Sabtu, 19 September 2009

IRONI MEMAKNAI IDUL FITRI

Insya Allah beberapa jam lagi, kita, ummat Islam yang melaksanakan puasa, akan menyelesaikan ibadah puasa kita hari terakhir Ramadhan 1430 H. Dan kita akan menyongsong 1 Syawal sebagai hari kemenangan. Subhanallah, karena Allah telah memberi umur panjang untuk kita sehingga kita akan bisa menyelesaikan puasa tahun ini.

Sebagai insan hamba Allah SWT, saya yakin, semua kita telah berusaha untuk mengisi hari-hari kita di bulan Ramadhan dengan memperbanyak amalan, baik yang wajib maupun yang sunat. Kita telah melakukannya, dan hanya Allah Yang Maha Kuasa yang tau, apakah ibadah kita sudah baik dan benar, sehingga akan mendatangkan pahala. Atau kah, kita hanya termasuk golongan yang merugi...? Yang hanya menahan lapar dan dahaga saja. Wallahu'alam....

Insya Allah, nanti malam sudah masuk pada tanggal 1 Syawal. Tentu saja kita sangat merasa kehilangan. Saya tidak bisa membayangkan, apakah pada tahun 1431 H masih diberi umur panjang sehingga dapat bertemu lagi dengan Ramadhan. Hanya yang Allah yang Maha mengetahui.
Pengalaman kita pada tahun-tahun sebelumnya, malam Lebaran di berbagai kota selalu meriah, tak terkecuali Bireuen. Biasanya semua orang akan tumpah ruah turun ke jalan untuk melakukan Takbiran. Suasananya sangat ramai, dipenuhi dengan berbagai macam model manusia yang sibuk dengan eforia takbiran. Kenderaan dipastikan akan memenuhi jalanan Kota Juang.... Sebagian orang sudah berduyun-duyun memenuhi toko pakaian dan malam ini barangkali adalah puncaknya. Ibu-ibu tak ketinggalan memenuhi toko yang menjual berbagai macam kue. Selusin kaleng kue di rumah, rasanya belum cukup, masih ditambah dengan berbagai penganan lainnya.
Nah... apakah semua perilaku yang sudah saya sebutkan di atas merupakan perilaku yang benar dan dianjurkan Rasulullah...? Sebagian memang benar. Kita dianjurkan untuk memperkuat tali silaturrahim, saling kunjung-mengunjungi. Kita dianjurkan memuliakan tamu. Kita dianjurkan membeli baju baru, dan lain sebagainya.
Namun melihat fenomena sekarang ini, rasanya apa yang sudah dilakukan oleh sebahagian orang, sudah menjurus pada salah kaprah.
Betapa tidak! Semua orang rame-rame takbiran, namun hampir dapat dipastikan mereka akan melanggar aturan berlalu lintas di jalan raya. Menggunakan truk bak terbuka, yang disesaki puluhan orang, bercampur laki-laki dengan perempuan. Menggunakan sepeda motor juga dengan kecepatan kayak pembalap MotoGP, namun tidak menggunakan helm pengaman maupun pengaman lainnya. Silahkan rekan-rekan perhatikan. Semua yang saya ungkapkan adalah pengalaman beberapa tahun belakangan. Mudah-mudah saja perilaku seperti ini, tidak merenggut nyawa, seperti tahun-tahun lalu.

Saya juga ingin menggarisbawahi perilaku Ibu-ibu. Meja ruang tamu-nya sudah dipenuhi dengan bermacam ragam kue, tapi pada menit-menit terakhir Ramadhan, malah menambah belanjaan sehingga dapat dipastikan setelah hari ke lima belas Syawal, kue-kue tersebut masih tersisa alias tidak habis dikonsumsi oleh para tamu. Ironisnya, padahal tetangganya yang anak yatim masih kekurangan. Jangankan keluarga mereka membeli berbagai penganan yang mahal itu, untuk sekedar membeli baju baru sepasang saja, mereka tidak punya uang. Untuk membeli setengah kilogram daging meugang saja mereka tidak bisa. Ketika kita membeli baju baru untuk anak-anak berpasang-pasang, tetangga kita yang fakir miskin, membeli baju dari tukang loak saja tidak bisa.
Apakah ini yang namanya makna Lebaran....? Na'uzubillah, semoga saja Allah SWT tidak melaknat kita, kaum muslimin, yang sudah menjauhi makna Idul Fitri sesungguhnya.

Bagaimana juga kita merayakan Lebaran atau Idul Fitri..? Sebagaimana sudah sering disampaikan oleh para Ustadz, bahwa hakikat puasa Ramadhan adalah menjadikan manusia menjadi orang yang bertaqwa. Kalau sebelum Ramadhan masih ringan melakukan dosa, maka setelah berpuasa Ramadhan, mudah-mudahan tidak lagi. Kalau dulu, terasa sangat berat untuk bersedekah, setelah Idul Fitri kali ini, mudah-mudahan kita akan menjadi manusia yang suka menolong. Idul Fitri dapat dimaknai dengan kemenangan bagi kita setelah sebulan penuh berpuasa. Nah, kemenangan dapat dikatakan benar, bila kita menjadi orang yang makin bertaqwa pada Allah SWT. Diharapkan setelah Lebaran, perilaku baik yang sudah terpelihara selama Ramadhan dapat terus berlanjut. Kehidupan Islami harus terus kita pelihara. Namun bagaimana bisa Islami kalau pada saat menjelang Lebaran saja, kita lalai dengan makna Idul Fitri sesungguhnya.

Mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam beberapa contoh yang ironis, seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Mari kita rayakan Idul Fitri dengan meningkatkan amalan, merayakan dengan perilaku sederhana, membuang jauh-jauh eforia duniawi, yang tidak diajarkan oleh syari'at Islam.

Wallahu'alam....

SELAMAT HARI RAYA, MOHON MAAF ATAS SEGALA KESALAHAN & KEKHILAFAN, MUDAH-MUDAHAN KITA JADI INSAN YANG FITRAH.

Mukhlis Aminullah

Kamis, 17 September 2009

MENJAGA KELUARGA DARI API NERAKA

Jamaah shalat tarawih Mesjid Al Ikhlas Gelanggang tadi malam disuguhi ceramah Ramadhan tentang teladan orang tua & pentingnya menjaga keluarga oleh Ustadz Samsul. Pemaparannya sangat menarik, dimana sang Ustadz mencoba menggugah perasaan para jamaah dengan penyampaian dengan bahasa yang lugas. Dengan menggunakan bahasa Aceh, makin jelaslah tujuan dari materi yang ingin disampaikan.

Terus terang saja, bagi saya topik ini sangat menarik. Pertama; bisa menjadi pelajaran bagi saya pribadi sebagai pemimpin keluarga. Kedua; masalah ini sudah beberapa kali saya singgung pada tulisan-tulisan sebelumnya, disamping juga saya sudah pernah menulis di Serambi Indonesia, sekitar 2 (dua) tahun yang lalu. Saat itu malah saya sempat menggambarkan kondisi keluarga di Aceh seperti keluarga di Amerika saja.
Betapa tidak, kita bisa melihat dengan mata kepala sendiri, banyak orangtua yang tidak bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya. Anaknya disuruh shalat, sang Bapak malah asyik dengan shabu-shabu. Sang anak diantar ke TK Islam (dengan tujuan mendapat bimbingan agama dari guru/pengasuh), sang Bapak malah tidak pernah shalat. Atau sang Ibu, yang masih berpenampilan menor (tabarruj) dengan celana ketat/baju ketat, seperti orang tidak berpakaian. Na'uzubillah......

Saat ini cukup banyak pasangan muda yang mampu untuk menikah, namun sangat sedikit yang bisa membina sebuah keluarga menjadi sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Kita bisa melihat atau memperhatikan di lingkungan kita sendiri, berapa banyak seorang suami "dapat" dikatagorikan sebagai pemimpin keluarga. Dari segi materi barangakali, bukan persoalan, namun dari sisi spritual sangat memprihatinkan. Begitu juga seorang perempuan, sangat sedikit yang bisa dikatakan Wanita sholihah.
Mari kita asumsikan dengan contoh. Beberapa suami, dengan gampang dan tanpa merasa berdosa meninggalkan shalat. Ada yang dengan mudah diajak bermain judi, seperti taruhan bola, judi buntut, dsb. Dan berapa banyak suami membiarkan isterinya tanpa menutup aurat ataupun membiarkan isterinya bergaul dengan lelaki lain, yang bukan muhrimnya.

Bukan hanya suami, isteri sebagai bagian dari sebuah keluarga yang berada dibawah pimpinan suami, juga banyak yang tidak bisa menjadi teladan. Selain masalah aurat, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, masalah lain adalah suka menggunjingkan tetangga, iri dengki pada orang lain, tidak mengajarkan anak-anaknya dengan pendidikan agama dan tidak menghargai suami, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para wanita sholihah.

Dalam kontek yang lebih luas, bukan hanya pasangan muda saja, malah banyak pasangan yang sudah setengah baya, anaknya sudah gadis atau perjaka, tidak bisa menjaga keluarganya dari jajahan budaya Barat. Ustadz Samsul dalam ceramahnya tersebut, menggaris bawahi bahwa alangkah sia-sianya kita melangkah ke mesjid untuk menempati shaf pertama setiap waktu shalat, namun kita membiarkan anak kita berpakaian tidak sopan dan menjadikan rumah kita menjadi kandang kerbau, yang penuh maksiat. Maksudnya begini, banyak orang tanpa sadar telah membiarkan pergaulan anak remajanya menjadi liar. Membiarkan tamu laki-laki berduaan dengan anak gadisnya di rumah, dengan alasan "dari pada mereka pacaran di jalanan..". Ada juga orangtua yang membiarkan anaknya keluar rumah berduaan dengan pasangan yang bukan muhrim. Kita tidak bisa memungkiri atau membantah.... Silahkan, rekan-rekan pembaca, memperhatikan jalanan Bireuen sepanjang sore atau malam hari, berapa banyak pasangan yang pacaran berboncengan kenderaan, seperti pasangan suami isteri. Di depan khalayak ramai saja sudah berboncengan berpelukan, bagaimana bila ditempat lain...? Di Cafe remang-remang, di tempat wisata yang sepi.
Na'uzubillah...

Saya sangat merasa heran dengan sikap orang tua mereka. Padahal, seperti yang sudah disampaikan, Bapaknya adalah pengisi shaf pertama shalat lima waktu di Mesjid. Tetapi mengapa juga membiarkan anaknya berlaku kayak remaja Amerika....? Banyak orang yang sibuk mencari ternaknya (yang memelihara kerbau atau sapi di gampong-gampong) bila sudah sore tidak pulang juga ke kandangnya, tetapi betapa sedikit orangtua yang mencari anaknya, baik remaja laki-laki maupun perempuan, yang belum pulang ke rumah jam 22.00 malam.....

Dengan kondisi seperti ini, tidak usah heran kalau banyak orang yang tertangkap basah sedang berbuat mesum (berzina) di daerah kita. Itu hanya yang tertangkap saja, belum yang tidak terangkap. Nah, ketika ada yang digerebek warga, hampir semua orang menyalahkan WH, kenapa tidak mengadakan razia atau sweeping, misalnya. Semua orang hanya memikirkan eksekusinya saja, tanpa mencari sebab asal muasal kejadian sampai ada pasangan yang digerebek warga.... Beberapa waktu yang seorang teman saya, orangtua dari 2 remaja, mengatakan hal yang sama pada saya.
"apa saja kerja WH ya......, kok banyak yang tertangkap, namun kita tidak tau proses selanjutnya...?"
atau pada kesempatan lain yang bersangkutan mengatakan "Wah, para anggota WH makan gaji buta nih, kenapa tidak menangkap itu para remaja yang berpakaian ketat?"
Saya yang mendengarnya hanya tertawa, karena membayangkan bahwa orang ini berbicara dibawah ambang sadar, karena ybs tidak melihat anaknya sendiri bergaul bebas. Yang tau hanya menyalahkan WH saja...., padahal sebagai orangtua, sudah kewajiban untuk menjaga anak-anak kita masing-masing, baik di rumah maupun di luar rumah. Untuk itu memang bukan perkara gampang, kalau kita sendiri tidak bisa menjadi teladan di rumah bagi keluarga kita. Saya yakin, akan mudah seandainya, kita berperan dalam keluarga. Silahkan tanamkan nilai-nilai agama yang kuat sejak dini kepada anak kita. Bukan hanya itu, jangan berikan dia rezeki yang tidak halal. Dan juga, jangan ciptakan jarak antara orangtua dengan anak. Usahakan kita tau setiap persoalan yang dihadapi si anak. Insya Allah, mudah-mudahan kita bisa menjadi Pemimpin keluarga dan pada akhirnya bisa menjaga keluarga kita dari api neraka.

Wallahu'alam....

Mukhlis Aminullah, orangtua dari dua orang anak.