Jumat, 17 Agustus 2012

ZINA MARAK, MARI BERBUAT SESUATU

"Pegawai Honorer Pasok Mahasiswi ke Kantor Camat"
Itu judul sebuah berita yang dimuat Harian Serambi Indonesia, Rabu kemarin. Beberapa hari sebelumnya Serambi Indonesia juga memberitakan hal yang hampir sama, terkait dengan zina, dengan judul "Dua Pria dan Satu Janda Dimassa". Kalau kita mau membuka arsip berita terkait, pada halaman sebelumnya, kita akan menemukan berita seperti itu lagi. Selama bulan Ramadhan saja, berita tentang pelaku zina yang ditangkap, menghiasi halaman koran lokal di Aceh, terutama koran-koran yang memberi Headline bombastis...

Separah itukah kondisi moral masyarakat kita? Masing-masing kita akan memberi jawaban berbeda. Saya punya penilaian sendiri, anda punya penilaian sendiri. Mencermati kejadian demi kejadian, saya yakin, yang terekspos media hanya sebagian kecil saja dari kondisi sesungguhnya. Perzinahan sekarang nampaknya sudah menjadi hal biasa. Ibarat gunung es, yang tertangkap itu hanya puncak gunung es, masih banyak yang tidak tertangkap atau diekspos. Realita di lapangan lebih parah dari itu.
Saya mengetahui bahwa di desa A ada sepasang remaja yang ditangkap massa, tapi ternyata tidak termuat di media. Di tempat lain, ada ponakan teman saya yang kawin lari dengan lelaki yang tukang kawin. Padahal sehari-hari si gadis tidak banyak tingkah,mereka tidak pernah melihat si gadis pergi berduaan dengan si pria tukang kawin itu, karena si gadis pada siangnya selalu di rumah, merawat ibunya yang sakit. Tau-tau si gadis "lari" dengan lelaki pujaan hatinya ke Medan, Sumut. Setelah dicari dan ketemu, mereka berdua membuat pengakuan telah melakukan hubungan suami isteri beberapa kali. Yang mengejutkan ternyata si gadis telah hamil. Nah, yang ini juga tidak terekspos...

Pada kesempatan lain, saya seringkali melihat, di sepanjang jalan di Bireuen, lelaki dan perempuan muda berpelukan di atas sepeda motor, tanpa malu-malu. Istilah anak muda sekarang "biasa aja lageee...."
Mereka bebas saja berperilaku demikian. Anehnya, masyarakat yang melihat kondisi itu, bersikap cuek! Tidak ada yang peduli, seakan itu hal yang biasa, masa sekarang. Aneh!
Saya beberapa kali menegur anak muda yang berpacaran di atas sepeda motor,dan ribut dengan mereka. Ketika saya menyampaikan pada beberapa orang yang kebetulan lewat, meraka malah mengatakan tidak mau terlibat. "Alah hai pak, bah meunan keudeh...han ek ta urus. Bah ta urus aneuk dro mantong di rumoh..." kata mereka lugas dengan bahasa Aceh. Yang intinya tidak mau berurusan dengan anak orang, urus anak sendiri di rumah.
Sekali lagi begitu parahkah?
Saya kira semua kita, orang yang mengaku tinggal di negeri syariat, mungkin sedang sakit. Bukan hanya remaja yang sakit, tapi juga orangtuanya, termasuk kita yang dengan nyata melihat kemungkaran, tapi tidak berani melawan.
Haruskah kita biarkan kondisi ini akan terus berlanjut? Atau siap-siaplah akan lahir anak tanpa ayah, perempuan generasi muda rusak di kemudian hari.

Mari kita mulai mencegahnya dengan beberapa cara, antara lain :

1.Perkuat aqidah anak.

Berilah proteksi sejak dini bagi anak kita dengan memperkuat aqidahnya. Kalau sekiranya kita sibuk, tak perlu malu untuk mengantar anak kita ke tempat pendidikan yang baik dan layak, yang tentu saja, tempat yang mengutamakan pendidikan agama, semisal pesantren, dsb.

2.Jangan jauhi anak

Anak, apalagi anak yang beranjak remaja, tidak boleh dijauhi. Dekati dia, berilah kehangatan dari kita, sebagai orangtuanya. Jangan biarkan dia mengeluh pada orang lain. Ajak dia berdialog. Perketat aturan di rumah. Jangan biarkan anak keluar rumah tanpa sepengetahuan kita.

3.Matikan TV

Sudah diketahui umum, bahwa siaran TV di Indonesia, hampir sama dengan TV Amerika. Tayangan yang tidak mendidik tidak pernah mendapat teguran dari KPI. Kita bisa dengan mudah menonton tayangan sinetron seperti film India,pada primetime. Biasa saja. Nah, agar anak kita tidak terpengaruh tayangan sampah, mari matikan TV.

4.Berani melawan kemungkaran

Seperti saya sampaikan di atas, bahwa kalau kita melihat kemungkaran, jangan diam! Lakukan sesuatu.Kalau melihat orang pacaran di atas sepeda motor, tidak salah kita tegur, tentu dengan cara persuasif. Kalau tidak mempan, silahkan marah. Kalau tidak sanggup juga untuk marah, jangan segan hubungi WH... Pokonya kita harus melakukan sesuatu. Jangan biarkan kemungkaran di depan matan!

Mungkin saya hanya bisa memberi beberapa tips saja, selebihnya anda punya tips tersendiri. Saya hanya ingin mengajak kita semua berempati dengan kondisi terkini:
MORAL ORANG ACEH SUDAH RUSAK

Dan, mari kita benahi, pelan-pelan...

salam,
mukhlis abi fildza
tinggal di Cot Gapu Bireuen


MERDEKA SELAMANYA


merdeka...!
bambu runcing, ikat kepala
pekik merdeka beribu makna
darah bergolak hati berontak
usir penjajah rebut merdeka

dan saatnya kita proklamasi
"kami bangsa Indonesia, dengan ini
menyatakan kemerdekaan Indonesia, dst"

merdeka, merdeka!
sampai memutih darahku!

Kota Juang, 17 Agustus 2012
karya mukhlis abi fildza

Senin, 13 Agustus 2012

SHALLU 'ALAN NABIY

Oleh : K.H.Rahmat Abdullah (alm)

Apa yang Tuan pikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir dan dibesarkan dicelah-celah kematian demi kematian orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika tak seorangpun mampu menguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. Ia produk ta’dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan namanya, saat muaddzin mengumandangkan suara adzan.

Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal. Ia akan makan dilantai seperti budak, padahal raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda rumah.

Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fatimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib. Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya jadi manja dan hilang kemandirian. Saat Bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan; “Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri mereka biarkan dia dan apabila yang mencuri itu seorang jelata mereka tegakkan hokum atas-nya. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya.”

Hari-harinya penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk lebih dari satu dua kali berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah binti Abu Bakar Assidiq. Lambang kecintaan, paduan kecerdasan dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih kepada Asshiddiq, sesuai dengan namanya “si Benar”. Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para sahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab: “Labbaik”. Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan kualitasnya sebagai orang rumah”.

Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia.”Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang terbaik diantara kamu terhadap keluargaku. Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan menghina perempuan kecuali seorang hina.” Demikian pesannya.

Disela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau dipanglimai sahabatnya (sariyah) sebanyak 35 kali, ia masih sempat mengajar Al-Qur’an, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara dua petempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.

Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah. Suatu hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di lantai masjid yang berbahan pasir. Para sahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. Sabdanya kepada mereka : “Jangan, biarkan ia menyelesaikan hajatnya.” Sang Badui terkagum, ia mengangkat tangannya, “Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami.” Dengan tersenyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.

Ia kerap bercengkerama dengan para sahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak, Bahkan memangku balita mereka di pangkuannya. Ia terima undangan mereka: yang merdeka, budak laki-laki atau budak perempuan, serta kaum miskin. Ia jenguk rakyat yang sakit jauh di ujung Madinah. Ia terima permohonan maaf orang.

Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu sebelum sahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di tengah sahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat ia shalat, ia cepat selesaikan shalatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.

Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: “Seandainya ada seorang saleh mau mengawalku malam ini”. Dengan kesadaran dan cinta, beberapa sahabat mengawal kemahnya. Di tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. Para sahabat bergegas ke sumber suara. Ternyata ia telah ada disana mendahului mereka, tegak diatas kuda tanpa pelana, “Tenang, hanya angin gurun,” hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas.

Ummul Mukminin Aisyah ra. berkata: “Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang bisa dimakan makhluk hidup, selain setengan ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum.”

Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat sederhana dan pakaian tak lebih harganya dari 4 dirham, seraya berkata, “Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sum’ah.” Pada kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan.

Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucap shalawat atasnya: “Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat doa yang takkan ditolak dan aku menyimpannya untuk umatku kelak di padang mahsyar nanti.”

Ketika masyarakat Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga bukit menawarkan untuk menghimpit mereka dengan bukit. Ia menolak, “Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan di sulbi mereka kelak akan menerima dakwah ini, mengabdi kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”

Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran jiwanya. Pertama, Allah, sumber kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks menumpahkan semua keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima segala resiko perjuangan; kerabat yang menjauh, sahabat yang membenci, dan khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta. Kedua, Ummati, hamparan akal, nafsu dan perilaku yang menantang untuk dibongkar, dipasang, diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya.

Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan shalawat? Allah tidak mencukupkan pernyataan-Nya bahwa Ia dan para malaikan bershalawat atasnya (QS.Al Ahzab: 56), justru Ia nyatakan dengan begitu “vulgar” perintah tersebut, “Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah atasnya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam.”

Allahumma shalli ‘alaihi wa’ala aalih!

(Dikutip dari Buku Warisan Sang Murabbi, Pilar-pilar Asasi)

Minggu, 12 Agustus 2012

TENTANG KOTAKU

pulang dari rantau,
aku terpaku, pada jejak tanah
yang kutinggalkan bertahun-tahun

kotaku masih seperti kota lama,
penuh debu, menyatu dengan rak-rak mie aceh
sepanjang jalan
pesimis dan wajah kusam,
muka lusuh pembawa tas sumbangan
yang memasuki toko demi toko
dengan modal surat miskin

kotaku ternyata belum berubah,
masih saja seperti dulu:
kecuali pergaulan anak-anak muda
yang tak dipedulikan orangtuanya
ketika honda satria menjemput anak gadisnya
menjelang petang
dan mengantarnya pulang menjelang pagi

pulang dari rantau,
aku langsung disambut berita koran
tentang lampu-lampu jalan
ternyata biaya listriknya masih terhutang
untuk siapa juga, kerlap-kerlip hiasi malam?

aku termenung
hati jadi sepi, mulut terkunci
bertahun-tahun aku juga tak peduli
hidup hanya dengan sepenggal nafas
hari-hariku ditemani air putih,
dan sepiring nasi tanpa lauk

maafkan,
aku tidak bisa menyumbang apapun
kecuali sebutir pikiran untuk kemajuan
itupun kalau kalian mau menerimanya

Kota Juang, 9 Agustus 2010 karya mukhlis abi fildza

Yang saya maksudkan Kotaku adalah Kota Juang, ibukota Kab.Bireuen. Ini kisah saya dan kisah kampung saya.