Sabtu, 11 Februari 2012

BIDUK


seumpama biduk
itulah kiranya diriku
layari laut dalam
gumpalan kabut
dan çinta mu
adalah badai dari Selatan
segera bawa aku
karam; tenggelam
ke dasar samudera
dan riwayat pun
tamat...!

Kota Juang 10 Febr 2012 karya mukhlis abi fildza

Rabu, 08 Februari 2012

BELAJAR TABAH DARI UMMU SULAIM

SUATU hari, anak Abu Thalhah meninggal dunia. Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, berkata kepada orang-orang yang menjenguk anaknya, “Janganlah ada yang memberi kabar kepada Abu Thalhah hingga akulah sendiri yang memberi kabar duka ini.”

Berkata begitu, Ummu Sulaim segera merapikan jenazah putranya.

Malam harinya, Abu Thalhah pulang. Ia segera menanyakan keadaan anaknya.

“Ia tenang seperti sedia kala,” jawab Ummu Sulaim.

Istri taat ini bergegas menyuguhkan makan malam bagi suaminya. Tak lupa mematut diri di depan cermin agar tampak lebih indah dari biasanya.

Melihat istrinya yang berhias cantik, Abu Thalhah pun bergairah. Malam itu pun Ummu Sulaim melayani suaminya di atas tempat tidur.

Setelah Ummu Sulaim melihat suaminya tampak puas dan tenang jiwanya, ia pun berkata lembut, “Wahai Abu Thalhah, bila ada keluarga yang meminjam sesuatu kepada keluarga yang lain, lalu mereka meminta kembali barang pinjaman itu, tetapi keluarga itu menolak mengembalikan pinjaman itu, bagaimana menurut pendapatmu?”

“Sungguh, sekali-kali mereka tidak berhak untuk menolaknya karena barang pinjaman harus dikembalikan kepada pemiliknya,” jawab Abu Thalhah dengan segera.

Mendengar jawaban itu, Ummu Sulaim tersenyum, kemudian berkata lagi, “Sesungguhnya anakmu adalah barang pinjaman dari Allah, dan Allah telah mengambilnya.”

Seketika Abu Thalhah mengucapkan kalimat istirja’, Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.

Esok harinya, Abu Thalhah menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah membenarkan sikap Ummu Sulaim dan bersabda, “Semoga Allah memberkahi malam kamu berdua.”

Buah Surga

Anak adalah permata jiwa yang senantiasa dinanti dan dirindui kehadirannya. Ketiadaan anak menjadikan hidup terasa sepi, sedang kehadirannya menjadikan hidup terasa menjadi ramai dan ceria. Karena itulah, ketika anak-anak telah hadir, mereka selalu berusaha dirawat dengan sebaik-baik perawatan, diasuh dengan sebaik-baik asuhan, dan dijaga dengan sebaik-baik penjagaan.

Harapannya, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga senantiasa sehat jiwa dan raganya. Anak-anak yang sehat, anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan baik, akan selalu tampil lincah dan ceria. Hari-harinya selalu dihiasi dengan gerak-gerik lincah, canda tawa, dan senyum nan menggelitik yang membuat kedua orangtuanya selalu diliputi perasaan suka dan bahagia. Inilah anugerah terindah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa diidam-idamkan oleh setiap orangtua.

Akan tetapi, harapan seringkali tak sesuai dengan kenyataan. Tak sedikit para orangtua yang harus menghadapi ujian berupa kematian anaknya, di saat usia sang anak masih amat belia. Kesedihan pun menyelimuti hati. Tak jarang begitu dalam. Bahkan, tak sedikit orangtua yang stres dan frustrasi, dan pada gilirannya mengumpat-umpat Allah ketika menghadapi ujian berupa kematian sang buah hati.

Seorang Muslim yang memiliki keimanan mantap tidak akan bertindak seperti itu. Sebab, ia mempercayai dengan sepenuh keyakinan bahwa hakikat kepastian, baik dan buruknya, itu dari Allah. Oleh karena itu, sungguh akan tampak kecil segala peristiwa dan musibah yang menimpa dirinya. Ia akan berserah diri kepada Allah, sehingga jiwanya akan merasa tenang, hatinya akan tabah menghadapi cobaan, ridha akan kepastian, dan tunduk kepada suratan takdir Allah.

Seorang ulama berkata, “Hendaknya kedua orangtua bersabar dan menerima ketentuan takdir Allah, karena putusan Allah pada seorang mukmin dalam hal yang tidak menyenangkan mungkin lebih baik daripada dalam hal yang menyenangkan hati.”

Apalagi, bagi orang-orang yang bersabar menghadapi kematian anak, akan memperoleh “buah manis” yang akan dipetik di akhirat nanti. Di antara buah manis itu tak lain adalah surga.

Rasulullah bersabda, “Jika anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allah berfirman kepada malaikat, ‘Kalian telah mengambil anak hamba-Ku?” Mereka (malaikat) berkata, ‘Ya’. Allah berfirman, ‘Kalian telah mengambil buah hati hamba-Ku?’ Mereka berkata, ‘Ya’. Allah berfirman, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Ia memuji-Mu dan ber-istirja’.’ Maka Allah berfirman, ‘Bangunkanlah bagi hamba-Ku rumah di surga dan berilah nama Baitul-Hamd’.” (Riwayat At-Tirmidzi)

Bersedih, Boleh

Apakah dengan demikian, bersabar menghadapi kematian anak berarti tidak boleh bersedih? Tidak boleh menangis?

Tentu saja tidak serta merta seperti itu. Islam mengajarkan bolehnya bersedih menghadapi kematian anak karena itu merupakan hal yang manusiawi.

Bersedih adalah luapan ekspresi yang lumrah ketika seseorang berpisah dengan sosok yang disayanginya (anak). Bersedih seperti ini justru menunjukkan ekspresi kecintaan dan kasih sayang. Yang tidak diperbolehkan adalah ketika kesedihan itu telah berlebih-lebihan dengan diiringi suara tangis ratapan.

Rasulullah sendiri diriwayatkan begitu bersedih ketika menghadapi kematian Ibrahim, anak kesayangannya. Rasulullah bahkan menangis sehingga matanya basah.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, kesedihan dan tangis Rasulullah itu terlihat jelas oleh sebagian kaum Muslimin yang bertakziyah di rumah beliau.

Berkatalah salah satu hadirin, “Mengapa Tuan menangis? Bukankah Tuan pernah melarang kami menangisi orang mati?”

Mendengar perkataan itu, Nabi bersabda, “Aku tidak pernah melarang berdukacita (bersedih), tetapi yang pernah kularang itu hanya mengangkat suara dengan menangis. Apa-apa yang kamu lihat kepadaku adalah bekas apa yang terkandung di dalam hati dari rasa cinta dan sayang. Barangsiapa yang tidak menyatakan kasih sayang, orang lain tidak akan menyatakan kasih sayang terhadapnya.”

Jadi, sedih menghadapi kematian anak dalam batas-batas yang wajar diperbolehkan syariat. Yang dilarang adalah jika tangisan itu dilakukan dengan meratap. Apalagi bila disertai dengan menampar pipi dan merobek-robek pakaian, maka hal ini jelas-jelas dilarang syariat Islam sebagaimana sabda Rasulullah, “Bukan dari golonganku orang yang (ditinggal mati keluarganya) memukul-mukul pipi dan merobek-robek (kain) saku dan menjerit-jerit dengan suara jeritan kaum jahiliyah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Karenanya, ketika harus menghadapi takdir kematian anak, bersedihlah dalam batas-batas yang wajar. Terimalah takdir kematian itu dengan sabar dan ikhlas. Mudah-mudahan dengan begitu, kematian anak akan menjadi “buah manis” yang akan dipetik di akhirat nanti. Ya, anak tersebut akan menjadi jalan menuju surga bagi orangtuanya.

Di sinilah kisah Ummu Sulaim di atas menemukan konteksnya sebagai pelajaran berharga tentang ketabahan yang luar biasa seorang ibu menghadapi kematian anaknya. Itu semua tentu sebagai akibat dari spirit keimanan yang benar-benar merasuk ke dalam kalbunya.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

sumber: muslim.cpm

Miskin atau Kaya, Yang Penting Tetap Sederhana

Selain sebagai Negarawan yang cakap, Umar bin Khattab juga dikenal sebagai seorang yang zuhud. Keberhasilannya dalam mengantarkan rakyat dan bangsanya memasuki gerbang kehidupan yang lebih baik, tidak mengubah sikap dan pola hidupnya. Ia tetap Umar yang dulu, yang sederhana dan bersahaja.

Pada masa Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) ummat Islam hidup selalu pas-pasan, jika tidak boleh disebut berkekurangan. Bagaimana tidak, sedang negara Madinah, yang baru saja dimerdekakan harus menghadapi berbagai berbagai rongrongan musuh yang tidak senang akan kejayaan Islam. Oleh karenanya wajar jika pembangunan fisik, kurang mendapatkan sentuhan, bahkan nyaris tidak terurus.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar bisa dibilang hampir sama, kecuali ada sedikit kemajuan. Wilayah Islam mulai berkembang, merambah ke berbagai wilayah yang berdekatan. Akan tetapi musuh Abu Bakar tidak sedikit. Ia harus menghadapi para pembangkang yang keluar dari Islam. Jumlah mereka tidak kecil, demikian juga kekuatannya. Alhamdulillah musuh-musuh Islam itu telah berhasil dilenyapkan oleh Abu Bakar. Dengan gambaran kondisi di atas adalah wajar jika dalam pemerintahan Abu Bakar, kesejahteraan ummat dalam bidang materi belum bisa dihitung, walaupun sedikit ada kemajuan.

Pada pemerintahan Umar, wilayah Islam terus berkembang. Tidak saja terbatas di jazirah Arab, tetapi juga meliputi bangsa-bangsaa asing, bahkan telah menyeberang ke Eropa. Satu persatu kekuasaan kafir berhasil ditundukkan. Termasuk kerajaan Parsi yang sudah sangat maju dan tinggi peradabannya.

Tentu saja perubahan besasr terjadi di kalangan ummat Islam. Harta kekayaan melimpah, ummat banyak, dan kekuatan militer besar dan terlatih. Poros dunia mulai bergeser dari dua super power – Roma dan Persia – ke dunia baru Islam, yang berpusat di Madinah.
Bagi kebanyakan ummat yang tidak langsung mendapatkan bimbingan dari Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), perubahan di bidang materi ini tentu saja bisa mengubah sikap mentalnya. Jika biasanya hidup dalam berkesahajaan, kini mulai ikut-ikutan cara baru sebagaimana layaknya penduduk negeri-negeri yang telah ditaklukkan. Mulai dari gaya berpakaian sampai ke gaya hidup.

Di tengah perubahan besar seperti ini, sebagai sosok pemimpin dengan kekuasaan yang amat besar, Umar, tetap menunjukkan sikap dan perilaku yang sama. Tidak ada sedikitpun yang berubah pada diri Umar, termasuk dalam memandang harta. Ia tak tergiur sedikitpun terhadap harta, walaupun harta itu telah ada di depan matanya. Jangankan korupsi, mengambil haknya sendiri saja ia masih enggan.

Sangat wajar dan rasional jika Umar mendapatkan gaji lebih besar daripada Abu Bakar, sebab pada saat ia memimpin, luas wilayahnya membengkak beberapa kali lipat, pendapatan negara juga melonjak, kesejahteraan rakyat juga meningkat. Akan tetapi Umar ternyata memilih gaji yang sama seperti yang diterima oleh kepala negara sebelumnya. Padahal harga-harga kebutuhan pokok telah meningkat, sementara kebutuhannya juga semakin banyak.

Orang-orang terdekatnya bukan saja merasa iba, tapi ikut prihatin atas sikap pemimpinnya. Berkali-kali usulan diajukan untuk menambah gajinya, tapi selalu ditolaknya.
Tentang kezuhudan Umar bin Khattab ini, Ibnu Asakir menceritakan sebuah atsr dari Hasan Basri. Ia berkata, “Ketika aku mendatangi suatu majelis di masjid jami’ kota Basra, kudapatkan sekelompok sahabat Nabi saw yang sedang membicarakan tentang kezuhudan Abu Bakar dan Umar, di tengah berlimpah-ruahnya kekayaan yang diperoleh kaum muslimin dari berbagai wilayah yang ditaklukkan.

Ketika mendekati al-Ahnaf bin Qais al-Tamimi ra aku mendengar ia berkata, “ketika kami diutus oleh Umar ke Persia dan wilayah sekitarnya, maka kami berhasil mengumpulkan beberapa pakaian yang bagus dari wilayah-wilayah itu. sewaktu kami menghadap dengan mengenakan pakaian-pakaian mewah tersebut di hadapan Umar, ia memalingkan wajahnya dari kami dan menjauh. Sikap tersebut menjadikan para sahabat Rasulullah saw merasa takut, sehingga mereka mengadukan masalah ini kepada Ibnu Umar yang ketika itu berada di masjid. Kata Abdullah Ibnu Umar, “Mungkin ia marah, karena ketika menghadapnya, kalian sedang berpakaian mewah yang berbeda dengan keadaan kalian di masa Rasulullah dan Abu Bakar al-Shiddiq ra.”

Kami segera pulang ke rumah masing-masing dan segera menukar pakaian mewah dengan pakaian yang biasa kami pakai di masa Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dan Abu Bakar. Maka di saat menghadap Umar dengan pakaian tersebut, ia bangkit menyalami kami dan merangkul kami seorang demi seorang seolah baru pertama kali bertemu.

Ketika kami hadapkan kepada Umar semua ghanimah tersebut dengan cara yang sama di antara kami. Ketika kami haturkan di hadapannya sekaleng makanan, ia mencicipinya sedikit, kemudian berkata kepada kami, “Wahai kaum Muhajirin dan Anshar, mungkin dikarenakan makanan sekaleng ini, seorang anak saling berebut dengan ayah dan saudara-saudaranya. Kemudian ia menyuruh segera membagikan makanan tersebut kepada anak-anak para syuhada’. Muhajirin dan Anshar yang ayah-ayahnya gugur di masa Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) tak lama kemudian ia bangkit diikuti para sahabat yang lain.

Seusai acara ini para sahabat melanjutkan obroannyaj. Mereka berkata, “Wahai kaum Muhajirin dan Anshar, bagaimana kamu lihat kezuhudan orang ini (Umar) dan pakaian yang disandangnya. Sungguh mengherankan sedangkan Allah Subhanahu Wata’ala telah melimpahkan rezeki yang berlimpah-ruah kepada kaum muslimin dan telah menaklukan semua bangsa-bangsa yang berada di jazirah Arabiyah. Utusan orang-orang Arab dan asing semuanya berdatangan kepadanya, akan tetapi kami lihat ia menghadapi mereka dengan memakai jubah satu-satunya yang sudah dihiasi dua belas tambalan.”

Mereka kemudian melanjutkan rembukannya. Katanya, alangkah baiknya jika kalian – tokoh-tokoh sahabat yang dekat dengan Umar – mengusulkan agar ia mau mengganti jubahnya itu dengan pakaian yang lebih baik sehingga kelihatannya lebih dan lebih tampan, agar ia juga mau menggantikan piring yang biasa dipakainya jika ia makan di hadapan para sahabat.

Untuk kepentingan itu, para sahabat bersepakat mengutus Ali bin Abi Thalib. Alasannya, selain dikenal berani, ia adalah seorang menantu Rasulullah.

Akan tetapi ketika usulan itu disampaikan kepada Ali, ia malah menjawab, “Aku tidak berani menyampaikan usul itu kepada Umar. Sebaiknya kalian menemui para istri Rasulullah sebab mereka adalah ibu bagi kaum mukminin dan hal itu lebih pantas.”
Atas usul tersebut, para tokoh sahabat ini mendatangi rumah ‘Aisyah dan Hafsah, keduanya tinggal dalam satu rumah. Maka ‘Aisyah berkata, “Aku yang akan menyampaikannya kepada Amirul Mukminin.” Akan tetapi Hafsah (putri Umar bin Khattab) justru sanksi. Ia berkata, “Menurutku Umar tak mungkin menerima usul tersebut.”
Ketika keduanya datang ke rumah Umar, ia menyambutnya dengan penuh hormat. ‘Aisyah membuka pembicaraan, “Wahai Amirul Mukminin, bolehkah aku menyampaikan sesuatu kepadamu?” Boleh, jawab Umar.

Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah wafat dan telah kembali ke haribaan-Nya sedangkan beliau belum sempat menikmati kesenangan duniawi sedikitpun. Demikian pula Abu Bakar, khalifah Rasulullah yang telah menghidupkan sunnah-sunnah beliau, menumpas orang-orang yang keluar dari Islam, menegakkan pemerintahan dengan adil dan membagikan harta ghanimah dengan cara yang sama, dan beliau meninggal sebelum sempat menikmati kesenangan dunia.

Sedangkan engkau, kini telah dibukakan di hadapanmu semua kekayaan yang telah dimiliki kaisar Romawi dan Parsi. Kini berdatangan utusan-utusan bangsa Arab dan asing ke hadapanmu, sedangkan kau memakai jubah ini yang padanya terdapat dua belas tambalan. Alangkah baiknya jika engkau mau menggantikan jubah usang itu dengan pakaian yang lebih anggun, sebab Allah telah melimpahkan harta yang berlimpah-ruah di hadapanmu.”

Mendengar ucapan ini, Umar pun menangis, seraya berkata, Demi Allah, aku tanya kepadamu, pernahkan Rasulullah kenyang dari roti mewah selama berhari-hari dalam hidupnya? Pernahkah Rasulullah minta dihidangkan kepadanya makanan-makanan mewah? Kedua pertanyaan ini selalu dijawab: tidak! Maka umar pun berkata, “Wahai istri-istri Rasulullah, kalau kalian saksikan bahwa Rasulullah saw tidak pernah makan dan berpakaian secara mewah, mengapa kalian berdua datang kepadaku seraya mengusulkan kepadaku agar aku hidup mewah sepeninggalnya?”

Umar melanjutkan pembicaraanya, “Wahai Hafsah, mengapa engkau suruh aku hidup mewah, sedangkan engkau tahu walaupun Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah diampunkan dosanya yang terdahulu maupun yang kemudian, namun beliau tetap hidup melarat dan tetap bersemangat dalam beribadah, baik di waktu siang maupun petang. Begitulah kehidupan beliau sampai menjelang wafatnya. Demikian pula Abu Bakar, seorang khalifah Rasulullah yang telah dibukakan di hadapannya harta yang berlimpah-ruah, namun beliau tetap hidup amat sederhana dan bersemangat dalam ibadahnya hingga menjelang hari wafatnya. Karena itu aku akan tetap mengikuti pola hidup sederhana ini hingga hari wafatku, sebab aku hendak meniru kedua sahabatku yang mulia itu.”

Ketika jawaban Umar itu disampaikan kepada para sahabat, mereka pun terdiam. Tidak ada satupun di antara mereka yang berani mengusulkan lagi kepada Umar. Dan Umar tetap dalam kesederhanaannya hingga menemui ajalnya.

Bagaimana dengan para penerusnya? Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah dua sahabat yang menjadi khalifah sepeninggalnya. Keduanya melanjutkan kebiasaan pendahulunya. Meskipun Utsman sejak semula kaya raya, tapi ia tetap memilih gaya hidup sederhana. Ali bin Abi Thalib yang sejak mudanya menjalani kehidupan sebagai zahid, ketika berkuasapun tetap zahid. Ia tetap sederhana dalam keadaan yang bagaimanapun juga.

Kita memang bukan Umar, Ali, maupun Abu Bakar. Tetapi pantaslah berkaca kepadanya.

sumber: hidayatullah.com