Kamis, 23 Januari 2014

TULISANMU BUKAN UNTUKMU

Setiap orang bisa menulis, itu benar. Namun, tentunya tidak semua orang menulis dalam level yang sama dengan yang lainnya. Kualitas sebuah tulisan, atau paling tidak apakah tulisan itu enak dibaca, juga tidak dapat dilihat hanya dari usia, gender, latar belakang pendidikan, status sosial, bahkan pemahaman seorang penulis terhadap topik yang ia tulis. Jam terbang tentunya cukup menentukan. Namun lebih daripada itu, ada satu hal lain yang tak kalah penting, yaitu bagaimana sikap penulis terhadap pembaca.

Seorang penulis tidak bisa hidup tanpa pembaca. Bahkan dikatakan ketika sebuah tulisan diterbitkan (apa pun medianya), maka tulisan itu bukan lagi menjadi milik penulis, melainkan milik pembaca. Itulah yang disampaikan Roland Barthes dalam karyanya "Dead of the Author". Lebih dalam lagi, sastrawan almarhum Pramoedya Ananta Toer dalam berbagai kesempatan malah menyebut menulis sebagai sebuah tugas sosial. Saat menulis, seseorang harus menyadari bahwa ia menulis untuk melayani masyarakat (pembaca), jadi pembaca adalah yang utama. Paradigma ini sangat perlu ditanamkan di benak mereka yang ingin menjadi penulis yang baik. Anda bisa menyajikan tulisan yang baik jika tulisan Anda:

(1) menghormati pembaca;
(2) berbicara dengan pembaca;
(3) tidak berbelit-belit.

Meski demikian, nyatanya banyak orang yang masih sering gagal membuat tulisan yang menarik minat pembaca. "Saya memiliki banyak pemikiran untuk dibagikan yang sering saya tulis dan saya sebar di milis-milis. Namun, jarang ada yang merespon, malah ada di antara mereka yang salah mengerti atas apa yang ingin saya sampaikan," keluh seorang rekan.

Rekan saya tersebut memang suka menuliskan ide-idenya. Namun, ternyata dari tulisannya sering terlihat beberapa hal tak perlu yang selalu ia lakukan dan selalu ia ulang. Hal-hal tersebut mungkin sepertinya kecil, tapi jika dilakukan berulang-ulang dan bahkan menjadi kebiasaan, yang kecil itupun menjadi sesuatu yang besar. Kebiasaan-kebiasaan itu adalah sebagai berikut.

1. Tidak peduli pada pembaca

Penulis sering lupa kalau ia bukan menulis untuk dirinya sendiri. Untuk itu, langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan memakai kata "Anda", "kau", dsb. dalam porsi tepat untuk menciptakan kedekatan/interaksi antara penulis dan pembaca. Selain itu, bicaralah pada pembaca seakan Anda mengobrol dengan mereka. Ini tidak berarti berbicara dengan gaya bahasa santai seperti orang mengobrol, namun memakai pernyataan langsung dan kata kerja aktif yang memperjelas siapa sedang berbicara dengan siapa.

Bicara dengan pembaca juga berarti menggunakan kalimat-kalimat yang sederhana. Jika Anda berpikir bahwa memakai kata-kata yang rumit dan "berbusa-busa" akan membuat pembaca tertarik, Anda salah. Dalam menulis, tujuan Anda adalah untuk menjelaskan, bukan untuk membuktikan bahwa Anda lebih pintar dari pembaca. Manusia memang memiliki dua macam bahasa. Bahasa lisan yang biasanya lebih sederhana dan bahasa tulisan yang biasanya lebih panjang. Pakailah bahasa yang sederhana untuk membuat pembaca lebih cepat menangkap makna yang ingin disampaikan. Sebaliknya, saat memakai kalimat- kalimat panjang, Anda akan memaksa pembaca untuk menerjemahkan kalimat panjang dan rumit itu ke bentuk yang sederhana. Ini juga yang dilakukan copywriter dalam dunia periklanan. Mereka akan memakai kata-kata yang paling memiliki daya persuasif (menggoda/ membujuk/memikat) untuk menarik perhatian pembaca. Kata-kata itu sering kali sederhana seperti "ya", "gratis", "dijamin", "baru", dll.

Di beberapa tempat, dalam penulisan yang melibatkan opini, penggunaan kata "saya" dilarang. Namun sebenarnya, kata "saya" malah bisa dipakai untuk lebih memberi kesan lugas. Sementara kata "kita" dalam sebuah penulisan opini akan memiliki kesan mendominasi, mengklaim, dan memaksa pembaca menuruti pendapat penulis. Pada akhirnya, yang tak kalah penting adalah bersikaplah jujur, jangan berlebihan. Sekali pembaca menangkap kalimat Anda yang berlebihan, kalimat-kalimat Anda berikutnya akan dicurigai.

2. Pamer

Sama halnya dalam pergaulan, penulis yang suka pamer tidak akan memiliki banyak pembaca. Kebiasaan pamer ini biasa berwujud penggunaan kata-kata sulit yang tak perlu untuk satu makna yang sebenarnya mudah. Penggunaan kata-kata sulit (namun tak tepat), misalnya terdapat ketika menyebut seorang sebagai pemimpin "karismatis" hanya karena pemimpin itu memiliki penampilan fisik yang menarik dan murah senyum. Hal serupa juga terjadi pada kebiasaan pemakaian kata-kata bahasa asing atau istilah teknis yang sebenarnya tak harus dipakai. Memang kata-kata teknis, bahasa asing, atau kata-kata sulit tidak dilarang untuk dipakai. Dan jika memang harus dipakai, untuk menghindari kesan pamer itu perlu dibuat sebuah standar untuk tulisan. Jika Anda tergabung dalam sebuah institusi (misalnya di sebuah kantor jasa), standar itu berguna untuk menetapkan apakah Anda akan memakai kata klien, konsumen, pelanggan, dll. untuk menyebut mereka yang memakai jasa institusi Anda. Standar ini pun bisa ditetapkan jika Anda menulis mewakili pribadi, namun sekali lagi dengan mengingat bahwa Anda menulis untuk pembaca.

3. Terjebak dalam klise/jargon

Kata-kata klise atau jargon dapat membuat pembaca bosan dan muak. Di zaman Orde Baru ada kata-kata atau istilah seperti "pembangunan", "nusa dan bangsa", "era tinggal landas", dsb. yang sangat sering diucapkan bahkan dalam konteks yang tidak selalu tepat. Hal ini juga bisa ditemui dalam bidang-bidang khusus lainnya.

Kebiasaan ini bisa disebabkan karena beberapa hal. Pertama, penulis merasa nyaman dengan hal itu sehingga tak menyadarinya lagi. Kedua, kata-kata klise sering tidak disadari. Dalam beberapa hal, kata yang trendi atau yang sedang dibicarakan banyak orang (untuk saat ini misalnya: reformasi, indie, dll) bisa berpotensi menjadi klise. Jadi, setiap periode waktu tertentu memiliki kata klisenya sendiri. Bahkan pemberian tanda petik dalam kata yang klise juga tidak banyak membantu. Malah dengan melakukannya, Anda seakan sedang menggarisbawahi kekurangan Anda sendiri.
Untuk jargon, (misalnya, istilah "gereja yang injili" yang sering dipakai dalam artikel tentang penginjilan) sering kali dipakai tanpa memberikan kejelasan makna. Jika memang ingin memakainya, sebaiknya jelaskan artinya, kalau tidak, lupakan. Penulis yang baik adalah penulis yang rajin menggali dan memperkaya perbendaharaan kosakatanya.

4. Selip kata

Salah ketik, salah pelafalan, kurang tanda baca (tanda koma, tanda titik, tanda tanya, dsb.) atau pemakaian tanda baca yang tidak tepat, subjek dan predikat yang tidak cocok, penempatan kata yang salah, dan penggunaan kalimat menyangatkan (superlatives) yang ditandai oleh kata-kata beratribut ter-, paling, dsb. tanpa didukung alasan yang kuat adalah kebiasaan yang dapat membuat pembaca merasa terganggu.

5. Kurang jelas dan kurang lengkap

"Aku tidak memberitahu, aku tidak menjelaskan, aku menunjukkan," itulah nasihat Tolstoy. Untuk menghindari kebiasaan membuat tulisan yang kurang jelas dan lengkap ini, diperlukan keterampilan dalam membuat deskripsi. Ketimbang menyebut sesuatu baik/buruk sehingga membuat tulisan terkesan tendensius, lebih baik tunjukkan kebaikan atau keburukan itu dengan penggambaran yang mendukung. Biarkan pembaca mengintepretasikannya sendiri. Saat Anda ingin menulis sebuah cerita dengan seorang tokoh yang punya karakter pemarah, jangan beri tahu pembaca bahwa "dia" pemarah, tapi tunjukkan sifat tersebut. Perhatikan contoh berikut.

"Lelaki itu datang ke perkebunan sambil membawa sekop, lalu menggaruk- garuk tanah hingga tanaman yang tumbuh di atasnya berantakan. Sang pemilik datang dengan mengacungkan parangnya kemudian berusaha mengusir lelaki itu sembari mengancam akan melaporkannya ke polisi. Bukannya takut, lelaki itu malah menghampiri sang pemilik kebun. Matanya menyipit karena marah, lalu meludah sebelum mengatakan kalau dia tidak takut pada polisi. "Kamu pikir polisi berani padaku?" tanyanya sambil mendengus kesal. "Aku tak sabar menunggunya." Lelaki itu tersenyum meremehkan, ia menendang pot bunga yang ada di dekatnya dan kembali mengacungkan sekopnya ke arah pemilik kebun. "Katakan pada mereka, kalau aku menunggunya di sini," teriaknya. *)

Dari penggambaran di atas, terlihat kalau sang lelaki itu bukan saja pemarah, tapi juga seorang pengacau. Tidak perlu dikatakan kalau dia pengacau, tapi pembaca akan tahu secara lebih jelas kalau lelaki itu pengacau melalui penggambaran yang ditulis.
Lengkap dan jelas juga tidak berarti panjang. Pascal pernah menulis surat, "Maaf karena merepotkan Anda dengan tulisan yang panjang mengingat saya tidak punya waktu untuk menulis yang pendek." Menulis secara singkat dan lengkap memerlukan waktu. Hindari juga terlalu banyak menulis singkatan dan akronim, kecuali Anda yakin bahwa pembaca akrab dengan singkatan atau akronim tersebut.

6. Tidak menghargai

Tindakan yang tidak menghargai pembaca maupun orang lain, misalnya terlihat dari kalimat-kalimat yang mengandung stereotipe, pukul rata, dan mengandung bias. Untuk menghindari hal itu, jika memungkinkan, mintalah penilaian dari pembaca pertama (keluarga atau teman) sebelum memublikasikan tulisan. Akan lebih baik lagi jika mereka itu termasuk dalam golongan target pembaca Anda. Jangan marah atau tersinggung jika pendapat mereka tidak sesuai dengan harapan Anda.

Disarikan oleh Ary dari sumber-sumber:

- Scott, Dewitt. H,. Secrets of Succesful Writing, Reference Software International, USA, 1989.
- Wibowo, Wahyu., 6 Langkah Jitu Agar Tulisan Anda Makin Hidup dan Enak Dibaca, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002
*) contoh diambil dari posting di milis penulislepas
oleh Diena Ulfaty

MENGGADAIKAN WAKTU

aku tahu
kalian amat kesepian
sepanjang pagi
jelang petang
aku menggadaikan waktu
bahkan tidak sempat
meminum segelas teh
dan sarapan nasi gurih
masakan ibumu
bahkan tidak jua untuk sekedar
mengucapkan salam
juga mencium keningmu
(saat aku pergi, kalian masih terlelap)

aku tahu
itu semua kadang keliru
selalu saja begitu
aku menggadaikan waktu
dan melupakan kalian
aku alpa,bahwa
kau sudah bisa lari
dan adik kecilmu sudah bisa berjalan
(betapa aku salah, menilai hidup tidak
dengan waktu)

aku tahu
aku telah menggadaikan waktu
maafkan aku, sayang!
betapa ayah sangat cinta pada kalian

Bireuen, 12 Agustus 2004 mukhlis aminullah

Minggu, 19 Januari 2014

MEMBACA ITU MENYEHATKAN

Sudahkan Anda membaca buku hari ini? Mulai sekarang, luangkan waktu untuk membaca beberapa lembar halaman buku favorit Anda. Sebab tanpa Anda sadari, dengan membaca buku, Anda dapat meningkatkan kesehatan tubuh setiap hari. Tips kesehatan akan mengulas tentang berbagai manfaat membaca buku bagi kesehatan untuk memotivasi semua pembaca dan menjadikan membaca buku sebagai kegiatan rutin yang mengasyikkan. Berikut ini manfaat mengejutkan membaca buku bagi kesehatan tubuh Anda:
  1. Menurunkan Tingkat Stres pada Pikiran. Begitu padatnya aktivitas atau kerja harian ditambah berbagai masalah hidup dapat memicu meningkatkatnya tingkat stres pada diri semua orang. Hal ini tentu dapat berdampak pula pada menurunnya kesehatan tubuh. Menurut sebuah penelitan di tahun 2009 di Universitas Sussex, mulai membaca sebuah buku mampu menurunkan tingkat stres yang dialami seseorang.
  2. Organ Otak Tetap Aktif dan Tajam. Dengan rutin membaca buku, secara otomatis dapat mengolahragakan otak Anda. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Robert S. Wilson Ph.D., "Menjadikan membaca buku sebagai hobi dari usia anak-anak hingga usia tua, bermanfaat besar untuk kesehatan otak di usia tua nantinya".
  3. Menangkal Penyakit Alzheimer. Alzheimer atau kepikunan merupakan penyakit mudah lupa pada seseorang terkait umur yang juga terus bertambah. Menurut Dr Robert P. Friedland, aktivitas intelektual (seperti membaca buku) mampu memperkuat organ otak dari serangan berbagai penyakit yang menyerang otak Anda.
  4. Lebih Cepat Tertidur. Insomnia atau gejala susah tidur dialami oleh sebagian besar dari kita. Salah satu solusinya cukup mudah, ambillah sebuah buku ke tempat tidur, kemudian bacalah beberapa halaman dari buku tersebut. Aktivitas membaca buku tersebut dapat menenangkan pikiran serta isyarat tubuh untuk memulai memejamkan mata.

     

MENULIS PUISI ITU GAMPANG?

bulan di atas kuburan

Demikian isi puisi ”Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang. Puisi sebaris, teramat pendek, dan sederhana yang menimbulkan polemik. Di antaranya, banyak bersuara nyinyir, ”Cuma sebegitukah menulis puisi? Sesederhana itukah puisi? Berarti, gampang menulis puisi — tak perlu sampai ‘berdarah-darah’ dan samedhi.” Benarkah demikian?

Bagi penyair, puisi adalah kebanggaannya, aliran darahnya, pelepasan ekspresinya, kepribadiannya, ciri khasnya, napas hidupnya – bahkan, sarana mencari sesuap nasi. Penyair menjadi mati – disebut tak berkarya – jika tidak menulis puisi. Sekian banyak kredo yang disampaikan penyair untuk menguatkan puisi — seperti kredo Sutan Takdir Alisyabana, Chairil Anwar, dan Sutardji Calzoum Bachri; dan bejibun arti yang dikemukakan para ahli mengenai puisi, tetapi bagi orang awam, puisi adalah puisi – barisan kata dan kalimat yang mempunyai bait, rima, irama, dan sebagainya. Artinya, puisi tidak sepenting doa atau kitab suci.

***
Suatu malam, di salah satu kafe di Taman Ismail Marzuki, Sutardji Calzoum Bachri membenarkan bahwa menulis puisi itu gampang. ”Bahkan, apa pun bisa ditulis jadi puisi,” katanya. Wah!

Sesekali menyeruput teh manis yang mulai dingin, penyair yang sudah meninggalkan gaya mabok ini menjelaskan, segala kejadian yang ada, baik di sekitar maupun jauh dari kita, dapat ditulis menjadi puisi. Juga, peristiwa yang terjadi sesaat, seperti tabrakan kereta, pesawat jatuh, bom meledak, bisa dijadikan puisi. Sebab, puisi tak jauh beda dengan tulisan-tulisan lainnya, seperti laporan wartawan atau berita yang tertulis di koran, mengenai politik, sosial, ekonomi, demonstrasi. ”Sehingga ada penyair yang cuma memanfaatkan peristiwa-peristiwa tertentu untuk menulis puisi,” katanya.

Banyak yang terkejut dan meragukan pendapatnya ini. Meski Tardji diakui sebagai presiden penyair, bukan berarti perkataan presiden adalah sabda atau firman – yang tidak ada salah atau cacatnya. Lalu, ia menunjuk sepotong koran yang tergeletak di atas meja seraya menjelaskan bahwa berita-berita itu dapat menjadi puisi bila dibacakan dengan teknik puisi.

Serta merta saya tertarik, meraih koran itu dan membaca sepenggal beritanya, dengan artikulasi dan intonasi membaca puisi. Apa yang terjadi? Tardji tersenyum. Dan teman-teman seniman memperhatikan dengan mangut-mangut. Merasa belum cukup, saya membaca dua lembaran besar menu makanan dan minuman yang tergantung di dinding kafe itu dengan artikulasi dan intonasi yang sama dalam pembacaan puisi:

Nasi Goreng Es Campur
Pecel Lele Wedang Jahe
Soto Babat Es Jeruk
Ikan Bakar Kopi Susu
Sate Kambing Jus Nenas

Mendengar itu, Tardji tertawa. Dan teman-teman seniman bertepuk tangan. Sebaliknya, ingatan saya segera tertuju kepada dua penyair muda berbakat besar, yang mengekspresikan pendapat Tardji ini – dengan pendekatan lain. Yonathan Rahardjo sering menulis puisi dengan memasukkan jenis-jenis makanan dan minuman masyarakat kita sehari-hari, seperti ketupat, lepat, peyek, bandrek, pisang goreng.

Lebih ekstrem lagi Saut Sitompul, penyair yang baru saja pulang ke haribaanNya, berhasil menulis apa pun jadi puisi, bahkan menganjurkannya. Seperti isi salah satu puisinya:

ada daun jatuh, tulis/ada belalang terbang, tulis…

Jadi, benarkah segala sesuatu (persoalan) dapat dijadikan puisi? Tak perlukah bersusah payah menulis puisi? Tak perlukah merenung di gunung dan berpuasa setahun untuk membuat puisi? Tak perlukah perenungan, pendalaman dan pemadatan makna?

Tergantung pencipta puisi itu sendiri. Tetapi, siapa yang keberatan, jika apa saja yang dilihat, didengar, dirasa, dialami, lalu ditulis dengan bentuk puisi, lalu dinobatkan sebagai puisi? Jika semua masalah ditulis dengan berbentuk bait puisi, adakah yang melarang? Itu hak asasi seseorang. Hak berpendapat. Hak berekspresi. Hak berkarya. Bila akhirnya puisi yang dihasilkan itu dianggap tak berguna, ya, terserah. Jika pun orang-orang menganggap rada gila, ya, biarkan saja. Bukankah penyair besar sering bertingkah aneh-aneh, misalnya mabok bir, bawa kapak, buka baju dan bergulingan di atas panggung kala baca puisi? Lagi pula, entah apa dasar hukumnya, untuk dapat diakui penyair, seseorang harus berani bertindak rada gila; seperti teriak-teriak di keramaian, baca puisi di atas pohon? Semuanya demi puisi, demi puisi. Demikian anehkah puisi?

***
Banyak jalan menuju Roma. Beribu cara untuk menciptakan puisi. Salah satu kiat jitu yang kerap diakui (baik tua maupun muda dan pemula) adalah jatuh cinta. Bukankah orang yang sedang kasmaran gampang menulis puisi? Seperti puisi ”Surat Cinta” Rendra, berikut ini:

Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku.

 Jadi, dengan menumpahkan isi hati di atas secarik kertas dengan kata-kata indah dan terpilih, tulisan akan menjelma puisi. Atau, silakan tulis surat cinta dengan kalimat-kalimat berbunga, dengan bentuk larik dan bait puisi, ya, dapat juga disebut puisi. Artinya, semakin sering jatuh cinta, tentu semakin terangsang untuk menulis puisi lebih banyak. Semakin banyak jatuh cinta, semakin banyak stock puisi yang akan tersedia.

Berarti, puisi itu dapat dihasilkan oleh siapa pun, yang bukan penyair? Benar. Siapa pun boleh menulis puisi — tidak sebatas penyair semata. Tidak ada syarat atau batasan tertentu untuk dapat menulis puisi. Pencopet, penodong, pedagang asongan, petani, polisi, politikus, penipu, penjudi, pengusaha menengah, bankir, konglomerat, pengamen, boleh menulis puisi, tak ada larangan atau kutukan. Tak perlu takut dan frustasi. Puisi itu bukan kuntilanak atau momok hitam yang menakutkan. Jadi, tulislah puisi semampu dan seluas jangkauan dan wawasan.

Jika puisi yang ditulis dinilai orang jelek, tak perlu berduka dan frustasi. Terus saja menulis puisi, meski belum memenuhi kaidah-kaidah puitis. Ciptakan terus, tanpa henti – toh masih ada hari esok menanti untuk puisi yang (mungkin) lebih baik. Sejelek apa pun puisi yang dibuat, kata Tardji, tetap saja puisi. Tetapi, silakan renungkan sendiri, termasuk kategori puisi apa? Puisi asal jadi? Puisi basi? Adakah berisi tanda? Atau sekadar corat-coret penumpahan isi hati?

Ingat, puisi bukan alat propaganda, bukan sarana pelepasan kegalauan, bukan pula tong sampah unek-unek.

***
Meski bahasa puisi dan bukan puisi terasa cair; sesungguhnya puisi, sesederhana apa pun, harus penuh dengan ambiguitas dan homonim, penuh dengan asosiasi, memiliki fungsi ekspresif, menunjukkan nada dan sikap—mengutamakan tanda. Masalah ini dipertegas Rene Wellek & Austin Warren, bahasa puisi penuh pencitraan, dari yang paling sederhana sampai sistem mitologi (1993:20). Sementara Sapardi Djoko Damono memberi pengertian lebih sederhana, bahwa puisi adalah ”ingin mengatakan begini, tetapi dengan cara begitu.”

Jika demikian, puisi yang tidak dipenuhi tanda, belum layak disebut puisi? Ingat pendapat Tardji, tetap puisi. Tetapi puisi sesaat; sekali cecap langsung tak bermanfaat. Puisi donat. Seperti puisi yang dibuat anak kelas empat SD, tetap saja disebut puisi. Itu pula alasan Tardji membagi puisi berdasarkan fungsinya. Jika seseorang menulis puisi untuk kebutuhan sesaat, ya, cuma sebatas itu manfaatnya. Puisi itu akan segera tersapu angin dan hujan. Sebaliknya, jika puisi diciptakan berdasarkan perenungan mendalam, tanpa dipengaruhi kebutuhan apa pun, akan menjadi puisi sejati. Contohnya puisi-puisi Chairil Anwar. ”Maka, sangat disayangkan, bila ada penyair yang menulis puisi dengan memanfaatkan peristiwa-peristiwa tertentu,” imbuhnya.

Sekilas pendapat ini bertentangan dengan kesimpulan Wellek & Warren, bahwa tipe-tipe puisi harus memakai paradoks, ambiguitas, pergeseran arti secara konstektual, asosiasi irasional, memperkental sumber bahasa sehari-hari, bahkan dengan sengaja membuat pelanggaran-pelanggaran. Tetapi, bila dicermati, pendapat Tardji lebih mudah dimengerti dan lebih menegaskan atas keluhan penyair-penyair muda, ”Ada juga puisi pesanan. Puisi yang ditulis oleh penyair untuk kebutuhan, momen atau acara tertentu dengan bayaran tertentu pula.”

Bertitik tolak dari pendapat ini, berarti menulis puisi teramat sulit-lit. Tidak cukup dengan mengamati peristiwa-peristiwa yang ada. Menulis puisi harus penuh perenungan, mendasar dan berdasar. Bahkan, terkadang harus mengalami trance. Apa yang dilihat, didengar, dirasa, dialami, tidak serta merta dapat dijadikan puisi, melainkan harus dikaji, diendapkan, direnungkan secara mendalam. Untuk menulis sebuah puisi saja, sering penyair harus melalui proses sepekan, setahun, sepuluh tahun. Itu pula sebabnya, bila dibandingkan dengan karya seniman lain, sepertinya daya kreativitas penyair dalam berkarya sangat tertinggal jauh. Sebab, setiap penyair (sejati), meski telah berkarya secara maksimal seumur hidupnya, tak dapat menghasilkan seabrek puisi. Bahkan, tak sedikit penyair seumur hidupnya cuma mampu menulis beberapa puisi, misalnya Toto Sudarto Bachtiar, Subagio Sastrowardoyo, JS Tatengkeng.

Lalu, masihkah dapat disebut menulis puisi itu gampang? Ada yang menjawab, tergantung kata hati. Ada juga yang menyebut, tanyakan daun-daun yang berguguran. Bahkan, ada pendapat lebih ekstrem, tanyakan pejabat atau konglomerat yang getol bikin puisi, lalu menerbitkan seabrek buku puisi (persis album rekaman dangdut) dan membuat album dangdut puisi atau puisi dangdut yang dipasarkan door to door dengan pelbagai alasan sosial, kemanusiaan dan pengabdian. Ayo, siapa ikut bergoyang puisi?

Oleh : Maroeli Simbolon, S.Sn
diterbitkan di Harian http://www.sinarharapan.com

PUISI MENURUT SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.

Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.

Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.

Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor(obscene) serta penjajahan gramatika.

Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.

Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.

Sebagai penyair saya hanya menjaga–sepanjang tidak mengganggu kebebasannya– agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.

Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.

Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.

KREDO PUISI DARI SUTARDJI
Bandung, 30 Maret 1973

JENIS-JENIS PUISI

PUISI LAMA

Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.
Ciri-ciri puisi lama:

Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima.


Yang termasuk puisi lama adalah:

Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka.
Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
Seloka adalah pantun berkait.
Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.
Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.

PUISI BARU

Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima. Menurut isinya, puisi baru dibedakan atas:

Balada adalah puisi berisi kisah/cerita.
Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.
Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa.
Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.
Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.
Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.
Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik.

sumber:
(http://duniapuisi.110mb.com/jenis-jenis%20puisi.htm)

TEKNIK MEMBACA PUISI YANG BAIK

“Puisi adalah seni dari segala seni,” adalah kutipan dari perkataan Popo Iskandar seorang pelukis dan budayawan dari Bandung.

Puisi adalah pernyataan dari keadaan atau kualitas hidup manusia. Membaca puisi berarti berusaha menyelami diri sampai ke intinya. Apabila seseorang ingin menikmati puisi, ia harus memiliki kemampuan untuk menempatkan dirinya sebagai penyair.

Ada sebuah cerita. Tersebut sang penyair Moh. Iqbal kelahiran Sialkot – Punjab 22 Februari 1873, keturunan dari Brahmana yang berasal dari Kashmir. Ia membacakan sebuah puisi karyanya di depan seorang filosof besar Prancis, yang ketika itu sakit lumpuh dan ia dapat terlompat berdiri dari kursinya, karena tergugah oleh keadaan isi puisi sang penyair (judul: LA TASUBU DZAHRA–Jangan Melalaikan Waktu). Isi puisi itu mengambil tema dari hadist Nabi.

Timbul pertanyaan pada diri kita, mengapa bisa terjadi seperti itu? Jawabnya tidak lain adalah, karena karya cipta sastra (terutama puisi) lebih dekat dengan kehidupan kita. Puisi digali dari kehidupan. Jadi, antara hidup dan puisi tak ada jarak pemisah, hidup adalah manifestasi puitis.

“Saya mencintai puisi,” kata sang penyair, “sebagaimana saya mencintai hidup ini.”

Bagaimana kita membaca puisi dengan baik dan sampai sasaran/tujuan makna dari puisi yang kita baca sesuai maksud Sang Penyair? Ada beberapa tahapan yang harus di perhatikan oleh sang pembaca puisi, antara lain:

Interpretasi(penafsiran/pemahaman makna puisi)

Dalam proses ini diperlukan ketajaman visi dan emosi dalam menafsirkan dan membedah isi puisi. Memahami isi puisi adalah upaya awal yang harus dilakukan oleh pembaca puisi, untuk mengungkap makna yang tersimpan dan tersirat dari untaian kata yang tersurat.

Vocal

Artikulasi
Pengucapan kata yang utuh dan jelas, bahkan di setiap hurufnya.
Diksi
Pengucapan kata demi kata dengan tekanan yang bervariasi dan rasa.
Tempo
Cepat lambatnya pengucapan (suara). Kita harus pandai mengatur dan menyesuaikan dengan kekuatan nafas. Di mana harus ada jeda, di mana kita harus menyambung atau mencuri nafas.
Dinamika
Lemah kerasnya suara (setidaknya harus sampai pada penonton, terutama pada saat lomba membaca puisi). Kita ciptakan suatu dinamika yang prima dengan mengatur rima dan irama, naik turunnya volume dan keras lembutnya diksi, dan yang penting menjaga harmoni di saat naik turunnya nada suara.
Modulasi
Mengubah (perubahan) suara dalam membaca puisi.
Intonasi
Tekanan dan laju kalimat.
Jeda
Pemenggalan sebuah kalimat dalam puisi.
Pernafasan
Biasanya, dalam membaca puisi yang digunakan adalah pernafasan perut.

Penampilan

Salah satu factor keberhasilan seseorang membaca puisi adalah kepribadian atau performance diatas pentas. Usahakan terkesan tenang, tak gelisah, tak gugup, berwibawa dan meyakinkan (tidak demam panggung).
Gerak
Gerakan seseorang membaca puisi harus dapat mendukung isi dari puisi yang dibaca. Gerak tubuh atau tangan jangan sampai klise.
Komunikasi
Pada saat kita membaca puisi harus bias memberikan sentuhan, bahkan menggetarkan perasaan dan jiwa penonton.
Ekspresi
Tampakkan hasil pemahaman, penghayatan dan segala aspek di atas dengan ekspresi yang pas dan wajar.
Konsentrasi
Pemusatan pikiran terhadap isi puisi yang akan kita baca.
Dengan pemaparan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa membaca puisi bukan sekedar menyampaikan arus pemikiran penyair, tapi kita juga harus menghadirkan jiwa sang penyair. Kita harus menyelami dan memahami proses kreatif sang penyair, bagaimana ia dapat melahirkan karya puisi.

sumber: http://lumintu.multiply.com