Selasa, 31 Agustus 2010

SESAL

secerah petang, selembar sajadah...
dalam syahdu azan, aku terbuai
kemudian tercenung...
andai aku ada dalam firdaus-Mu...

maafkan hamba ya Rabbi...
kenikmatan dari Mu tidak sebanding
dengan ibadahku

kota juang, 31 agust 2010 jam 16 wib by mukhlis abi fildza
(jam segini masih sibuk di kantor, urus laporan bulanan,
kapan iktiqafnya...?)

Minggu, 29 Agustus 2010

MENYIKAPI KARAKTERISTIK ZAMAN

Dirasatul Maidan (memahami karakteristik medan dakwah) merupakan salah satu unsur pokok yang menopang keberhasilan perjuangan dakwah. Termasuk di dalamnya adalah ma’rifatul qarn (memahami kondisi zaman) saat dakwah ini harus dikomunikasikan. Kata Imam Syafii: Kurikulum dakwah adalah satu fan (fiqh syariah) tersendiri, dan mensosialisakannya dalam realitas adalah fan yang lain (fiqhul waqi’).

Pemahaman secara cermat dan akurat terhadap realitas sosial (fiqhul waqi’) akan memberikan rujukan dalam merumuskan langkah perjuangan yang akan ditapaki. Maka, ma’rifatul qarn sejatinya akan menyingkap berbagai problem klasik dan kontemporer. Sehingga seorang dai bisa mengurai persoalan (hall) dan memutuskan (aqd). Seorang dai ibarat sebagai thabib, ketika melihat tubuh umat yang loyo, pucat, terserang berbagai virus (kurap = kurang rapi, kutil = kurang teliti, kudis = kurang disiplin, kuman = kurang iman), mustahil bisa diobati secara baik bila ia tidak sanggup mendiagnosa penyakit yang diidapnya.

Pada zaman dahulu ada sebagian tokoh sufi yang meratapi zaman. Lahirlah karya tulisnya yang berbentuk puisi yang panjang, berjudul: Syakwaz Zaman (Meratapi Zaman). Mengomentari kitab tersebut, BUYA Hamka mengatakan, “Sejak zaman Nabi Saw saja ada orang munafiq yang menyusup di shof kaum beriman, tetapi beliau tetap berjiwa besar dan terus berfikir positif menatap obyek dakwah, dengan mengedepankan sabar, ulet, istiqomah. Dan pada akhirnya barisan umat Islam angkatan pertama tidak terpengaruh oleh kontaminasi zaman jahiliyah. Dunia, memang darul imtihan, darul amal, darul jihad, sedangkan akhirat darul hashad (medan untuk memanen).”

Said Hawa mengatakan, “Inna ‘ashranaa haadza mamlu-un bisy syahawati wasyu syubuhati wal ghaflah.” (sesungguhnya zaman kita ini didominasi oleh lingkungan sosial yang membangkitkan syahwat, syubhat, dan kelalaian).

Sejalan dengan statemen ideolog Ikhwanul Muslimin tersebut, penulis muslim berkebangsaan Inggris, Ahmad Thomson menyebut, dunia kita sekarang sejak kurang lebih satu abad terakhir menggunakan sistem Dajjal (Dajjal values), bertolak belakang dengan sistem kenabian (prophetic values).

Muhammad Quthb dalam karya tulisnya “Rukyatun Islamiyyah Li Ahwalil ‘Alamil Mu’ashir” (Tafsir Islam Atas Realitas Kontemporer) mempersepsikan dunia sekarang sebagai jahiliyah abad 20 (jahiliyah fil qarnil ‘isyrin). Setidaknya ada empat ciri mayarakat jahiliyah kontemporer.

Pertama: Tidak adanya iman kepada Allah. Kalau masa jahiliyah klasik Islam, ditambah dengan berbagai ritual dari asing. Jahiliyah modern Islam yang sempurna ini dikurangi. Mereka menghendaki Islam tidak perlu dilibatkan dalam kehidupan bernegara. Islam tanpa jihad, Islam tanpa hukum had. Islam tanpa qishah. Islam itu moderat. Bahkan sekarang ini mereka membuat image Islam itu radikal, teroris, antikemapanan, dan lain-lain, sehingga akidah dipisahkan dari syariah.

Kedua: Tidak adanya hukum yang merujuk kepada ketentuan Allah Swt. Maka, hukum menuruti keinginan hawa nafsu. Efeknya, hukum bagaikan pisau. Tajam untuk kalangan grass root, tumpul untuk level the have. Hukum yang melukai rasa keadilan dan kemanusiaan (QS. 5 : 49-50)

Ketiga: Tampilnya berbagai thaghut (tirani) yang membujuk manusia supaya tidak beribadah dan tidak taat kepada hukum Allah serta menolak hukum syariat-Nya, kemudian mengalihkan peribadatannya kepada jibt dan thaghut dan hukum-hukum yang dibuat menurut selera hawa nafsunya (QS. 2 : 257).

Keempat: Fenomena sikap menjauh dari agama Allah (uculuddin, Bhs Jawa), sehingga mengarah kepada penyakit pikiran (syubhat) dan penyakit moral (syahwat) dan penyakit kepribadian (ghoflah).

Demikianlah karakteristik jahiliyah kekinian. Akar persoalannya, tidak tahu diri dan tidak tahu Tuhan. Buta kebenaran, bukan buta ilmu dan teknologi. Ilmunya tinggi (ma’rifat, sundhul langit, Bhs Jawa), tetapi tidak melahirkan khosyyah (ketakutan) kepada Allah. Fenomena jahiliyah modern persis dengan kejahiliyahaan klasik.

Dahulu orang Arab dikenal pakar dalam menulis teks pidato, puisi, prosa. Bahkan karya yang dinilai bermutu ditempel di atas dinding Ka’bah, tetapi kompetensi mereka tidak mengantarkannya kepada perbaikan budi pekerti, moralitas. Bahkan memahami teks “Allah” sudah terkontaminasi dengan paham paganisme.

اَلْحاَلَةُ الَّتِيْ تَكُوْنُ عَلَيْهاَ أُمَّةٌ ماَّ قَبْلَ مَجِيْئِهاَ هُدَى الَّلهِ وَالْحاَلَةُ الَّتِيْ تَمْتَنِعُ فِيْهاَ أُمَّةٌ ماَّ أَوْ بَعْضُ أُمَّةٍ مِنَ الاِسْتِجاَبَةِ لِهَدْيِ اللَّهِ

Jadi, jahiliyah adalah kondisi umat yang terjadi sebelum kedatangan petunjuk Allah (hidayatullah) dan keadaan bangsa tertentu atau sebagian bangsa yang menghalangi disambutnya petunjuk Allah.

Ironi Nation State

Rasulullah Saw memprediksikan, dengan berjalannya waktu dan berlalunya masa dari sumber wahyu, umat Islam akan mengalami degradasi spiritual (istidraj) secara bertahap. Berbagai kemajuan material, hanya untuk menggali lubang kehancurannya. Berawal dari runtuhnya intitusi formal kenegaraan (al-khilafah al-Islamiyah) sampai dilalaikannya kewajiban paling prinsip seorang hamba kepada-Nya, yaitu shalat.

عَنْ أَبِيْ أُماَمَةَ الْباَهِلِيْ عَنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيَنْقُضَنَّ عُرَى

الاِ سْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً تَشَبَّثَ النَّاَسُ باِ لَّتِيْ تَلِيْهاَ وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضاً الْحُكْمُ

وَأَخِرُهاَ الصَّلاَةُ

“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya. Yang paling awal terurai adalah hukum, dan yang paling akhir adalah shalat.” (HR. Ahmad 45/134).

Sejak 1924 M, dunia menyaksikan titik paling nadir keruntuhan kepemimpinan formal dunia Islam. Musthafa Kamal, yang dijuluki ulama yang konsisten dengan Islam dengan sebutan “Kamal A’daut Turki” (Kamal musuh bangsa Turki), memimpin acara seremonial pembubaran global state (al khilafah al Islamiyah) yang jangkauan kekuasaannya membentang dari Maroko di Afrika Barat sampai Maluku di Indonesia Timur. Lalu dengan konyolnya memproklamasikan berdirinya negara Turki sekuler-modern yang sepenuhnya mengekor Eropa.

Dengan program unggulan Yahudi “farriq tasud” (cerai-beraikanlah kaum muslimin supaya kamu bisa merajai), mulailah negara-negara Islam mengumandangkan berdirinya nation state. Masing-masing menentukan ideologi dan falsafahnya yang menyimpang dari kitab suci Al Quran dan Al Hadits. Kemudian diikuti dengan sikap lebih membanggakan identitas material-geografis kebangsaannya melebihi dari identitas spiritual-ideologis keislamannya. Islam kemudian menjadi menyempit dan termarginalkan dari percaturan global.

Beralihnya kepemimpinan khilafah kepada kepemimpian mulkiyah (kerajaan), terlepas pula ikatan hukum, aqidah, akhlaq, ideologi, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, seni budaya, militer dan pertahanan-keamanan dari celupan (shibghah) Islam. Ending-nya, dunia pun menyaksikan peristiwa memilukan, terlepasnya ikatan Islam terakhir, yaitu shalat. Betapa banyak umat Islam sekarang yang sudah mendapat dispensasi waktu shalat dari 50 waktu sehari semalam, menjadi lima waktu sehari semalam, dikurangi lagi menjadi sekali seminggu, kemudian setahun sekali, sekali seumur hidup, bahkan yang lebih ironis ditinggalkan sama sekali, sampai akhirnya dishalati.

Agen pencabut

Inilah zaman yang disinyalir Rasulullah Saw dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan Imam Ahmad, sebagai babak keempat perjalanan umat Islam, yaitu babak mulkan jabariyyah (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak). Sebelumnya pada babak pertama, umat masih memiliki sistem dan person yang prima secara kepemimpinan, yaitu Nabi Muhammad saw sendiri dalam babak An-Nabuwwah (kenabian). Selanjutnya di babak kedua umat masih memiliki person dan sistem yang tetap konsisten secara kepemimpinan, yaitu khulafa ar-rasyidin di babak khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah (kekhilafahan yang mengikuti sistem Kenabian).

Di babak ketiga, umat memiliki sistem yang mengalami penurunan kualitas, tetapi masih memadai, yaitu mulkan ‘aadhdhan (penguasa-penguasa yang masih menggigit Al Quran dan As Sunnah), sekalipun pada akhirnya terlepas juga. Di babak keempat ini, umat bahkan tidak memiliki sistem syariat dan para penguasanya bermasalah secara person.

Inilah babak di mana umat Islam harus secara jujur menyadari sedang mengalami krisis multidimensional (‘azmah kubro). Tiada penguasa mana pun pada kurun ini yang tidak terhegemoni oleh sistem Dajjal. Ujian ini berat, tetapi cukup menantang. Jika kita berfikir positif, dan bisa kita lalui justru akan mengangkat derajat kita dan menghapus dosa-dosa kita.

Zaman ini menuntut kita berpola pikir dan berpenampilan seperti generasi awal umat ini, para sahabat Rasulullah Saw. Mereka berjuang pada fase Makiyah dengan penuh kesabaran, pengorbanan, dan istiqomah. Mereka membuat strategi, tidak berkompromi dengan sistem jahiliyah yang berlaku.

Sejak Allah Swt menurunkan sistematika turunnya Al-Quran, Dia memberikan arahan perjuangan kepada Nabi secara gradual (konstan). Al Alaq 1-5 mengajarkan tidak berkompromi dengan orang yang melampaui batas (ayat 6), orang yang merasa dirinya cukup (ayat 7), orang yang melarang penegakan syariat (ayat 9-10), pendusta dan berpaling (ayat 13). Pada Surat Al-Qalam (68), berlepas diri dengan para pendusta, hipokrit, banyak sumpah serapah dan hina, pembuat fitnah, penghalang perbuatan baik dan pendosa, membanggakan harta.

Pada Surat Al-Muzzammil (73), tidak berelaborasi dengan pendusta, bermewah-mewahan, perilaku hedonis dan amoral. Pada surat Al-Muddatstsir (74), tidak menjalin kerjasama dengan konsep materialisme, membanggakan asal-usul dan keturunan. Pada surat Al-Fatihah (ummul kitab), bertolak belakang dengan Yahudi dan Nasrani. Hingga Allah mengizinkan hijrah dan membangun komunitas muslim di Madinah.

Dengan ma’rifatul qarn kita bisa berta-assi (tapak tilas), berqudwah (meneladani) kesabaran, keuletan, pengorbanan, sikap konsisten, optimis, harapan, sebagaimana pada angkatan pertama umat. Dan masa babak belur, tidak mudah dan tidak sederhana ini, sesungguhnya tidak akan tahan lama, pasti akan mengikuti kekuatan fithri (QS. Ali Imran : 185), QS. Al A’raf : 34). Artinya setiap komunitas memiliki hak untuk maju, jika memiliki persyaratan untuk mendatangkan pertolongan-Nya. Dan setiap bangsa memiliki hak pula untuk jatuh, jika mengabaikan nilai-nilai idealisme, moralitas, immaterial.

أَعْماَرُ أُمَّتِيْ بَيْنَ سِتِّيْنَ وَ سَبْعِيْنَ وَ أَقَلُّهُمْ مَنْ يُجاَوِزُ عَلَى ذَلِكَ


”Umur umatku antara 60-70 tahun, dan sedikit sekali yang melebihi dari itu.” (HR. Ahmad).

Tetapi, zaman kelima yang kita nantikan kehadirannya di samping sebuah wa’dun (janji kenabian) yang dijamin kebenarannya, pula berupa faridhah (menuntut ikhtiar yang optimal). Tercabutnya malikun jabbar (diktator global) berbanding lurus dengan kesiapan kita sebagai ‘anashirut taghyir (unsur pencabut). Bukan menyibukkan diri dengan persoalan yang bukan asasi, konflik internal umat. [Kudus, 14 Oktober 2009/www.hidayatullah.com]

Kudus, 2009, oleh Sholih Hasyim / hidayatullah.com

PENGARUH PSIKOLOGIS NAFSU LAWWAMAH

Diantara nama dari asmaul husna (nama Allah SWT yang indah) adalah al ‘Adlu (Maha Adil). Allah SWT Maha Bijaksana dalam aturan-Nya. Adil dalam perintah dan larangan-Nya. Dia akan membalas secara setimpal terhadap orang yang taat dengan pahala dan akan menghukum orang yang mendurhakai-Nya dengan siksa. Hanya saja kasih sayang-Nya mengalahkan kemurkaan-Nya. Sedikitpun Allah SWT tidak berbuat aniaya terhadap makhluk-Nya.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushshilat (41) : 46).

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (QS. Al Isra (17) : 7).

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az Zalzalah (99) : 7-8).

Benar, pahala dan hukuman Allah SWT itu secara adil akan diterima kelak di hari pembalasan (yaumuddin). Realitasnya tidak ada keadilan sepenuhnya di dunia ini. Yang banyak hanya kantor pengadilan. Hanya saja, tidak berarti keadilan-Nya itu belum dirasakan di bumi ini. Bentuk penjabaran keadilan Yang Maha Adil di antaranya dalam bentuk perasaan bahagia bagi orang yang berbuat baik dan perasaan bersalah/berdosa bagi yang berbuat jahat.

Perasaan berdosa bagi orang yang berbuat jahat secara transparan maupun terselubung adalah bentuk hukuman baginya sebagai bentuk penjabaran keadilan-Nya. Ada kepuasan batin bagi yang suka berbuat baik dan ada perasaan mencekam (ketakutan yang tidak beralasan yang muncul dalam jiwa) bagi orang yang senang berbuat dosa. Dalam al-Quran disebut dengan “nafsu lawwamah” (gugatan batin). Ia menggugat atas dosa yang telah dilakukan seseorang. Boleh jadi ada saat-saatnya gugatan itu mereda, tetapi pada saat yang lain akan muncul dengan hebatnya, ia akan selalu ada selama kesalahan dan dosa itu belum diselesaikan.

Gugatan batin itulah yang dikenal dalam ilmu jiwa sebagai perasaan bersalah. Gugatan perasaan bersalah terhadap batin tidak kalah hebatnya dengan rongrongan amarah, ketakutan, dendam, iri hati, dan lain-lain. Efek yang ditimbulkan dari nafsu lawwamah ini berupa gangguan kesehatan jasmani tidak kurang pula hebatnya. Para profesional di bidang medis di zaman modern ini memahami betul akal gejala kejiwaan ini.

Kini, banyak pusat kesehatan membuka Bagian Psychosomatik. Para ahli pada bagian ini dapat bercerita banyak tentang berbagai penyakit jasmani yang timbul sebagai akibat dari perasaan berdosa ini. Pada umumnya penyakit yang tampak secara lahiriyah luka pada fisik tidak bisa disembuhkan secara total dengan semata-mata pengobatan medis saja, sebelum diterapi penyebab pokoknya. Yakni, diatasi perasaan bersalahnya terlebih dahulu.

Berbagai kasus penyakit jasmani yang disebabkan oleh perasaan bersalah itu tidak ada benang merah antara penyakit dan penyebab utamanya oleh mata orang awam, bahkan kaitan itu sama sekali tidak disadari oleh si penderita karena perasaan berdosa itu sudah masuk bawah sadarnya, dan baru kemudian disadarinya setelah seorang ahli berhasil menggali kembali dan menemukan faktor utama penyebabnya. Ada satu ungkapan ahli hikmah: Al ‘Aqlus Salim fil Jismis salim (akal/jiwa yang sehat berbanding lurus dengan badan yang sehat). Sebaliknya, pikiran yang buruk akan menurunkan luka di badan.

Kemungkinan kita pun merasakan perasaan serupa. Sekalipun kesalahan yang kita kerjakan termasuk dosa kecil, tetapi yang kecil itu menimbulkan perasaan penyesalan yang mendalam dan perasaan itu mengganggu serta merisaukan kita. Kita dibayangi perasaan cemas, ketakutan secara berlebih-lebihan.

Kita harus segera menghilangkan gangguan perasaan berdosa itu. Tetapi, cara mengatasinya tidak dengan teknik yang memberikan hasil yang semu. Bagaikan burung onta yang ingin menyelamatkan diri dari serangan pemburunya, dengan membenamkan kepala dalam pasir karena ia mengira bahwa dengan cara demikian tidak bisa melihat bahaya yang mengancam, artinya bahaya itu tidak akan datang. Dengan beriman kepada Allah SWT akan menghilangkan perasaan yang merisaukan itu sampai ke akar-akarnya. Di antara kiat untuk mengelola perasaan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, bersyukur kepada Allah SWT karena kita memiliki kepekaan batin terhadap dosa yang kita lakukan. Ini merupakan indikator bahwa jiwa kita masih relatif bersih, sehingga sedikit khilaf sudah cukup menjadikan kita gelisah. Ada banyak orang di dunia ini yang hatinya telah kesat dan berwarna hitam akibat dosa yang dilakukan secara berkesinambungan, sehingga datangnya noda baru tidak menggoncangkannya. Hanya kemudian timbunan noda hitam itu membangkitkan gugatan batin yang tak terpikulkan di samping bentuk-bentuk keadilan Allah SWT yang lain. Dengan kesadaran mahal tersebut kita akan melangkah menuju kiat berikutnya.

Kedua, Istighfar dan bertaubat kepada-Nya. Dalam beristighfar kita mohon kelemahan kita semakin hari ditutupi. Oleh sebab itu kita harus terbuka kepada Allah SWT. Kita curahkan segala perasaan penyesalan tanpa ditutup-tutupi. Tidak boleh ada yang tersisa. Dalam sebuah hadis, orang yang menyesali dosa-dosanya menunggu datangnya rahmat Allah SWT. Sekiranya kita didominasi oleh perasaan berdosa dengan cara menangis, maka puaskanlah tangisan kita di hadapan-Nya. Kita tidak perlu khawatir dengan Allah SWT. Sekalipun tidak kita ungkapkan, sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati kita.

Dengan berterus terang kepada-Nya semoga perasaan yang mengganjal dihilangkan. Setelah itu kita mohon maaf dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan dosa kembali. Tidak ada dosa kecil yang dilakukan secara terus-menerus. Kita yakin, sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat. Kita ucapkan doa berikut secara berulang-ulang dengan penuh penghayatan.

Wahai Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku. Sesungguhnya tidak dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau. Dan kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang (al Hadits).

Ketiga, apabila kesalahan kita ada hubungannya dengan hak orang lain (haqqul adami), yakni kita pernah merugikan orang lain baik moril maupun material, maka sebelum Allah SWT mengampuni kita, kita dituntut menyelesaikan persoalan itu dengan yang bersangkutan. Mungkin kita banyak berkorban dalam hal ini. Sebenarnya kita tidak perlu merasa demikian, toh untuk kebaikan diri kita sendiri secara lahir dan batin.

Dan jika tidak berhasil menemukan jalan untuk mengurai persoalan dengan pihak yang kita rugikan, kita adukan saja hal ini kepada Allah SWT mohon petunjuk-Nya agar menemukan jalan keluar yang terbaik. Dengan cara melakukan shalat malam dan melantunkan doa berikut.

Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (QS. Al Isra (17) : 80).

Kita mendoakan kepada orang yang kita rugikan, berdoa kepada-Nya agar berkenan memberikan ampunan dan kebahagiaan kepadanya. Kita singkirkan dendam kesumat, kedengkian kepadanya, mungkin kita menemukan penyelesaian dengan cara gruis loos.

“Wahai Tuhanku, berilah ampunan untukku, untuk kedua orang tuaku, untuk orang yang ada haknya atasku dan untuk semua muslim dan muslimah dan semua orang mukmin dan mukminah baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.” (al Hadits).

Keempat, memperbanyak amal saleh. Karena amal saleh itu akan mengangkat derajat kita, menghapus kesalahan kita dan sebagai wasilah untuk mengurai kerumitan kehidupan kita. Bersedekah, berbuat jasa, bermakna bagi orang yang memerlukan uluran tangan kita.

“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Hud (11) : 114).

“Dan susullah perbuatan dosa itu dengan kebajikan dan ia akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Hakim dan Baihaqi dari Abu Dzar).

Kita tidak perlu ragu dengan kasih sayang Allah SWT. Sekalipun kita jatuh pada lumpur dosa, sesungguhnya Dia selalu menerima kehadiran kita dalam keadaan bagaimanapun. Asalkan, kita ingin kembali kepada-Nya dengan sungguh-sungguh. Jika kita selalu berdoa, biasanya akan dikabulkan secara kontan ataupun kredit. Apabila doa kita dikabulkan secara kredit, karena Allah ingin menikmati suara kita. Atau agar suara kita dikenal di penduduk langit, sehingga ketika sewaktu-waktu meminta, mereka mudah menerima permohonan kita. Atau proposal kita disimpan terlebih dahulu, dan diberikan kepada kita pada saat memerlukannya secara mendadak, misalnya terhindar dari kecelakaan secara tiba-tiba.

Kudus, 28 Mei 2010 oleh Shalih Hasyim/hidayatullah.com

TENTANG IBU

aku lihat sesuatu di matamu,
ketika aku mematut-matut diri
pada suatu sore,
dalam cermin yang retak

dalam renyahnya senja
aku lihat tubuh sehatmu
hanya tinggal kenangan
dan menjadi masa lalu...
kini
kulit membungkus tulang
aku tak sanggup menatapmu; ibu
bahwa
dalam sakit masih bumbui cinta
pada anak-anakmu
dengan sambal belacan kesukaan kami
(pada suatu sore menjelang berbuka puasa)

apa yang mesti ku tulis...?
tentangmu adalah seonggok tubuh ringkih
yang telah tunaikan sejarah
menjadi seorang ibu yang berhati mulia

aku melihat sesuatu di matamu
dalam sakit
ada selaksa semangat di dada
(semoga engkau cepat sembuh; ibu)

kota juang, 29 agustus 2010 karya mukhlis abi fildza

puisi ini saya persembahkan untuk ibu saya yg sedang sakit,
semoga cepat sembuh. kami selalu mendo'akanmu, ibu....