Minggu, 04 Mei 2014

KEUTAMAAN ILMU

Dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengangkat kedudukan sekelompok orang dengan Kitab ini -al-Qur’an- dan merendahkan sebagian yang lain dengannya.” (HR. Muslim)

Abu Hurairah dan Abu Dzar radhiyallahu’anhuma berkata, “Sebuah bab tentang ilmu yang kamu pelajari lebih kami cintai daripada seribu raka’at sholat sunnah.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26 karya Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Mempelajari dan mengingat-ingat ilmu pada sebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkan malam -dengan sholat sunnah-.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba ilmu jika disertai dengan niat yang lurus.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)

Qatadah rahimahullah berkata, “Sebuah bab dalam ilmu yang dijaga/dihafal oleh seorang demi kebaikan dirinya sendiri dan kebaikan orang sesudahnya itu jauh lebih utama daripada beribadah setahun penuh.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)

Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui di atas muka bumi ini suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu dan mempelajari hadits yaitu bagi orang yang bertakwa kepada Allah dan lurus niatnya.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)

Abu Ja’far al-Baqir Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain rahimahullah berkata, “Seorang alim [ahli ilmu] yang memberikan manfaat dengan ilmunya itu lebih utama daripada tujuh puluh ribu orang ahli ibadah.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)

Ja’far ash-Shadiq rahimahullah berkata, “Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya di tengah-tengah umat manusia itu jauh lebih utama daripada ibadah yang dilakukan oleh seribu ahli ibadah.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)

Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa melakukan suatu amal tanpa landasan ilmu maka apa-apa yang dia rusak itu justru lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)

Ma’mar mengatakan: Aku pernah mendengar az-Zuhri mengatakan, “Barangsiapa yang menuntut ilmu secara instan maka ia akan hilang dengan cepat. Sesungguhnya ilmu hanya akan diperoleh dengan menekuni satu atau dua hadits, sedikit demi sedikit.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/70])

Suatu saat Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah dicela karena sedemikian sering mencari hadits. Beliau pun ditanya, “Sampai kapan kamu akan terus mendengar hadits?”. Beliau menjawab, “Sampai mati.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 58)

Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45)

Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu untuk mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71)

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Umat manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman; sebab makanan dan minuman diperlukan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sepanjang waktu.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 91)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Hasan, bahwa Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan ulama di tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk arah bagi manusia.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 29)

Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391)

Masruq rahimahullah berkata, “Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)

Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)

Sahabat Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang berpandangan bahwa berangkat di awal siang atau di akhir siang untuk menghadiri majelis ilmu bukanlah jihad, maka sungguh akal dan pikirannya sudah tidak beres.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 6)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata: Dahulu ibuku berpesan kepadaku, “Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 579)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia akan dimintakan ampunan oleh setiap binatang melata, bahkan oleh ikan yang berada di dalam lautan sekalipun.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 14)

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Pelajarilah ilmu. Sesungguhnya mempelajari ilmu karena Allah adalah bentuk rasa takut -kepada-Nya- dan menuntutnya adalah ibadah. Mengajarkannya adalah tasbih (penyucian terhadap Allah). Membahas tentangnya adalah bagian dari jihad. Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya adalah qurbah/pendekatan diri -kepada Allah-; itulah yang akan menjadi penenang di saat sendirian dan sahabat pada waktu kesepian.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 15)

sumber: terjemahkitabsalaf.wordpress.com

ISLAM YANG SEJUK

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, jauh-jauh hari sebelum para pemikir dan kaum intelektual lahir, Islam telah mengurat dan mengakar dalam sejarah kerasulan di atas muka bumi ini. Tidaklah seorang rasul diutus melainkan membawa misi Islam dan tauhid. Sebuah fakta yang tentu tak bisa dipungkiri dan realita yang tak terbantahkan.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, telah Kami utus pada setiap umat, seorang rasul yang menyerukan: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)

Membaca teks dan makna dari terjemah ayat di atas, mengingatkan kita akan konteks dakwah para rasul. Mereka yang diutus oleh Allah kepada berbagai macam kelompok manusia dengan latar belakang kebudayaan dan cara berpikir yang berlainan. Para rasul itu ternyata berangkat dan bermula dari sebuah pedoman dasar yang sama; yaitu kewajiban memurnikan ibadah untuk Allah semata. Atau apa yang kita kenal dengan istilah ‘tauhid’.
Kemudian, apabila kita cermati dengan pandangan yang lebih tajam dan seksama, menjadikan dakwah tauhid ini sebagai prioritas dalam upaya ishlah al-ummah; perbaikan ummat adalah bagian daripada konsep kesempurnaan dan keindahan Islam. Islam yang memecahkan problema dan Islam yang mewujudkan kesejukan hidup yang sesungguhnya. Inilah prinsip dasar yang telah diabaikan oleh banyak kaum cerdik cendekia.
Sebagaimana dituturkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang menceritakan kisah pemberangkatan Mu’adz bin Jabal, radhiyallahu’anhuma. Di sana, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Mu’adz -pesan yang semestinya diingat oleh segenap da’i dan penggagas perbaikan umat-, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka yaitu supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari)
Sederhana dan jelas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang mendapatkan wahyu dari Allah, yang berbicara bukan dengan hawa nafsu, yang membawa misi Islam rahmatan lil ‘alamin; telah memberikan rumus dan formula dakwah yang amat jitu dan cemerlang.

Memprioritaskan dakwah tauhid dalam menggerakkan roda perbaikan.
Bukan itu saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan sebuah gambaran yang simpel dan sarat makna tentang tafsiran Islam dalam konteks kehidupan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah wajah Islam yang sejuk, teduh, dan menunjukkan kewibawaan. Islam yang menyeru kepada pemurnian ibadah untuk Allah semata dan meninggalkan pemujaan kepada sesembahan selain-Nya. Bahkan, inilah yang menjadi rahasia dan hikmah penciptaan jin dan manusia. Sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Aduhai, betapa banyak manusia dan kaum cendekia yang lalai dan lupa akan rahasia dan hikmah yang agung ini! Ribuan, jutaan, bahkan trilyunan nikmat Allah yang mereka ‘konsumsi’ tak mampu menyadarkan mereka akan hakikat dan tujuan hidup penciptaan alam semesta yang amat luas ini. Laa haula wa laa quwwata illa billaah…

Apakah Islam yang salah atau Nabi yang keliru? Tentu saja tidak! Bahkan, para ulama kita pun telah mewariskan nilai dan manhaj yang mulia ini dalam ratusan bahkan ribuan jilid kitab dan risalah yang mereka terbitkan. Para ulama hadits -misalnya- memberikan perhatian khusus di dalam buku-buku mereka dengan adanya sebuah bab khusus tentang iman, bab khusus tentang tauhid, bab khusus tentang aqidah. Seperti halnya Imam Bukhari rahimahullah di dalam Sahih-nya dengan Kitab al-Iman dan Kitab at-Tauhid. Demikian pula Imam Muslim rahimahullah di dalam Sahih-nya dengan Kitab al-Iman.

Gambaran-gambaran ini ingin menunjukkan kepada kita, bahwa pada hakikatnya dengan menjunjung tinggi dakwah tauhid justru akan menciptakan kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan hidup umat manusia. Tidak sebagaimana yang disangka oleh sebagian pihak, bahwa seruan-seruan dakwah tauhid adalah faktor pemecah belah umat, sebab munculnya berbagai teror dan penganiayaan serta maraknya premanisme di dunia Islam. Padahal, sama sekali tidak. Sungguh, itu merupakan pandangan dan cara berpikir yang salah!

Allah ta’ala menegaskan (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. Al-An’aam: 82)

Islam tidak memperkenankan kezaliman. Islam menyeru dan menyiapkan segala perangkat demi tegaknya keadilan. Islam mengajak kepada iman yang murni. Iman yang bersih dari kotoran syirik dan kebid’ahan. Iman yang memandu kepada jalan yang lurus. Iman yang menyelaraskan antara ucapan dan perbuatan. Iman yang membebaskan hamba dari penghambaan kepada sesama, menuju tauhidullah. Karena hanya dengan tauhid itulah hidup manusia akan tentram, aman, dan bahagia.
Inilah Islam yang terbuka kepada siapa saja yang ingin memahami dan melaksanakan ajaran-ajarannya. Inilah Islam yang tidak hanya berkutat dengan hubungan manusia dengan Allah, namun juga sangat perhatian kepada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Karena Islam tidak menghalalkan segala bentuk kezaliman; apakah kezaliman kepada diri sendiri, kezaliman kepada hak orang lain, atau kezaliman terhadap hak Rabb alam semesta.

Dengan mengaplikasikan nilai-nilai dan bimbingan Islam dalam segala sisi kehidupan justru akan membawa kepada kebaikan dan kemajuan. Allah ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123)

Dengan menerapkan petuah dan ajaran al-Qur’an akan membawa umat manusia kepada kemuliaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memuliakan sebagian kaum dengan Kitab ini -al-Qur’an- dan akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengannya pula.” (HR. Muslim)

Dan sebagaimana yang telah ditegaskan oleh para ulama -diantaranya Imam Ibnul Qayyim dan Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahumallahu- bahwasanya pada hakikatnya seluruh al-Qur’an berisi pembicaraan tentang tauhid. Demikian pula yang ditegaskan oleh ahli tafsir kenamaan masa kini Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah.

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Seluruh isi al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul, fitrah dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar diantara segala pokok ajaran agama.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [8/23])

Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “al-Qur’an berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang disebut dengan istilah tauhid ilmu dan pemberitaan. Selain itu al-Qur’an juga berisi seruan untuk beribadah hanya kepada-Nya yang tiada sekutu bagi-Nya serta ajakan untuk mencampakkan sesembahan selain-Nya. Itulah yang disebut dengan istilah tauhid kehendak dan tuntutan. al-Qur’an itu juga berisi perintah dan larangan serta kewajiban untuk patuh kepada-Nya. Itulah yang disebut dengan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Selain itu, al-Qur’an juga berisi berita tentang kemuliaan yang Allah berikan bagi orang yang mentauhidkan-Nya, apa yang Allah lakukan kepada mereka ketika masih hidup di dunia, dan kemuliaan yang dianugerahkan untuk mereka di akhirat. Itulah balasan atas tauhid yang dia miliki. Di sisi yang lain, al-Qur’an juga berisi pemberitaan mengenai keadaan para pelaku kesyirikan, tindakan apa yang dijatuhkan kepada mereka selama di dunia, dan siksaan apa yang mereka alami di akhirat. Maka itu adalah hukuman yang diberikan kepada orang yang keluar dari hukum tauhid. Ini menunjukkan bahwa seluruh isi al-Qur’an membicarakan tentang tauhid, hak-haknya, dan balasan atasnya. Selain itu, al-Qur’an pun membeberkan tentang masalah syirik, keadaan pelakunya, serta balasan atas kejahatan mereka.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah dengan takhrij al-Albani, hal. 89 cet. al-Maktab al-Islami)

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa mentadabburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi al-Qur’an; dari al-Fatihah sampai an-Naas, semuanya berisi dakwah tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syari’atkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan rincian dari ajaran tauhid…” (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 22)

Terakhir, marilah kita renungkan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri darinya maka tidak akan dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit dan tidak akan masuk ke dalam surga sampai unta bisa masuk ke dalam lubang jarum. Demikian itulah Kami akan membalas orang-orang yang berdosa/kafir itu.” (QS. al-A’raaf: 40)

Wallahu a’lam bish shawaab.

sumber: terjemahkitabsalaf.wordpress.com

LALAI (DUA)

kelalaian kadangkala seperti monster
membunuh
merebut waktu
dan kita akan terlena
dengan dunia

Bireuen, 2 Mai 2014 mukhlis aminullah