebagaimana firman Allah: "Yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (Surat Al-Maidah: 77)

Karena Hidayah

Apa yang membuat manusia terbagi ke dalam tiga golongan? Secara tersirat Allah menyebutkan jawabannya pada ayat keenam, "Ihdinash-shirathal mustaqim, tunjukilah kami jalan yang lurus." Ayat inilah yang dijabarkan pada ayat ketujuh di atas, dimana jalan yang lurus (Ash-shirath al-Mustaqim) adalah jalan golongan pertama dan bukan golongan kedua dan ketiga. Dengan demikian, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, jalan kedua golongan terakhir ini adalah jalan yang tidak lurus (Ash-shirath ghairul Mustaqim).

Pertanyaan berikutnya, apa yang menyebabkan terjadinya kedua jalan tersebut? Lagi-lagi secara tersirat dalam ayat yang sama (keenam) Allah memberi jawabannya. Yakni petunjuk (hidayah), yang diambil dari kata kerja ihdi-naa (tunjukilah kami). Hidayahlah yang menyebabkan sesorang menempuh jalan yang lurus atau jalan yang menyimpang. Hal ini telah dinyatakan Allah dalam firman-Nya:
"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya (manusia) dua jalan." (Surat Al-Balad: 10)
"Sesungguhnya Kami telah menunjukinya (manusia) jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (Surat Al-Insan: 3)

Seseorang yang mendapat petunjuk dan mengikutinya berarti mendapatkan bimbingan dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai fitrahnya. Kesesuaian antara petunjuk sebagai faktor eksternal dan nilai-nilai fitrah sebagai faktor internal akan menjadikan kehidupan sesorang berjalan dalam keseimbangan menuju tujuan yang sebenarnya, yakni akhirat. Nilai keseimbangan itulah yang diumpamakan dengan Ash-shirath al-Mustaqim karena jalan itu bisa mengantarkan seseorang kepada tujuan hidupnya yang hakiki.

Sebaliknya orang yang menyimpang berarti tidak mendapatkan petunjuk yang membimbingnya kepada kehidupan yang semestinya dijalani sebagai ciptaan Allah. Orang jenis ini dalam Al-Fatihah dibagi dalam dua kategori yakni orang yang dimurkai dan orang yang sesat.

Lagi-lagi, pertanyaannya kemudian adalah, apa yang membuat seseorang itu bisa mendapat hidayah dan mengikutinya atau tidak memperoleh dan tersesat dari jalannya? Inilah yang dijelaskan dalam ayat kelima: "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" (hanya kepada Engkaulah kami menyembah/mengabdi/beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).

Ibadah (na'budu) dan sikap ketergantungan (nasta'in) mutlak yang ditujukan hanya kepada Allah semata adalah rahasia turunnya hidayah Allah kepada seseorang. Ibadah di sini baik dalam arti luas yakni menundukan seluruh dimensi dan perilaku hidup dibawah kendali Allah maupun dalam arti sempit yakni ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Adapun ketergantungan bermakna penyerahan segala urusan dan hajat kehidupan kepada Allah Yang Maha Kaya, Maha Kuat dan Maha Kuasa.

sumber: Hidayatullah Edisi 01/XVI 2003 - Mutiara Qur`an

Rabu, 02 September 2009

AYAH


Ayah...! Insya Allah semua orang di dunia ini punya Ayah. Barangkali yang tidak punya Ayah hanyalah Nabi Isa AS, yang mana keberadaan beliau berasal dari suatu dzat Allah yang ditiupkan ke dalam rahim Ibunya, Maryam.

Saya tiba-tiba ingin menulis tentang Ayah... Inspirasi utama adalah membayangkan anak saya, Zhafira Mazaya, yang selalu menangis bila dia mendengar alunan MP3 "Ayah" milik Seuriues Band di hp ibunya. Dia terlalu menghayati lagu tersebut, sehingga bisa tiba-tiba menangis teringat saya. Ya, memang sudah 3 (tiga) bulan kami berpisah, sejak saya ditugaskan di Samadua, Aceh Selatan. Walaupun pada waktu tertentu saya menyempatkan diri untuk pulang, tentu saja tidak cukup untuk membuat dia tidak menangis bila teringat saya. Apalagi mendengar suara serak-serak basah Candil menyanyikan lagu itu.....

Selain faktor saya pribadi, yang juga telah menjadi seorang Ayah, tentu faktor lain adalah karena saya punya seorang Ayah yang sangat luar biasa yang telah menjadi panutan kami selama ini. Saya sendiri tidak memanggilnya Ayah, namun sejak kecil sudah biasa memanggil Bapak.....

Bapak saya, Tgk Aminullah Amin, adalah asli putera kelahiran Leubu Me, Kacamatan Makmur, Kabupaten Bireuen, 60 tahun yang lalu. Ayahnya adalah Tgk.M.Amin Yusuf, konon berasal dari Pante Gajah, Peusangan dan Ibunya, Aminah Luwi merupakan wanita asli dari Leubu yang merupakan anak dari Tgk Luwi (seorang Peutuha---Keuchik pada masa kolonial). Dari cerita almarhum nenek, saat saya masih SMP, dikisahkan bahwa diantara beberapa puteranya, hanya Bapak sayalah yang lancar menempuh pendidikan umum maupun pendidikan agama. Bukan berarti mengesampingkan paman-paman saya, bukan...! Mereka para paman saya juga punya kisah tersendiri, yang berbeda dengan Bapak saya.
Bapak saya sejak kecil sudah dibiasakan disiplin oleh nenek, baik dalam hal pendidikan maupun pengajian. Jadilah Aminullah kecil seorang yang patuh pada orangtuanya, pagi sekolah, malam hari mengaji pada Tgk Hasan di Leubu Me. Karena sejak kecil sudah lurus-lurus saja, jadilah ia sebagai santri kesayangan Tgk Hasan. Kemudian saat remaja, Bapak sekolah di PGA Geurugok, juga menjadi kesayangan Tgk Usman Maqam, salah seorang ulama kharismatik. Semua cerita ini saya dapatkan dari nenek, saat beliau masih hidup.

Kemudian pada saat berumur 23 tahun Bapak menikahi Ibu, yang saat itu merupakan adik kelasnya di PGA. Lebih kurang 2 tahun kemudian, lahirlah saya ke dunia, sebagai anak lelaki pertama dalam keluarga. Kehidupan keluarga muda Aminullah-Aisyah serba kekurangan. Pada saat itu Bapak hanyalah seorang Pegawai Honorer di Kantor Camat Makmur, dengan gaji tidak cukup untuk beli beras, apalagi membeli kebutuhan lainnya. Disamping itu juga Bapak sempat mengajar pada MTsaIN Geurugok (sekarang MTsN), juga sebagai guru bakti, yang tidak punya penghasilan yang jelas. Namun hidup harus terus berjalan. Pada waktu senggang, Bapak tidak malu untuk membawa hasil kebun ke pasar, untuk menunjang kebutuhan pokok, yang rasanya juga tidak pernah cukup. Beliau seorang yang gigih, dan saya rasa itu salah satu yang membuat Ibu saya tertarik untuk menjadi isteri Bapak.

Waktu terus berlalu, untuk membantu Bapak, Ibu saya juga mengajar sebagai Guru Honorer di SD Negeri Leubu. Juga menerima jahitan, serta menerima upahan dari menganyam tikar pandan dari orang-orang kampung. Tahun 1976, lahirlah adik perempuan saya, Tuti Liana. Kehidupan kami masih juga prihatin. Namun dengan semangat tinggi, Bapak dan Ibu terus berjuang menghidupi anak-anaknya.

Sebagai seorang Ayah, saya sangat merasakan bimbingannya. Kami sejak kecil sudah dibiasakan disiplin. Dalam hal mendidik kami, Bapak adalah seorang yang tegas, namun sangat sayang pada anak-anaknya. Saya masih ingat, saat saya kecil, karena saya melanggar aturannya, membolos pengajian, pernah menghukum saya dengan mengurung di kamar. Pada saat yang lain, saya juga dihukum dalam bentuk yang lain. Terus terang saja, karena itulah, saya harus berterima kasih. Kalau saja kami dulu dididik dengan manja, entah apa jadinya kami, sekarang.

Selanjutnya adalah soal karir beliau. Tahun 1979, adalah tahun dimulainya era baru dalam perkembangan karir Bapak selanjutnya. Beliau diangkat jadi PNS, golongan rendah, bukan sebagai Guru, namun sebagai Tenaga Administrasi pada Kantor Camat. Sudah cukup untuk memulai langkah membangun masa depan keluarga. Saat itu, si Tuti adalah adik saya satu-satunya. Baru beberapa tahun kemudian, tiga adik yang lain melengkapi keluarga besar kami.

Pada tahun 1986, Bapak dipindah tugaskan ke Kantor Camat Gandapura. Beliau masih pegawai golongan rendah. Namun waktu dan kesempatan selalu dimanfaatkan oleh Bapak untuk belajar dan belajar. Karena ketekunannya, beberapa Camat yang bertugas disana, terus mempercayai Bapak untuk terus berkembang. Sampai pada akhirnya, Bupati Bireuen mempercayai-nya sebagai Camat Gandapura pada tahun 2004, setelah sebelumnya sempat menjadi Sekcam selama tiga tahun. Menjadi Camat adalah jenjang tertinggi pengabdiannya sebagai aparat birokarsi. Kepercayaan itu tidak pernah diimpikan, sehingga Bapak memaknai-nya sebagai sebuah tanggung jawab. Namun seiiring dengan karir-nya, kehidupan kami mengalami peningkatan, walau bukan jadi orang kaya, setidaknya sudah dalam katagori sederhana. Alhamdulillah, Bapak, dengan dibantu Ibu, sanggup mendidik saya beserta adik-adik menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi.
Pada tahun 2007, kesempatan Bapak berkarir telah habis. Pensiun sebagai PNS. Dengan berbagai pengalamannya sebagai abdi masyarakat, ditunjang oleh sifatnya yang tidak bisa diam, beliau tetap aktif dalam kemasyarakatan. Pada bidang agama, Bapak masih dipercayakan sebagai Imuem Chiek Mesjid AL-IKHLAS Leubu Me, Kecamatan Makmur, dari 1996 sampai sekarang.

Pada tahun 2007, setelah pensiun, Bapak memulai babak baru dengan terjun ke politik. Walaupun belum sepenuhnya, namun sudah aktif menjadi anggota Tim Kampanye Calon Bupati/Wakil Bupati Bireuen, Drs.Anwar Idris/Syahrizal H.Saifuddin, yang diusung oleh PPP. Pada saat itu juga beliau tercatat sebagai anggota PPP. Setelah Pilkada Bupati Bireuen selesai, aktifitas di partai mulai menurun, namun Bapak masih meluangkan waktu untuk belajar. Disamping mengsisi waktu senggang, juga sebagai persiapan, seandainya menjadi Caleg pada Pemilu 2009. Tahun 2008, saat tahapan Pemilu baru dimulai, Bapak sudah mulai menghitung peluang. Seringkali terlibat diskusi dengan saya. Pengalaman saya sebagai Anggota KPU Bireuen selama lima tahun, membawa pencerahan tersendiri. Setidaknya beberapa pengalaman saya, berguna sebagai referensi bagi Bapak.
Nah, saat itu, walaupun Bapak mengantongi KTA sebagai kader PPP, beberapa Partai lain terus saja menawarkan posisi Caleg pada beliau. Hal yang wajar, karena beliau adalah seorang tokoh masyarakat. Namun beliau selalu menolak. Akhirnya Bapak benar-benar menolak dan memutuskan, tidak mau menjadi Caleg dari partai manapun. Pada kesempatan itu juga beliau mengundurkan diri sebagai kader PPP.

Pencalonan Caleg sudah pada hari-hari terakhir, ketika sebuah tawaran dari Partai Demokrat, menghentak lamunan saya. Melalui perantaraan saya-lah, pengurus Partai tsb mengajak Bapak untuk membantu mewujudkan visi dan misi SBY, dengan menjadi Caleg untuk DPRK Bireuen. Pada awalnya Bapak menolak, sampai akhirnya saya berhasil meyakinkannya. Jadilah beliau sebagai Caleg Partai Demokrat untuk DP Bireuen 4.


Mengingat kondisi keuangan kurang memungkinkan, kampanye yang dilakukan hanya dari mulut ke mulut saja. Namun para simpatisan Bapak terus berdatanganke rumah, sebagai wujud dukungan kepada beliau.  Kalaupun ada atribut kampanye dalam bentuk baliho, itu merupakan sumbangan dari Partai dan atau Caleg DPR RI yang berharap suara dari Caleg DPRK, ikut mendukung mereka juga. Tentu ini tidak bisa dipungkiri. Dan Bapak harus mengucapkan terima kasih.

Akhirnya setelah penghitungan suara selesai, Partai Demokrat Bireuen mendapatkan empat kursi DPRK, dengan Bapak salah seorang yang memperoleh kursi. Mungkin, karena berbagai pertimbangan, keberadaan Bapak di Partai sudah diperhitungkan. Walaupun tidak menjadi pengurus, namun pada Pilpres 2009, malah beliau dipercayakan sebagai Ketua Tim Kampanye SBY-Boediono Kabupaten Bireuen. Alhamdulillah, Pilpres berlangsung sukses.

Dan saat ini, Tgk Aminullah Amin, sudah dilantik sebagai Anggota DPRK Bireuen, dan dipercayakan oleh partainya sebagai salah seorang Pimpinan Dewan (Wakil Ketua DPRK Bireuen). Bagi kami sekeluarga, jabatan ini bukanlah suatu kebanggaan yang luar biasa. Namun, bagi kami, bagaimana jabatan tersebut sebagai amanah dapat dijaga dengan baik oleh pengembannya, dalam hal ini adalah Bapak. Dalam do'a, saya selalu berharap, agar Allah SWT menjaga sikap Bapak sebagai wakil rakyat. Mudah-mudahan akan menjadi catatan baik sebagai amalan di hari akhirat, bukan malah sebagai penghalang untuk mendapat perlindungan Allah di hari akhir.

Mukhlis Aminullah.
Bekerja di Samadua, Aceh Selatan

TUJUH GOLONGAN YANG MENDAPAT PERLINDUNGAN HARI AKHIR

Berkata Abu Hurairah r.a : bahwa Nabi saw telah bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِى اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَادِلٌ، وَشَابٌ نَشَأ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجَلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِى الْمسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللهِ، اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنَّى أخَافُ اللهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأخفَاهَا حتَّى لاَ تَعْلَمُ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَلِيْلً فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ.

“Ada tujuh kelompok yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari yang tiada perlindungan kecuali perlindungan-Nya. Mereka adalah pemimpin yang adil, anak muda yang senantiasa beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, seseorang yang hatinya senantiasa dipertautkan dengan mesjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah yakni keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang ketika dirayu oleh seorang wanita bangsawan lagi rupawan lalu ia menjawab: “Sungguh aku takut kepada Allah”, seseorang yang mengeluarkan shadaqah lantas di-sembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat tangan kanannya, dan seseorang yang berzikir kepada Allah di tempat yang sunyi kemudian ia mencucurkan air mata”. (H.R.Bukhary - Muslim)

Hadist di atas menjelaskan bahwa ada 7 (tujuh) golongan manusia yang mendapat perlindungan dari Allah SWT di hari akhirat kelak. Untuk lebih jelasnya mari kita urutkan satu per satu.

Pemimpin yang adil (Imaamun Adil)

Menjadi pemimpin yang adil itu tidaklah mudah, butuh pengorbanan pikiran, perasaan, harta, bahkan jiwa. Dalam ajaran Islam, kepemimpinan bukanlah fasilitas namun amanah. Kalau kita menganggap kepemimpinan atau jabatan itu sebagai fasilitas, kemungkinan besar kita akan memanfaatkan kepemimpinan itu sebagai sarana memperkaya diri tanpa menghiraukan aspek halal atau haram. Sebaliknya, kalau kita menganggap kepemimpinan atau jabatan itu sebagai amanah, kita akan melaksanakan kepemimpinan itu dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab. Nah, untuk melaksanakan kepemimpinan dengan cara yang amanah itu tidaklah mudah,. Karena itu logis kalau kita menjadi pemimpin yang adil, Allah akan memberi perlindungan di akhirat kelak.

Anak muda yang selalu beribadah kepada Allah SWT. (Syaabbun nasyaa fii ibadatillah)

Masa muda adalah masa keemasan karena kondisi fisik masih prima. Namun diakui bahwa ujian pada masa muda itu sangat beragam dan dahsyat. Oleh sebab itu, apabila ada anak muda yang mampu melewati masa keemasannya dengan taqarrub (mendekatkan) diri kepada-Nya, menjauhkan diri dari berbagai kemaksiatan, serta mampu mengendalikan nafsu syahwatnya, Allah akan memberikan perlindungan-Nya pada hari kiamat. Ini merupakan imbalan dan penghargaan yang Allah berikan kepada anak-anak muda yang saleh.
Hal tentang Pemuda sudah disampaikan Allah SWT dalam firmanNya dalam surat Al Kahfi:

إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.
(Al-Kahfi 18:13)
Dan setelah kita memahami akan hakekat ini maka sangat tepatlah sekiranya kegiatan-kegiatan kepemudaan lebih mengarah kepada pembentukan muda-mudi yang bertaqwa kepada Allah. Mereka bukan hanya mahir dalam bidang sains dan teknologi tetapi juga patuh dan taat kepada undang-undang Allah.

Orang yang hatinya terikat pada mesjid (Rajulun qalbuhu muallaqun fil masaajid)

Kalimat “seseorang yang hatinya senantiasa dipertautkan dengan mesjid” seperti yang disebutkan hadits di atas, paling tidak menunjukkan dua pengertian. Pengertian pertama, orang-orang yang kapan dan di manapun berada selalu ingin memakmurkan tempat ibadah (mesjid). Orang yang selalu shalat berjama’ah, walaupun dalam keadaan sakit pun akan merangkak ke mesjid untuk berjama’ah. Pengertian kedua, orang-orang yang tidak pernah melalaikan ibadah di tengah kesibukan apapun yang dijalaninya.

Bersahabat karena Allah (Rajulaani tahaabbah fillah. Ijtama'a 'alaih wa tafarraqa ilaih)

Poin ini terambil dari kalimat “dua orang yang saling mencintai karena Allah, yakni keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah”. Bersahabat karena Allah SWT, maksudnya kita mencintai seseorang atau membencinya bukan karena faktor harta, kedudukan, atau hal-hal lain yang bersifat material, namun murni semata-mata karena Allah swt. Kalau sahabat kita berbuat baik, kita mendukungnya, dan kalau berbuat salah kita mengingatkannya, bahkan kita berani meninggalkannya kalau sekiranya sahabat tersebut akan menjerumuskan kita pada gelimang dosa dan maksiat.
Sikap saling kasih-mengasihi antara dua sahabat karena Allah, hendaklah dibuktikan dengan menghidupkan semangat amar ma’ruf nahi munkar terhadap sesama kita. Sifat saling nasehat-menasehati dan saling tegur-menegur kepada kebenaran mestilah diwujudkan untuk bersama-sama mentaati ajaran Allah. Inilah yang dimaksud dengan persahabatan karena Allah SWT.

Orang yang mampu menahan diri dari godaan lawan jenis (Rajulun daathum raatun dzaatu man syibin wa jamaalin, faqaala Inni akhaafullah.)


“Seorang laki-laki yang ketika dirayu oleh seorang wanita bangsawan lagi rupawan lalu ia menjawab: “Sungguh aku takut kepada Allah.”
Kalimat ini menggambarkan bahwa kalau kita mampu menghadapi godaan syahwat dari lawan jenis, maka kita akan mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat.
Di sini digambarkan seorang laki-laki yang digoda wanita bangsawan nan rupawan tapi dia menolak ajakannya bukan karena tidak selera kepada wanita itu, namun karena takut kepada Allah. Jadi, rasa takut kepada Allahlah yang menjadi benteng laki-laki tersebut, sehingga tidak terjerembab pada perbuatan maksiat. Karena itu Allah memberikan penghargaan pada hari kiamat dengan memberikan pertolongan-Nya. Di sini diumpamakan laki-laki yang digoda wanita, namun sangat mungkin wanita pun digoda laki-laki.

Orang yang ikhlas dalam beramal, seseorang yang bersedekah sehingga tangan kirinya tidak mengetahui yang dilakukan tangan kanannya.
(Rajulun tasaddaqa bi sadaqatin fa akhfaaha hatta laa ta'lama syimaaluhu ma tunfiqu yamiinuhu)


“Seseorang yang mengeluarkan sedekah lantas disembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat tangan kanannya.” Ini gambaran keihlasan dalam beramal. Saking ihklasnya dalam beramal sampai-sampai tangan kiri pun tidak tahu apa yang diinfakkan atau disumbangkan oleh tangan kanannya. Pertanyaannya, bolehkah kita bersedekah sambil diketahui orang lain, bahkan nama kita dipampang di koran?
Boleh saja, asalkan benar-benar kita niatkan karena Allah swt., bukan karena cari popularitas. Perhatikan ayat berikut, “ Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikannya itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah 2: 271)

Orang yang berzikir kepada Allah dengan khusyu, seseorang yang mengingat Allah dalam kesunyian kemudian dia menangis (Rajulun dzakarallahu khaaliyan faqaabat ainaahu)

“Seseorang berzikir kepada Allah di tempat yang sunyi, kemudian ia mencucurkan air mata.”. Zikir artinya mengingat Allah. Kalau seseorang berdo’a dengan khusyu hingga tak terasa air mata menetes karena sangat nikmat berzikir dan munajat kepada-Nya, maka Allah akan memberikan pertolongan kepadanya pada hari kiamat kelak. Seorang yang menangis karena takut pada Allah di malam-malam yang sunyi dalam sholat tahajjudnya, dalam dzikirnya.
Juga dikatakan, ada dua jenis mata yang akan terlindung dari api neraka, yaitu mata yang terjaga di malam gelap dalam keadaan berjihad (perang) dengan musuh, dan mata yang meneteskan air mata dalam sholat karena takut kepada Allah.
Mudah-mudahan Allah memberi kekuatan agar kita bisa menjadi orang-orang yang mendapat pertolongan dan perlindungan-Nya.

Demikianlah sedikit penjelasan, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Momentum bulan Ramadhan adalah kesempatan yang langka, yang belum tentu kita temui lagi tahun depan, yang harus kita gunakan untuk terus bertaubat atas dosa-dosa kita yang telah lalu. Semoga kita termasuk dari salah satu golongan yang mendapat perlindungan Allah hari akhirat.

Wallahu’alam bissawab…

Mukhlis Aminullah, dari berbagai sumber

Minggu, 30 Agustus 2009

MENJAGA LISAN

Apa yang paling susah kita jaga dari anggota tubuh kita agar tidak melakukan dosa….? Coba Anda ingat dan renungkan. Saya sendiri sudah punya jawaba untuk itu. Bagi saya, menjaga mulut (lisan) adalah salah satu yang paling terasa berat. Kadangkala kita tidak sengaja mengeluarkan kalimat yang membuat tidak nyaman didengar orang lain, padahal kita tidak bermaksud untuk menyakiti orang tersebut. Adakalanya kita bermaksud bergurau dan menurut kita hal itu tidak lah menyakiti, tapi bagi orang lain, hal itu sudah menyakiti. Memang begitulah hidup di dunia…… Pemahaman manusia masing-masing berbeda.

Bagaimana kita jaga lisan dengan Allah SWT, agar apa saja yang kita ucapkan tidak “menyinggung” Allah SWT…? Ini lebih susah lagi, kalau pemahaman kita terhadap ajaran agama sangat kurang. Seharusnya kita harus menjaga benar-benar lisan kita, karena salah ucapa akan membawa malapetaka. Seringkali seseorang bicara sekenanya saja, tidak memikirkan akibatnya.

Saya teringat dengan pengalaman di kampung-kampung dahulu. Ketika kita melihat seorang suami yang ganteng berjalan dengan isterinya yang tidak seberapa cantik (fisik), begitu gampang beberepa orang mengatakan “wah… kasian juga Bapak itu, ganteng-ganteng, isterinya jelek….” Atau kejadian sebaliknya si isteri yang cantik, suami yang agak pas-pasan… “Bapak itu beruntung! Isterinya cantik, dan sangat tidak cocok sama dia…”

Atau ada juga seseorang melihat temannya yang sudah married (menikah) tapi hidupnya masih belum meningkat dari sisi ekonomi, dengan gampang mengatakan “siapa suruh elo kawin, rasain jadi susah… mending kayak gue…” Nah, hal-hal seperti ini sering kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Maunya sekedar bicara, tetapi tanpa sadar telah mengingkari hokum Allah SWT. Bukankah jodoh dan pasangan sudah ditentukan Allah, sesuai dengan firman Allah dalam Surat Ar-Ruum 21. Begitu juga rezeki, sudah diatur olehNya.

Menjaga lisan adalah pekerjaan yang sangat berat. Namun kalau kita bertekad untuk menjaganya, Insya Allah pasti bisa. Konon lagi sekarang bulan puasa, adalah kesempatan bagi kita mencapai ridha Allah, agar setelah itu kita menjadi hamba yang bertaqwa. Selain sebagai moment memperbaiki diri, menjaga lisan bulan puasa juga penting agar puasa kita selamat sampai kita berbuka.

Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah telah berfirman: Semua amal kelakuan anak Adam dapat dicampuri kepentingan hawa nafsu, kecuali puasa, maka itu hanya untukKu, dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Dan puasa itu perisai, maka jika kamu sedang berpuasa, maka janganlah berkata keji, dan jangan ribut (marah-marah), dan jika ada orang memaki atau mengajak berkelahi, hendaknya diberitahu: Saya berpuasa. Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, bau mulut orang yang puasa bagi Allah lebih harum daripada bau kasturi, Dan untuk orang puasa, akan ada dua kali masa gembira, yaitu gembira ketika berbuka puasa, dan ketika ia bisa bertemu Rabb-nya karena pahala puasanya (Muttafaqun alaih).

Seperti juga ibadah-ibadah lainnya seperti sholat, zakat, haji dsb., di dalam puasa terdapat hikmah sebagai pendidikan akhlaq bagi kaum muslimin. Hal ini sejalan dengan ungkapan Rasulullah: Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. Jadi, semua ajaran-ajaran dalam Islam, intinya sebagai sarana membersihkan jiwa dan memelihara kehidupannya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan, yang dipantulkan melalui akhlaq luhur dan mulia. Termasuk puasa, yang tujuan akhirnya agar la’allakum tattaqun (Q.S. 2:183).

Olehkarenanya, makna shaum di bulan Ramadhan bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tapi lebih dari itu. Bulan Ramadhan adalah syahrut tarbiyah (bulan pendidikan) yang mengandung unsur pendidikan akhlaq di dalamnya. Maka, agar puasa benar-benar berpahala dan menjadi sarana pendidikan bagi kita semua, sudah dipantasnya agar dilakukannya secara sempurna, jangan sampai ada kerusakan di dalamnya. Apalagi puasa ini sangat spesial, karena Allah sendiri yang menentukan besar pahala, seperti dituliskan dalam hadits di atas.

Hadits muttafaqun alaih di atas menegaskan agar kita jangan merusak puasa kita sendiri. Yang menarik ialah ternyata puasa kita bisa rusak hanya dengan perkataan kita saja. Hanya karena lisan yang tidak terkendali, usaha kita menggapai pahala besar di bulan Ramadhan menjadi sia-sia.

Hadits di bawah ini menegaskan lagi bahaya lisan yang suka berdusta, sampai-sampai membuat puasa kita tidak dilihat oleh Allah SWT.

Abu Hurairah r.a berkata: Bersabda Nabi SAW: Siapa yang tidak suka meninggalkan kata-kata dusta, dan perbuatan palsu, maka Allah tidak membutuhkan daripadanya puasa yang meninggalkan makan dan minumnya. (Riwayat Bukhari)

Dalam puasa terdapat pendidikan yang lebih berat daripada sekedar meninggalkan makan minum, yaitu untuk menjaga mulut kita dari perkataan keji dan dusta. Lebih berat, karena apabila sudah menjadi kebiasaan, hal ini kadang agak sukar untuk dihindari. Olehkarenanya, Islam menganjurkan bahkan menekankan agar segi-segi dan unsur-unsur kejujuran ditanamkan kepada anak-anak sejak kecil, agar mereka terbiasa melakukan kejujuran di manapun berada.

Dalam suatu riwayat: Abdullah bin Amir berkata: Pada suatu hari saya dipanggil ibu dan saat itu Rasulullah ada di rumah kami. Ibu berkata: Abdullah, mari ke sini. Aku akan memberikan sesuatu kepadamu. Rasulullah bertanya kepada ibu: Apa yang ibu akan berikan? Ibu berkata; Saya akan memberinya kurma. Rasulullah berkata kepada ibuku:Kalau ibu tidak memberinya sesuatu, maka ibu akan dicatat melakukan satu kali dusta. (H. R. Abu Dawud)

Rasulullah SAW, menerangkan juga tentang buruknya orang berdusta, sekalipun dalam senda gurau. Tapi kenyataannya manusia masih banyak yang senang berimajinasi untuk menjadi bahan tertawaan atau mereka merasa senang mengobrol dengan bahan omongan yang dibuat-buat tentang teman-teman mereka untuk mentertawakan, mencaci dan menghinanya, tanpa sadar bahwa agama mengharamkan senda gurau yang bercampur dengan dusta tersebut. Padahal sikap ini yang seringkali bisa berakibat pada kekecewaan dan permusuhan.
Sabda Rasullah SAW: Tidak sempurna iman seorang hamba, sehingga ia meninggalkan dusta di dalam kelakar, dan meninggalkan riya sekalipun ia benar. (H. R Ahmad).

Kalau kelakuan dusta seperti itu tetap dilakukan di bulan suci ini, bisa jadi pahala puasa kita akan hilang tanpa bekas, kecuali perut yang lapar atautenggorokan yang haus saja yang diperoleh.

Mudah-mudahan kita semua terhindar dari bahaya lisan di hari-hari bulan yang penuh berkah ini.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan.

MAKNA BULAN RAMADHAN

Bulan Ramadhan selain bulan yang penuh berkah sebenarnya mempunyai beberapa nama julukan. Nama-nama itu merefleksikan makna keberkahan Ramadhan yang dapat diraih bagi yang menjalaninya dengan benar. Tulisan ini sebenarnya ulasan dari suatu artikel yang saya baca setahun yang lalu di beberapa situs Internet yang menjelaskan nama-nama lain bulan Ramadhan. Tapi, meskipun informasinya sudah beredar lama di masyarakat, tidak ada salahnya juga kan kalau kita mengingat kembali makna dan hikmah nama-nama bulan Ramadhan yang dikenal Umat Islam.

Bagi Umat Islam, pengidentifikasian nama-nama bulan Ramadhan dengan berbagai sinonimnya sebenarnya mengandung maksud. Nama-nama itu diungkapkan dengan singkat dan tepat sebagai “pengingat cepat atau penggugah” dan “keywords” tentang apa yang sebaiknya dilakukan di bulan tersebut. Selain itu, nama-nama bulan Ramadhan juga menyatakan berkah dan maghfirah yang dapat diraih pada kondisi dan suasana paling baik selama satu tahun ke belakang dan ke depan (Ramadhan tahun depan seandainya masih bisa diberi umur).

Demikian banyaknya keutamaan dan peluang untuk berubah di hadapan Allah SWT di bulan Ramadhan ini hingga bulan Ramadhan sering dikiaskan dengan perumpamaan Tamu Agung yang istimewa. Perumpamaan dan keistimewaan itu tidak saja menunjukkan kesakralannya dibandingkan dengan bulan lain. Namun, mengandung suatu pengertian yang lebih nyata pada aspek penting adanya peluang bagi pendidikan manusia secara lahir dan batin untuk meningkatkan kualitas ruhani maupun jasmaninya seoanjang hidupnya.
Karena itu, Bulan Ramadhan dapat disebut sebagai Syahrut Tarbiyah atau Bulan Pendidikan. Penekanan pada kata Pendidikan ini menjadi penting karena pada bulan ini kita dididik langsung oleh Allah SWT. Pendidikan itu meliputi aktivitas yang sebenarnya bersifat umum seperti makan pada waktunya sehingga kesehatan kita terjaga. Atau kita diajarkan oleh supaya bisa mengatur waktu dalam kehidupan kita. Kapan waktu makan, kapan waktu bekerja, kapan waktu istirahat dan kapan waktu ibadah. Jadi, pendidikan itu berhubungan langsung dengan penataan kembali kehidupan kita di segala bidang.

Menata kehidupan sesungguhnya bagian dari proses mawas diri atau introspeksi. Jadi, bulan Ramadhan sesungguhnya bulan terbaik sebagai masa mawas diri yang intensif. Proses mawas diri melibatkan evaluasi diri ke wilayah kedalaman jiwa untuk dinyatakan kembali dalam keseharian sebagai akhlak dan perilaku mulai yang membumi. Tentunya evaluasi ini didasarkan atas pengalaman hidup sebelumnya yaitu pengalaman atas semua peristiwa dan perilaku sebelas bulan sebelumnya sebagai ladang maghfirah yang sudah disemai dan ditanami pohon benih-benih perbuatan. Selain itu, evaluasi juga mencakup taksiran untuk kehidupan di masa depan, baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Pada masa Rasulullah peperangan fisik banyak terjadi pada bulan Ramadhan dan itu semua dimenangkan kaum muslimin. Peperangan fisik di masa Rasulullah adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditolak karena situasi dan kondisi yang dihadapi saat itu. Namun, seperti diungkapkan dalam hadis Nabi seusai Perang Badar, yang paling berat adalah peperangan kita untuk berjihad melawan hawa nafsu sendiri. Karena itu bulan Ramadhan sering disebut sebagai Syahrul Jihad dengan fokus pada pengendalian hawa nafsu diri sendiri (yaitu Wa Nafsi, simak QS 91:7).

Jihad melawan nafsu adalah ungkapan untuk menyucikan dan memurnikan nafsu kita untuk kembali semurni-murninya, yaitu dalam keadaan fitri. Ungkapan ini sebenarnya berasal dari firman Allah dalam QS 91:7-10 dan beberapa ayat lainnya yang berbunyi senada yaitu menyucikan jiwa. Menyucikan Jiwa adalah syarat yang mengiringi proses awal penerimaan wahyu yaitu IQRA (simak QS 96:1-5). Hal ini tentunya erat kaitannya dengan buah dari pendidikan jiwa secara intuitif maupun intelektual murni (atau intelek awal), dengan rasionalitas dan penyingkapan tabir-tabir gelap jiwa kita yang sejatinya “Ummi” dan “Fakir” di hadapan Allah, Rabbul ‘Aalamin (Pencipta, Pemelihara dan Pendidik semua makhlukNya).

Dari kedua pengertian nama bulan Ramadhan sebagai Bulan Pendidikan dan Bulan Jihad Melawan hawa nafsu tersebut, maka terungkaplah kemudian nama bulan Ramadhan sebagai Syahrul Qur’an. Al-Qur’an pertama sekali diturunkan di bulan Ramadhan dan pada bulan ini sebaiknya kita banyak membaca dan mengkaji kandungan Al-Qur’an sehingga kita faham dan mengerti perintah Allah yang terkandung di dalamnya. Karenanya, penamaan Syahrul Tarbiyah dan Syahrul Jihad sebenarnya berhubungan dengan suatu prakondisi sebelum Nabi Muhammad SAW menerima al-Qur’an sebagai Wahyu yang diwahyukan. Dalam konteks ini maka bulan Ramadhan sebagai Syahrul Qur’an sebenarnya merupakan peluang bagi semua Umat Islam yang bersyahadat dengan Nama Muhammad untuk mengkaji dan menggali nilai-nilai spiritual al-Qur’an untuk dinyatakan menjadi akhlak mulia alias akhlak Muhammad alias akhlak Qur’ani.

Pendek kata, Bulan Ramadhan sebenarnya merupakan napak tilas bagi semua Umat Islam untuk memakrifati perjanjiannya dengan Allah SWT (syahadatnya) sebagai manusia yang dilahirkan dan berkembang untuk menjalani hidup dengan kesadaran kudus. Napak tilas ini dilakukan lebih intim di Bulan Ramadhan dimana Umat Islam diharapkan dapat mengalami keadaan jasmani dan ruhani yang mirip dengan yang dialami Nabi Muhammad SAW ketika Al Qur’an turun ke Bumi. Inilah rahasianya kenapa di bulan ini ada yang disebut penyendirian total dengan I’tikaf di masjid pada 10 terakhir bulan Ramadhan dan ada malam Lailatul Qadar atau malam 1000 bulan. Karena itu, menurut saya, Ramadhan dapat disebut juga sebagai bulan napak tilas Nuzulul Qur’an dan Pemurnian Pengetahuan Tauhid dengan Aslim dan Islam yang lurus seperti halnya moyang Nabi Muhammad SAW dulu yaitu Ibrahim a.s yang memenggal kepala berhala yang dipuja kaumnya. Dari sini makna jihad melawan hawa nafsu pun dapat diungkapkan kembali sebagai jihad untuk memenggal kepala berhala-berhala hawa nafsu yang masih bercokol di dalam hati Umat Islam.

Selain prosesi yang bersifat keruhanian dengan pendidikan dan penerapan praktisnya, di bulan Ramadhan kita merasakan sekali suasana ukhuwah diantara kaum muslimin terjalin sangat erat dengan selalu berinteraksi di Masjid/Mushollah untuk melakkukan sholat berjama’ah. Dan diantara tetangga juga saling mengantarkan perbukaan sehingga antara kaum muslimin terasa sekali kebersamaan dan kesatuan kita. Syahrrul Ukhuwah adalah dimensi praktek yang dinyatakan bersamaan dengan pendidikan jasmani dan ruhani di bulan Ramadhan.

Seiring dengan semua itu, maka semakin jelaslah bahwa Bulan Ramadhan disebut juga sebagai Bulan Ibadah karena pada bulan ini kita banyak sekali melakukan ibadah-ibadah sunnah disamping ibadah wajib seperti sholat sunnat dhuha, rawatib dan tarawih ataupun qiyamullai serta tadarusan al-Ar’an. Bahkan dalam pengertian yang lebih luas, dimana semua makhluk diciptakan Allah sebagai hambaNya, maka semua aktivitas jasmani dan ruhani kita di Bulan Ramadhan dilatih untuk selalu menyatakan kebiasaan-kebiasaan luhur bahwa semua aktivitas kehidupan kita sejatinya adalah ibadah kepadaNya. Inilah dimensi makrifat Ramadhan ketika Umat Islam memasuki ketakwaan sesungguhnya sebagai tujuan dari diwajibkannya puasa (QS 2:183).

Untuk menjadi manusia takwa, peningkatan kualitas kemanusiaan terjadi di wilayah lahir maupun batin. Artinya dengan pemaknaan, pemahaman, ilmu dan tindakan yang seimbang dengan Kehendak Allah. Dengan hati, akal, dan perbuatan seluruh bagian tubuh manusia. Puasa Umat Islam di Bulan Ramadhan, akhirnya memang bukan sekedar menahan lapar dan haus secara harfiah. Namun, meliputi seluruh kenyataan diri kita sebagai makhluk yang berjasad, berjiwa, dan diberi amanat Ilahi untuk mengungkapkan jati diri kekhalifahanNya (kemampuannya untuk menerima amanat Pengetahuan Tauhid).
Karenanya, tolok ukur keberhasilan seseorang menjalankan puasa Ramadhan sebagai manusia yang takwa justru akan terlihat bukan hanya saat puasa dilaksanakan semata. Hasil puasa Ramadhan yang optimal dengan kiasan 1000 bulan, justru harus lebih banyak mempengaruhi perilaku manusia di waktu sesudah puasa, yaitu 11 bulan ke depan sampai kematian tiba. Penekanan dengan sisipan “harus” ini untuk mengingatkan kita supaya jangan menjadi bodoh dan lalai kembali seolah-olah Umat Islam hanya menjadi umat yang baik di bulan Ramadhan dan menjelang Iedul Fitri saja. Suasana Ramadhan harus dapat disebarkan kedalam rentang waktu 11 bulan kedepan setelah Ramadhan dan Iedul Fitri. Itulah sebenarnya Ladang Maghfirah yang harus mulai kembali diolah terus menerus untuk ditanami dengan amaliah kehidupan untuk menghasilkan buah-buah kehidupan yang paripurna.

Ladang Maghfirah adalah modal sekaligus peluang bagi manusia untuk kembali sadar dan berjalan di jalan Shirathaal Mustaqiim dan sampai dengan selamat di hadirat Allah SWT. Peluang ini berlaku bagi semua umat Islam yang dewasa dan bertanggung jawab, yang jiwanya selama menjalani kehidupan telah terkontaminasi oleh berbagai perbuatan yang tidak patut dalam ukuran norma Iman dan Islam. Tidak ada batasan ketika peluang itu dinyatakan saat Ramadhan yaitu bagi semua perbuatan yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak. Karena itu, di bulan Ramadhan yang diwajibkan untuk berpuasa dengan tujuan menjadi takwa, maka jiwa Umat Islam sesungguhnya “dapat” diperhalus kembali ke posisi fitri untuk melangkah kembali ke masa depan dan menjalani kehidupan dengan cerapan makna yang semakin meningkatkan kualitas kemanusiaannya (yaitu sebagai manusia takwa).

Ramadhan, kembali dan selalu akan kembali selama kita masih hidup. Dan selama kita hidup pula, Allah SWT selalu menyediakan waktu ampunan bagi semua manusia, khususnya Umat Islam, untuk berdekat-dekatan dengan keintiman khusus yang disebut Bulan Ramadhan. Jadi, luruskanlah niat untuk beribadah Ramadhan dengan totalitas kehambaan di hadapanNya, tertunduk dan berserah diri padaNya dengan jujur guna meraih ketakwaan sesungguhnya.

Mukhlis Aminullah, dari berbagai sumber.