Sabtu, 20 Juli 2013

DIBALIK PUISI "NEGERI MILIK PARA BEDEBAH"

Dalam beberapa malam terakhir, saya sangat kesulitan memejamkan mata. Setelah sekian lama merebahkan badan di atas ranjang saya tetap tidak bisa memejamkan mata. Pada malam-malam pertama, memang pikiran selalu teringat kepada almarhum ayah saya yang baru meninggal dunia, dua bulan yang lalu. Hal wajar. Seorang anak lelaki merindukan ayahnya.
Namun pada malam-malam berikutnya bukan soal ayah yang membuat mata saya sulit terpejam di kala malam. Banyak masalah lainnya yang tanpa sengaja terpikirkan. Enthalah.... Yang pasti saya adalah seorang susah tidur.

Yang membuat saya bersyukur adalah ketika saya tidak bisa tidur, saya masih diberi kenikmatan iman, sehingga saya mengambil kesempatan untuk membaca ayat-ayat suci Al Qur'an, konon lagi sekarang bulan Ramadhan. Membaca Al Qur'an akan mendapat pahala berlimpah dari Allah SWT.
Disela-sela waktu luang setelah tadarus, saya masih diberi kesempatan dan sedikit kemampuan untuk menulis puisi atau sajak. Entah berapa puluh saja sudah saya tulius selama 10 (sepuluh) hari Ramadhan. Setiap sore atau malam hari saya ingin menulis. Tak terkecuali jam sudah menunjukkan dinihari.

Terakhir saya menulis puisi tentang para pemimpin negeri ini yang sudah seperti preman. Negeri ini makin rusak oleh ulah para preman berdasi. Mereka adalah para penguasa yang menggunakan kewenangannya secara semena-mena. Mereka adalah para borjuis yang munafik. Secara kasat mata nampaknya mereka bak pahlawan, tapi sesungguhnya mereka adalah para penyamun. Saya sangat tidak respek terhadap penguasa negeri ini, saat ini. Kelihatan santun, mengusung issue kemerdekaan diri bagi masyarakat, tetapi kenyataan malah negeri makin parah. Setiap kebijakan dalam pemerintahan semata-mata memperjuangkan kelompoknya saja atau kader partai politik yang memgusungnya jadi borjuis seperti sekarang. Belum lagi kebijakan-kebijakan lainnya yang hampir selalu saja menabrak norma-norma serta etika moral. Hidup ibarat berlaku hukum rimba, tapi berlaku dalam dunia nyata dan dalam era globalisasi.
Kembali ke soal puisi. Benar! Saya memang menulis puisi yang terkesan sangat kejam dan kasar. Judulnya NEGERI MILIK PARA BEDEBAH.  Puisi ini melengkapi puisi sebelumnya yang juga sarat kritik sosial yang berjudul TERIAK PENGUASA dan UANG KERTAS PENGUASA. Tiga puisi yang membuat merah muka para penguasa yang membacanya (dan tentu saja para penguasa yang mengerti maknanya).
Saya tidak tahu darimana awalnya, sehingga saya memberi judul NEGERI MILIK PARA BEDEBAH. Yang jelas, saya ingin menulis sekeras-kerasnya. Ingin mengkritik dengan sekeras-kerasnya. Di pikiran saya hanya ingin menulis tentang para penguasa yang sudah bedebah atau celaka atau ciloko. Puisi tersebut bisa teman-teman baca di postingan saya sebelum ini.

Saya selalu saja memposting puisi-puisi saya di facebook. Nah, tanpa disangka, seorang teman saya berkomentar bahwa puisi saya mirip dengan tulisan Tere Liye.   Terkejut saya membaca. Untuk menghindari kesalahan opini publik terhadap saya, buru-buru saya jelaskan padanya bahwa saya belum membaca karya Tere Liye, dan tentu saja tidak mau di cap sebagai plagiator. Segera saya cek dan browsing di internet. Ternyata dengan memakai kata kunci PARA BEDEBAH saja, akan dengan mudah kita temui tentang Novel karya Tere Liye yang tebalnya mencapai 440 halaman. Saya belum memiliki buku tersebut, dengan membaca sinopsi di internet sudah cukup memuaskan saya. Tidak ada kaitan sedikitpun isi maupun makna yang terkandung dalam puisi saya dengan isi cerita novel milik Tere Liye. Kalau puisi saya bercerita tentang penguasa (subjeknya), sementara dalam novel Tere Liye menggambarkan secara utuh kondisi negeri yang memang dikuasai para bedebah, dalam arti luas. Di negeri tersebut ada bandit yang dianalogikan sebagai bedebah, ada pihak lain juga yang kayak bedebah, dsb. Dan, Insya Allah malam ini saya akan tidur nyenyak, telah berhasil membuktikan bahwa saya bukan plagiator. Kalaupun judul puisi kebetulan hampir sama dengan judul Novel milik Tere Liye, itu hanya suatu kebetulan.  Yah, sama juga dengan judul puisi yang ditulis oleh pengarang lainnya.
Ada satu puisi karangan Adhie Massardi,mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, yang judulnya hampir sama demgan judul puisi saya. Tetapi setelah saya membaca lebih mendalam, puisi beliau seperti menggambarkan kondisi Indonesia saat ini secara telanjang. Berbeda dengan saya, yang menulis dalam sudut yang agak sempit. Namun yang pasti satu hal, kami berdua telah berani mengkritik penguasa.
Lebih jelasnya, teman-teman bisa membaca puisi SAJAK NEGERI PARA BEDEBAH karya Adhie Massardi berikut ini :


NEGERI PARA BEDEBAH

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah
Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan

Jakarta, 2009.

Nah, bagaimana tanggapan teman-teman tentang puisi milik AdhieMassardi?   Silahkan nilai juga puisi milik saya. Terlepas ada kekurangan dalam ejaan dan tutur maupun tata letak kalimat, tapi satu hal bahwa ada benang merah antara keduanya. Kedua karya tulis tersebut SANGAT BERANI. 
Wallahu a'lam bish-shawabi

Salam hangat,
mukhlis aminullah, penulis puisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar