Sabtu, 21 Juni 2014

KISAH PIANIS BERJARI EMPAT; HEE AH LEE

Sosok gadis mungil yang luar biasa ini bernama Hee Ah Lee, seorang gadis Korea yang lahir pada 9 Juli 1985, di Pusan Korea Selatan. Setiap ibu pasti menginginkan anaknya lahir dalam kondisi normal, baik kesempurnaan fisik maupun mental. Namun Tuhan berkata lain, Hee Ah Lee terlahir dengan 4 jari, 2 di tangan kanan dan 2 di tangan kiri. Selain itu, dia juga terlahir dengan kaki yang cacat, hanya sampai lutut. Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah selain terlahir dengan kondisi fisik yang cacat, Hee Ah Lee juga memiliki keterbelakangan mental.

Bukan sampai disini saja cobaan yang dihadapi Hee Ah Lee dan ibunya, karena kondisinya itu dia pun dijauhi oleh keluarga besarnya. Keluarga besar yang seharusnya memberikan dukungan penuh akan kehidupan Hee Ah Lee dan ibunya justru menjauhi mereka. Sedih memang rasanya diperlakukan seperti itu, ibarat pepatah mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Bila sebagian orang menyerah dengan keadaan, tidak begitu dengan ibu Hee Ah Le. Sang ibu tercinta merawat Hee Ah Lee dengan penuh kasih sayang dan memberinya motivasi untuk terus maju dan berkembang.

 

Kasih Sayang Ibu Hee Ah Lee Yang Luar Biasa


Ibu Hee Ah Lee yang bernama Woo Kap Sun adalah seorang pahlawan bagi kehidupan anak gadis ini. Karena kondisinya yang tidak memungkinkan, gadis mungil ini tidak bisa hidup tanpa keberadaan sang ibu disampingnya. Dengan kasih sayang dan penuh kesabaran, sang ibu berjuang agar anak gadisnya tersebut bisa menjadi seorang yang memiliki kemahiran dalam bermain piano.
Walaupun banyak sekali orang yang meremehkan impiannya, Woo Kap Sun memiliki keyakinan bahwa setiap ada kekurangan pasti Tuhan akan memberikan kelebihan, karena tidak ada manusia yang terlahir dengan sempurna. Walaupun secara fisik Hee Ah Lee tidak sempurna, tapi ibunya yakin suatu saat kelebihannya itu pasti akan muncul.

Akhirnya Woo Kap Sun mencari sekolah piano untuk anaknya. Sayangnya banyak sekolah yang menolak Hee Ah Lee karena kekurangan fisiknya. Namun, ibunya tidak patah semangat, ia terus berusaha mencari sekolah yang mau menerima anaknya untuk belajar piano, hingga akhirnya ada satu sekolah yang mau menerimanya.

Pada awalnya Hee Ah Lee mengalami banyak kesulitan dalam belajar piano, kita bisa bayangkan bagaimana sulitnya belajar bermain piano hanya dengan 4 jari dan kaki sampai selutut. Namun Hee Ah Lee pantang menyerah, dia terus menerus mencoba belajar bermain piano, bahkan jari-jarinya pernah mengalami bengkak karena tidak terbiasa melakukan itu semua.

Selain bermasalah dalam menekan tuts-tuts piano, dia pun memiliki kesulitan dalam menginjak pedal piano dikarenakan kakinya yang hanya sampai selutut itu. Untungnya Tuhan menganugerahkan kekuatan dan semangat yang begitu besar kepada Ah Lee dan ibunya sehingga mereka tidak merasa putus asa dalam menghadapi semua cobaa kehidupan ini, mereka berdua menjalaninya dengan penuh kesabaran.

 

Kerja Keras Selalu Membuahkan Hasil


Untuk bisa memainkan 1 buah lagu Hee Ah Lee harus belajar selama 10 jam lamanya. Dan untuk memainkan 1 buah lagu dengan notasi rumit dia harus belajar selama 5,5 tahun. Ibunya sampai berhenti bekerja sebagai seorang perawat karena ingin selalu menemani anak gadisnya belajar dan memberikan dukungan dengan sepenuh hati. Pada akhirnya perjuangan sang ibu dan Hee Ah Lee membuahkan hasil. Gadis itu akhirnya bisa pentas di depan banyak orang dan membuktikan kepada dunia bahwa orang yang terlahir cacat juga bisa memiliki keahlian / keterampilan khusus dan memiliki masa depan.

Album pertama yang dikeluarkan oleh Hee Ah Lee berjudul “Hee Ah, A Pianist with Four Finger”. Ia juga sudah melakukan konser di berbagai negara, seperti Amerika, Inggris, Jepang, China, Singapura dan Indonesia. Semua audience yang melihat konser Ah Lee merasa terkagum-kagum akan kepiawaiannya bermain piano dengan keadaan fisik seperti itu. Banyak dari audience yang sampai meneteskan air mata dan tertunduk haru akan keajaiban yang Tuhan berikan kepada Hee Ah Lee.
Kisah ini membuktikan bahwa setiap kekurangan yang ada pada seseorang pasti terdapat kelebihan tersendiri. Yang terpenting adalah kemauan kita dalam menjalani kehidupan dengan penuh perjuangan, pantang menyerah dan tulus dalam menghadapi semua kesulitan hidup. 
Semoga kisah ini menginspirasi Anda.

dari buku The Four Fingered Pianist: An Inspiring True Story of Hee Ah Lee

KISAH 1001 KELERENG

Makin tua, aku makin menikmati Sabtu pagi. Mungkin karena adanya keheningan sunyi senyap sebab aku yang pertama bangun pagi, atau mungkin juga karena tak terkira gembiraku sebab tak usah masuk kerja. Apapun alasannya, beberapa jam pertama Sabtu pagi amat menyenangkan.

Beberapa minggu yang lalu, aku agak memaksa diriku ke dapur dengan membawa secangkir kopi hangat di satu tangan dan koran pagi itu di tangan lainnya. Apa yang biasa saya lakukan di Sabtu pagi, berubah menjadi saat yang tak terlupakan dalam hidup ini. Begini kisahnya.

Aku keraskan suara radioku untuk mendengarkan suatu acara Bincang-bincang Sabtu Pagi. Aku dengar seseorang agak tua dengan suara emasnya. Ia sedang berbicara mengenai seribu kelereng kepada seseorang di telpon yang dipanggil “Tom”. Aku tergelitik dan duduk ingin mendengarkan apa obrolannya.

“Dengar Tom, kedengarannya kau memang sibuk dengan pekerjamu. Aku yakin mereka menggajimu cukup banyak, tapi kan sangat sayang sekali kau harus meninggalkan rumah dan keluargamu terlalu sering. Sulit kupercaya kok ada anak muda yang harus bekerja 60 atau 70 jam seminggunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk menonton pertunjukan tarian putrimu pun kau tak sempat”.

Ia melanjutkan : “Biar kuceritakan ini, Tom, sesuatu yang membantuku mengatur dan menjaga prioritas apa yang yang harus kulakukan dalam hidupku”.

Lalu mulailah ia menerangkan teori “seribu kelereng” nya.” Begini Tom, suatu hari aku duduk-duduk dan mulai menghiitung-hitung. Kan umumnya orang rata-rata hidup 75 tahun. Ya aku tahu, ada yang lebih dan ada yang kurang, tapi secara rata-rata umumnya kan sekitar 75 tahun. Lalu, aku kalikan 75 ini dengan 52 dan mendapatkan angka 3900 yang merupakan jumlah semua hari Sabtu yang rata-rata dimiliki seseorang selama hidupnya. Sekarang perhatikan benar-benar Tom, aku mau beranjak ke hal yang lebih penting”.

“Tahu tidak, setelah aku berumur 55 tahun baru terpikir olehku semua detail ini”, sambungnya, “dan pada saat itu aku kan sudah melewatkan 2800 hari Sabtu. Aku terbiasa memikirkan, andaikata aku bisa hidup sampai 75 tahun, maka buatku cuma tersisa sekitar 1000 hari Sabtu yang masih bisa kunikmati”.

“Lalu aku pergi ketoko mainan dan membeli tiap butir kelereng yang ada. Aku butuh mengunjungi tiga toko, baru bisa mendapatkan 1000 kelereng itu. Kubawa pulang, kumasukkan dalam sebuah kotak plastik bening besar yang kuletakkan di tempat kerjaku, di samping radio. Setiap Sabtu sejak itu, aku selalu ambil sebutir kelereng dan membuangnya”.

“Aku alami, bahwa dengan mengawasi kelereng-kelereng itu menghilang, aku lebih memfokuskan diri pada hal-hal yang betul-betul penting dalam hidupku. Sungguh, tak ada yang lebih berharga daripada mengamati waktumu di dunia ini menghilang dan berkurang, untuk menolongmu membenahi dan meluruskan segala prioritas hidupmu”.

“Sekarang aku ingin memberikan pesan terakhir sebelum kuputuskan teleponmu dan mengajak keluar istriku tersayang untuk sarapan pagi. Pagi ini, kelereng terakhirku telah kuambil, kukeluarkan dari kotaknya. Aku berfikir, kalau aku sampai bertahan hingga Sabtu yang akan datang, maka Allah telah meberi aku dengan sedikit waktu tambahan ekstra untuk kuhabiskan dengan orang-orang yang kusayangi”.

“Senang sekali bisa berbicara denganmu, Tom. Aku harap kau bisa melewatkan lebih banyak waktu dengan orang-orang yang kau kasihi, dan aku berharap suatu saat bisa berjumpa denganmu. Selamat pagi!”

Saat dia berhenti, begitu sunyi hening, jatuhnya satu jarumpun bisa terdengar ! Untuk sejenak, bahkan moderator acara itupun membisu. Mungkin ia mau memberi para pendengarnya, kesempatan untuk memikirkan segalanya. Sebenarnya aku sudah merencanakan mau bekerja pagi itu, tetapi aku ganti acara, aku naik ke atas dan membangunkan istriku dengan sebuah kecupan.

“Ayo sayang, kuajak kau dan anak-anak ke luar, pergi sarapan”. “Lho, ada apa ini…?”, tanyanya tersenyum. “Ah, tidak ada apa-apa, tidak ada yang spesial”, jawabku, “Kan sudah cukup lama kita tidak melewatkan hari Sabtu dengan anak-anak ? Oh ya, nanti kita berhenti juga di toko mainan ya? Aku butuh beli kelereng.”

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)
Dikutip dari Indonesian groups